Rumah sudah kokoh berdiri, kendaraan terparkir rapi, tabungan yang cukup. Setelah kehidupan mereka menjadi mapan, Arya justru meminta izin untuk menikah lagi. Istri mana yang akan terima?
Raya memilih bercerai dan berjuang untuk kehidupan barunya bersama sang putri.
Mampukah, Raya memberikan kehidupan yang lebih baik bagi putrinya? Apalagi, sang mantan suami hadir seperti teror untuknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Egha sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23. Siksa hati
Adrian mematung, kedua maniknya yang memerah terus memperhatikan Raya, yang pergi menjauh. Sementara, Andrew menepuk bahu Adrian, lalu pergi, setelah dilanda rasa bersalah.
Maafkan aku. Dengan kebencianmu, aku bisa bertahan hidup.
Pria, tidak mungkin menangisi seorang wanita. Itu adalah kalimat yang sering ia dengar, saat berkumpul dengan teman-temannya. Namun, Adrian malah meneteskan air mata, dengan tangan terkepal. Ia berdiam diri, tanpa bergerak. Pandangannya masih sama, berharap wanita itu mau menoleh sebentar saja, meski kebencian merajai kalbunya.
Sebelum, berdiri ditempat saat ini. Adrian melihat Raya, seorang diri. Wanita itu, tampak baik-baik saja, meski ia sendiri tidak pernah lagi mengirim pesan atau bertemu sejak dua hari lalu.
Adrian merasa tersiksa, dengan menahan diri untuk tidak menemui Raya, atau sekedar mengirim pesan singkat. Ancaman sang ibu, mematahkan segala kerinduan dan perasaan, yang belum tersampaikan oleh bibirnya.
Lalu, bagaimana ia bisa melawan hati? Kebencian adalah jawabannya. Wanita itu harus membencinya. Lebih baik seperti itu, daripada Raya terluka. Itu lebih buruk dan menyakitkan. Mungkin sebagian pencinta romansa, akan bertanya, mengapa ia kalah sebelum berjuang? Karena, Adrian tahu, seberapa menakutkannya sang ibu dan seberapa nekatnya Elena.
Ibu yang selalu menginginkan yang terbaik untuk dirinya, padahal ia tidak pernah bertanya, apa Adrian suka atau tidak. Dan seorang gadis, yang ingin terus mempertahankan gelar sebagai calon istri, yang tidak pernah diakui oleh Adrian.
Jika Adrian bertahan, bukankah ia hanya menciptakan luka baru? Wanita itu, sudah pernah merasakan kegagalan, impiannya hancur, karena terkhianati. Bagaimana Adrian akan mengatasinya?
Ia memilih mundur, itu adalah jawaban yang lebih baik. Selama dua hari, ia terus berperang antara hati dan pikiran. Hingga akhirnya, ia memilih logikanya.
Raya menghilang dari pandangannya, dengan refleks kepalan tinju Adrian, mendarat dipohon rindang. Kepalan tangannya berdenyut nyeri, hingga berdarah, meski tak banyak. Tapi, luka seperti itu, tidak sebanding dengan perasaannya sekarang ini. Ia berharap wanita itu membencinya, tapi mengapa, Adrian justru lebih sakit, berkali-kali lipat rasanya.
"Tolong benci aku, Raya. Tapi, biarkan aku tetap memelukmu dalam mimpi," isak Adrian.
Raya sendiri, melanjutkan tangisannya didalam kamar mandi. Ia terisak, sembari menyalakan keran wastafel dan menatap wajahnya dalam cermin.
"Apa salahku?" lirihnya, seolah sang cermin akan menjawab jeritan hatinya. Ia membasuh wajah, berkali-kali, lalu kembali menatap pantulan wajahnya.
Raut wajahnya masih sama, ada kesedihan yang tak bisa ia sembunyikan. Ada lubang menganga di hatinya, yang tidak bisa ditambal hanya dengan permintaan maaf. Luka akibat tajamnya lidah, siapa yang bisa mengobati?
Raya sudah tidak ingin melanjutkan pekerjaannya. Ia tidak bisa berpura-pura, seolah semua baik-baik saja. Apalagi, ia tidak bisa menutupi wajahnya yang sembab, matanya yang merah. Belum lagi, ia berada ditempat yang sama dengan Adrian. Bagaimana ia akan menghadapi pria itu, dengan tenang? Ia terlalu sakit hati, untuk bermasa bodoh.
"Kau mau keluar?" tanya ibu Sita.
"Iya, Bu."
"Boleh saya tahu, alasannya?"
"Saya lelah, Bu. Karena, harus bekerja didua tempat sekaligus."
"Baiklah. Saya tidak akan memaksa kamu untuk tinggal. Karena, kamu hanya bekerja satu bulan dan kau juga sudah diberi gaji. Jadi, saya tidak bisa memberimu apa-apa."
"Saya tahu, Bu. Kalau begitu, saya permisi."
Tanpa berpamitan pada teman-temannya, Raya langsung pergi meninggalkan gedung rumah sakit. Pekerjaan pertama, yang sudah payah ia dapatkan, harus dilepas hanya karena seorang laki-laki. Mimpinya untuk menghasilkan banyak uang, pupus sudah. Sekarang, ia menggantungkan harapan pada pekerjaannya di restoran.
Tidak memiliki, tujuan. Raya segera ke restoran, meski jadwal kerjanya, masih setengah jam. Menggunakan angkutan umum, ia tiba ditempat dimana ia menghasilkan uang.
"Loh, kok cepat datang?" tanya Retno, merasa heran.
"Aku keluar dari rumah sakit," jawab Raya, mengambil posisi duduk, istirahat sejenak, sebelum waktunya bekerja.
"Hah, kenapa?" Retno tersentak, lalu ikut duduk disebelah Raya.
"Nanti saja, Ret. Aku lelah, mau istirahat sebentar."
"Oke, kamu harus cerita. Jangan pendam sendiri."
Raya hanya mengangguk, lalu bersandar sembari memejamkan mata. Namun, tiba-tiba kristal bening menetes dari sudut matanya. Ucapan Adrian sangat membekas. Bahkan, ingatannya tidak melupakan satu pun kalimat yang keluar dari mulut laki-laki itu.
Seluruh tubuh dan organnya, merasa sangat lelah, dengan beban pikiran yang semakin banyak. Impiannya untuk memiliki rumah bersama sang buah hati, semakin jauh dari kenyataan. Belum lagi, biaya hidup dan sang adik yang sebentar lagi lulus sekolah.
Raya tidak bisa beristirahat, karena otaknya sibuk memikirkan banyak hal, yang melebihi kapasitas yang bisa ia tanggung.
"Ra," panggil Retno. Gadis itu, masih dilanda rasa penasaran.
"Kenapa?"
"Cerita dong!"
"Di rumah aja, Ret. Aku lagi pusing. Aku cuma bisa menabung sedikit, bulan depan. Aku harus mencari kerja lagi."
"Kamu belum dapat panggilan dari perusahaan besar itu?"
"Perusahaan mana?" Raya mengerutkan alis.
"Astaga, kamu lupa? Kamu kan melamar dua tempat, Ra. Satu, di rumah sakit. Satunya, lagi di perusahaan.
"Aaaa... itu." Raya akhirnya mengingat, apa yang dimaksud Retno. "Sudah sebulan, Ret. Sepertinya, mereka tidak menerimaku."
"Benar juga. Baiklah, aku akan mencari pekerjaan baru untukmu."
"Terima kasih. Ah, iya, aku lupa." Raya memberikan Retno, sebuah amplop. "itu utang dan uang sewa rumah. Aku juga nambah untuk biaya dapur."
"Biaya dapur? Maksudnya?"
"Untuk belanja, Ret. Kita butuh makanan cepat saji."
"Oke, aku terima. Pulang nanti, aku akan belanja untuk isi kulkas. Kalau kamu kemalaman, telpon yah."
Raya langsung bekerja, setelah waktunya tiba. Berusaha menyibukkan diri, agar masalah yang terus mengganggu pikiran, bisa menepi meski sebentar saja.
Bukan hanya mencatat pesanan dan mengantarkan makanan kepada pelanggan. Raya juga mengangkat piring kotor dan membersihkan meja. Jika saja ia bisa merangkap untuk cuci piring, ia akan melakukannya.
Waktu terus bergulir, hingga malam pun tiba. Jam seperti ini, pelanggan mulai banyak dan kesibukan pun semakin terasa. Raya bahkan tidak bisa duduk, sekedar mengistirahatkan kedua kakinya.
"Ra, istirahat dulu."
"Nanti, Kak. Banyak orang, meja hampir penuh."
Tepat pukul sebelas malam, Raya sudah selesai bekerja. Ia berdiri depan restoran dan memesan ojek online melalui aplikasi.
Sementara, Adrian duduk dalam mobil yang terparkir tepat didepan restoran. Ia sejak tadi memperhatikan Raya dan terus menahan diri, agar tidak keluar. Ia hanya ingin memastikan wanita itu pulang dengan selamat. Ia cukup trauma, dengan kejadian saat Raya menangis didepannya karena ketakutan.
Pesanan ojek Raya datang. Tanpa menunggu, Adrian membuntuti motor itu dengan kecepatan sedang. Hingga, akhirnya tiba di rumah kontrakkan Raya.
"Terima kasih, karena kau baik-baik saja," ujar Adrian yang memperhatikan Raya masuk dalam rumah.
🍁🍁🍁
tidak mau memperjuangkan raya
bntar lg km ketemu sm laki2 yg tulus yg mampu bahagiakan km.
plg suka crita klo perempuannya tangguh & kuat