Sebuah cerita perjuangan hidup seorang ayah yang tinggal berdua dengan putrinya. Meski datang berbagai cobaan, selalu kekurangan, dan keadaan ekonomi yang jauh dari kata cukup, tapi keduanya saling menguatkan.
Mereka berusaha bangkit dari keadaan yang tidak baik-baik saja. Ejekan dan gunjingan kerap kali mereka dapatkan.
Apakah mereka bisa bertahan dengan semua ujian? Atau menyerah adalah kata terakhir yang akan diucapkan?
Temukan jawabannya di sini.
❤️ POKOKNYA JANGAN PLAGIAT GAESS, DOSA! MEMBAJAK KARYA ORANG LAIN ITU KRIMINAL LHO! SESUATU YANG DICIPTAKAN SENDIRI DAN DISUKAI ORANG MESKI BEBERAPA BIJI KEDELAI YANG MEMFAVORITKAN, ITU JAUH LEBIH BAIK DARI PADA KARYA JUTAAN FOLLOWER TAPI HASIL JIPLAKAN!❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dfe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10. Ditagih Hutang
Seperti biasa sebelum adzan subuh berkumandang, Teguh sudah bangun dari peraduan. Hal yang dia lakukan pertama kali adalah menghidupkan api untuk memasak. Dengan terampil dia memasak nasi dan menggoreng telur. Itu adalah menu yang paling sering dia masak. Selain mudah dilakukan, menggoreng telur juga tak memakan banyak waktu.
Teguh melihat anaknya yang masih tertidur. Ayu.. Untuk sekolah anaknya itu tak malu menggunakan tas selempang sederhana, sepatu yang dia jahit sendiri bagian solnya. Ayu juga tidak pernah mematok harus diberi uang saku sekian ribu untuk jajan di sekolah. Uang tiga ribu rupiah dan membawa bekal sendiri dari rumah sudah cukup untuknya.
Setelah menyelesaikan tugasnya di dapur, Teguh lantas membangunkan Ayu untuk sholat subuh. Terkadang bayangan Nur melintas di saat seperti ini. Nur menghembuskan nafas terakhirnya saat melakukan sholat subuh berjamaah dengannya. Tapi, pikiran itu terganti jika melihat wajah polos Ayu yang selalu bisa mengalihkan dunianya.
Setelah semua selesai, seperti biasa Teguh bersiap mengantar Ayu untuk berangkat sekolah. Tapi, dia dikagetkan oleh ketukan keras di depan sana. Pintunya hampir roboh jika dia tidak cepat-cepat keluar dari rumah.
"Ya Allah bu Saodah.. Ada apa bu?" Teguh menghampiri tamu barbarnya.
"Ada apa gimana? Kapan kamu lunasi hutang-hutangmu Guh? Udah berapa tahon kamu nunggak enggak mau bayar? Macam tak punya pikiran saja kamu ini, hutang di bawa mati!! Kamu tahu itu Guh?!" Hardik bu Saodah berang.
"Astaghfirullah... Iya bu tahu kalau hutang dibawa mati. Tahu banget. Bukan niat ku untuk mangkir dan tidak membayar hutang kepada bu Saodah tapi, sekarang ini kerjaan lagi sepi bu. Kalau ada uang juga pasti dibayarkan." Teguh berkata terus terang.
"Kapan orang macam kamu punya uang hah? Ini nih ruginya ngasih pinjaman sama orang kere kayak kamu. Banyak alasan! Mau duitnya aja, giliran bayar tarlu tarlu teroos! Mana enggak ada barang berharga di rumahmu buat jadi jaminan lagi!! Rugi aku rugii!!" Bu Saodah menggeleng kasar. Pusing kepalanya karena tahu kalau uangnya pasti akan lama kembali.
"Bapak.. Ayu takut.." Ucap Ayu yang baru memakai sebelah sepatunya. Dia berdiri di belakang Teguh yang saat ini mendapat pandangan tak suka oleh bu Saodah.
"Takut takut!! Kamu kira aku demit apa? Kurang ajar jadi bocah! Itu bapakmu suruh kerja yang bener biar bisa bayar semua hutang-hutangnya sama aku! Enggak anaknya enggak bapaknya bikin kepalaku mau meledak!" Sambil membelalakkan mata bu Saodah menatap garang ke arah Ayu. Minta dicolok sepertinya mata ibu satu ini.
"Ayu.. Ayu beresin buku-bukunya dulu ya." Kata Teguh kepada putrinya agar tidak terpengaruh oleh kata-kata tak patut didengarkan oleh anak seusia Ayu.
"Gini aja lah Guh.. Aku capek nagih ke kamu terus kayak gini. Dapet duit enggak, yang ada bikin tensiku makin naik karena banyak alasan yang kamu kasih." Bu Saodah menghembuskan nafas kasar.
"Jual aja tanah ini, nanti duitnya bisa kamu pake buat nutup utang-utangmu." Ucap bu Saodah asal.
"Kalau tanah ini dijual lalu aku dan Ayu mau tinggal di mana bu Saodah? Pasti aku lunasi hutang ku ke bu Saodah itu. Tapi, bukan sekarang."
"Haiiiih mau tinggal di mana itu kan urusan kamu! Masa aku juga harus mikirin itu? Ya udah ya udah.. Aku pulang!! Datang ke sini pagi-pagi malah bikin emosi aja. Nyesel aku nyesel ngasih kamu utang dulu.." Masih banyak omelan bu Saodah di sepanjang jalan.
Bu Saodah pergi. Giliran Ayu yang sekarang menghampiri bapaknya dengan langkah pelan.
"Pak.. hutang bapak banyak ya? Kok bulek tadi marah-marah.." Tanya Ayu yang ikut memandang kepergian bu Saodah.
Teguh tersenyum. Bukan senyum kegembiraan, hanya ingin menutupi suasana hatinya yang kacau karena ditagih hutang pagi-pagi oleh bu Saodah.
"Buku sama pensilnya udah masuk tas Yu?" Tanya Teguh mengalihkan pembicaraan. Teguh tidak mau anaknya ikut berpikir tentang beban hutangnya. "Berangkat sekolah sekarang ya nduk."
Ayu tak banyak protes. Tak mau banyak bertanya juga, bapaknya pasti sudah pusing karena kegaduhan tadi. Ayu segera mengangguk patuh dengan ajakan bapaknya.
Mungkin tak banyak anak yang punya kepekaan tinggi. Tapi, Ayu adalah salah satu anak yang peka dengan keadaan sekitarnya. Dia tahu ada yang tidak baik-baik saja dengan kondisi perekonomian keluarganya. Apa yang bisa dia lakukan untuk membantu bapaknya? Itu yang ada dipikiran Ayu saat ini.
"Pak.. Ayu enggak usah dikasih uang saku aja. Kan udah bawa nasi sama minum dari rumah. Lagian Ayu juga jarang jajan kok. Kata bu guru lebih baik bawa bekal, daripada jajan sembarangan. Nanti bisa sakit perut." Kata Ayu memecah keheningan.
"Kenapa Yu? Bapak juga enggak ngasih uang saku banyak. Diambil ya, buat jajan kamu." Kata Teguh sambil menaruh uang saku Ayu ke dalam tas selempangnya.
"Pak.. ini buat bapak, untuk bayar hutang. Ayu enggak mau bapak dimarahi sama bulek tadi lagi. Ayu juga sekarang enggak akan minta macam-macam lagi pak." Dengan polosnya uang yang hanya tiga ribu rupiah tadi di ambil dari dalam tasnya dan diserahkan lagi kepada bapaknya.
Teguh terpaku di sini. Anak sekecil itu bisa berpikir tentang masalahnya.
"Sekolah yang pinter. Belajar yang bener. Ayu enggak perlu mikirin omongan bulek tadi ya, itu urusan bapak. Tugas kamu satu nduk.. Sekolah! Selama bapak masih kuat, bapak masih ada, bapak akan berusaha nyekolahin kamu setinggi-tingginya, biar hidup kamu enggak seperti bapak. Bisa jauh lebih baik.." Ucap Teguh agak terbata.
Ayu melihat netra itu berkaca-kaca. Dia tak tahu jika bapaknya sekuat hati menahan diri agar tidak menjatuhkan air matanya lolos ke pipi.
mgkn noveltoon bs memperbaiki ini..