"Neng, mau ya nikah sama anaknya Pak Atmadja.? Bapak sudah terlanjur janji mau jodohkan kamu sama Erik."
Tatapan memelas Pak Abdul tak mampu membuat Bulan menolak, gadis 25 tahun itu tak tega melihat gurat penuh harap dari wajah pria baruh baya yang mulai keriput.
Bulan mengangguk lemah, dia terpaksa.
Jaman sudah modern, tapi masih saja ada orang tua yang berfikiran menjodohkan anak mereka.
Yang berpacaran lama saja bisa cerai di tengah jalan, apa lagi dengan Bulan dan Erik yang tak saling kenal sebelumnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Clarissa icha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Syok bukan main saat Mama mengajakku masuk ke toko underwear di Mall tak jauh dari rumah Mama, lokasinya masih dalam satu kawasan perumahan elite. Bermacam-macam model dalaman, baju tidur dan lingerie terpampang jelas di dalam toko, dengan berbagai warna yang mencolok. Di dominasi warna merah, pink, maroon, hitam dan putih. Aku dibuat tidak berkata-kata.
Rasanya ingin menolak saja ajakan Mama masuk ke toko ini, sebab firasat ku mulai tidak enak. Sebelum ini kami sempat masuk ke toko baju dan Mama mengambilkan beberapa baju muslim untukku, bahkan yang tadinya Mama bilang akan belanja menggunakan uang Mas Erik, nyatanya malah Mama mengeluarkan kartunya sendiri dan membayarkan baju-baju milikku. Sempat menolak dengan alasan akan membayar sendiri menggunakan uang dari Mas Erik, tapi Mama melarang.
Sekarang bukan tidak mungkin Mama juga akan membelikan underwear yang ada di sini. Sungguh aku malu jika itu benar-benar Mama lakukan. Apalagi pria jangkung bertubuh tegap itu terus mengekori aku dan Mama di belakang. Tidak seperti kebanyakan pria yang malas mengantar orang tuanya belanja, Mas Erik justru tampak senang-senang saja mengelilingi Mall.
"Bulan, yang ini bagus tidak?" Aku sedikit terperanjat karna sempat bengong, tiba-tiba Mama sudah menyodorkan setelan baju tidur satin warna maroon di depan mata.
"Euh,, iya bagus Mah." Bukan asal menjawab, baju tidur dengan tali spaghetti dan celana pendek itu nyatanya memang bagus. Ada aksen renda di ujung baju dan celana pendeknya dengan warna senada.
"Oke, Mama ambil yang ini." Ujarnya tersenyum tipis. Aku segera menyodorkan tas belanja agar Mama memasukkan baju tidur itu.
"Kamu kok tidak pilih-pilih? Di sebelah sana bagus-bagus baju dinasnya." Mama menunjuk barisan ke tiga dari tempat kami berdiri.
Aku menoleh dan hanya tersenyum kaku. Yang benar saja aku di beri rekomendasi baju seksi kurang seperti itu. Jangankan memakai baju kurang bahan saat tidur, membuka hijab saja aku tidak berani selama ada Mas Erik.
"Eumm,, iya bagus Mah." Ku jawab seadanya tanpa berminat menggerakkan langkah mendekati gantungan baju-baju seksi itu.
"Kayanya bagus, kok masih disini. Ambil saja biar Erik yang bayar." Seru Mama semangat. Tatapannya beralih pada Erik dan aku reflek ikut meliriknya. Bukannya membantuku mencari alasan untuk menolak membeli baju itu, Mas Erik malah mengangguk-angguk tidak jelas.
"Beli saja sayang, buat koleksi." Ujarnya santai.
Aku mendelik sebal. "Koleksi kepalamu!" Gerutu ku yang tidak bisa aku lontarkan di depan Mama.
"Tidak usah Mah, di rumah juga masih banyak. Kebetulan waktu nikahan banyak yang kasih kado itu." Sungguh aku tidak berbohong, nyatanya memang banyak teman kantor yang memberi kado baju kurang bahan itu saat aku menikah. Aku tidak membuka kado-kado itu di depan Mas Erik tentu saja. Kado yang sekiranya tidak penting, aku simpan rapi di lemari.
"Begitu ya? Ya sudah." Mama terlihat tidak sesemangat tadi. Dia kemudian berlalu melihat-lihat yang lain.
Baru saja aku ingin mengekori Mama, tiba-tiba tanganku di tahan. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Mas Erik.
"Di bawa ke sini atau kamu tinggal di Bandung?" Pertanyaan yang di lontarkan Mas Erik sukses membuatku melongo saking bingungnya.
"Apanya?" Dahiku mungkin sudah berkerut-kerut sekarang.
"Itu." Jawabnya sembari menggerakkan kepala kearah deretan baju-baju seksi. "Lingerienya kamu bawa ke Jakarta atau di tinggal?" Tanyanya setelah terjeda beberapa saat.
Aku tergelak, untuk apa juga Mas Erik mematikan tentang lingerie, lagipula di bawa ke Jakarta atau tidak, sama sekali bukan urusannya. Toh tidak terpakai juga.
"Aku tidak punya alasan membawanya. Lagipula lingerie sebaiknya di pakai jika suami mau tidur dengan istrinya. Mas Erik jangan lupakan itu." Lirihku namun menekankan setiap katanya. Agaknya memang harus berulang kali menjelaskan pada Mas Erik dan mengingatkan perbuatannya agar tidak lupa.
"Sekarang aku bersedia, aku pilihkan buat kamu ya?" Tawarnya tidak sabaran.
"Eh,, mana bisa begitu! Tapi aku tidak mau!" Tegasku.
Mas Erik terdiam sejenak sampai akhirnya melontarkan kata-kata yang membuat ku bingung harus menjawab apa.
"Bukannya dosa kalau menolak suami?" Ujarnya.
Benar memang apa yang Mas Erik katakan. Aku paham dan tidak akan menyangkal. Tapi untuk kasus ini, aku sedikit ragu. Apalagi Mas Erik yang lebih dulu menolak ku sebagai istri.
"Memang, dosa jika tidak ada alasan yang kuat. Tapi untuk masalah kita, nanti akan aku tanyakan dulu dengan orang kita, kira-kira bagaimana pendapat mereka." Jawabku kemudian berlalu. Siapa sangka Mas Erik malah menahan ku lagi tapi kali ini dengan wajah pucatnya.
"Kamu bercanda kan? Masalah ini seharusnya tidak sampai ke telinga mereka." Lirihnya sembari melirik Mama yang asik memilih baju tidur.
Alih-alih menjawab, aku sengaja hanya mengukir senyum tipis dan kembali membuat Mas Erik gelisah setelah aku beranjak menghampiri Mama.
"Sayang,," Panggilan itu membuatku bergidik geli. Bagaimana tidak, Mas Erik memanggil dengan nada merengek. Parahnya lagi, Mas Erik memegangi ujung hijab ku.
Fokus Mama dalam memilih baju tidur sampai buyar dan langsung melirik Mas Erik.
"Kalian ini kenapa?" Mama menatap kami heran dan aku memakluminya karna yang Mas Erik lakukan memang aneh.
"Aku suka lingerie yang hitam itu Mah, tapi Bulan tidak mau aku belikan itu."
Benar-benar menguji kesabaran. Pengakuan Mas Erik di depan Mama membuat kaki ku gatal ingin menendang atau sekedar menginjak kakinya. Bisa-bisanya dia memfitnah ku. Mengatakan ingin membelikan lingerie saja tidak, tapi menuduh aku tidak mau.
Aku menggeleng cepat. "Aku tidak bilang seperti itu Mah." Sangkalku.
"Oh,, jadi kamu tidak keberatan kalau aku belikan lingerie yang hitam tadi? Bilang dong sayang. Kamu pergi begitu saja, aku pikir kamu menolak." Ujar Mas Erik yang pandai berkamuflase. Jika di dunia hewan ada bunglon, disini ada Mas Erik.
Belum sempat aku bicara lagi, pria itu sudah kabur mengambil lingerie warna hitam.
Mama tiba-tiba terkekeh dan menarik perhatianku. Dimana letak lucunya? Yang ada aku ingin marah-marah pada Erik.
"Ya ampun, kalian ini lucu sekali. Mama senang kalian bahagia menjalani pernikahan ini. Sejak awal Mama percaya kamu bisa meluluhkan hati Erik dan membuatnya bahagia seperti itu." Ujar Mama tak melepaskan pandangannya dari Mas Erik. Pri yang kami tatap malah senyam-senyum tidak jelas sambil menenteng lingerie.
"Dapar mesum!"
Selain menahan emosi, aku juga harus menahan ucapan karna terhalang Mama. Sungguh aku sudah tidak sabar ingin memarahi Mas Erik, meluapkan emosi yang sudah menggunung ini akibat ulahnya. Sedangkan dia bisa sesantai itu tanpa sedikitpun merasa bersalah sudah membuatku kesal setengah mati.
Erina Delia pinter jdi kompor mleduk.....lgsung tuh bulan di bawa kabuurr 😄😄😄😄😄
bisa"nya dulu cuek sma Bulan skrg sebaliknya ga bsa klirik cwo lain 😁