“Kalau kamu nggak pulang sekarang, mama nggak main-main Syas. Mama akan jual kamu!”
Mata Syanas membelalak, tapi lebih karena terkejut mendengar nada serius ibunya dari pada isi ancaman itu sendiri. “Jual aku? Serius Ma? Aku tuh anak mama loh, bukan barang yang bisa dijual seenaknya.”
“Oh, kamu pikir mama nggak bisa?” balas Rukmini, suara penuh ketegasan. “Mama akan jual kamu ke Gus Kahfi. Dia anak teman almarhum papa kamu, dan dia pasti tau cara ngurus anak bandel kayak kamu.”
Syanas mendengar nama itu dan malah tertawa keras. “Gus Kahfi? Mama bercanda ya? Dia kan orang alim, mana mungkin dia mau sama aku. Lagian, kalau dia beneran mau dateng ke sini jemput aku, aku malahan seneng kok Ma. Coba aja Ma siapa tau berhasil!”
Rukmini mendesah panjang, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, menutup teleponnya. Syanas hanya mengangkat bahu, memasukkan ponselnya ke saku lagi. Ia tertawa kecil, tak percaya ibunya benar-benar mengucapkan ancaman itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gledekzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch ~
Syanas mengambil keputusan besar mogok keluar kamar setelah insiden cacing tadi. Ia berbaring di kasur sambil membungkus dirinya dengan selimut, dan benar-benar kesal dengan tingkah suami sementaranya itu.
Kahfi tentu saja tetap santai. Ia tidak mencoba membujuk atau memaksa. Sebaliknya ia malah melakukan hal yang jauh lebih kejam, memasak makanan dengan bau yang luar biasa menggoda.
Awalnya Syanas mencoba bertahan. Ia tetap di kasur sambil menutup wajah dengan bantal, berusaha mengabaikan aroma sedap yang mulai merayapi seluruh rumah. Tapi semakin lama semakin sulit.
Bau ayam goreng renyah. Sambal terasi yang pedasnya terasa di udara. Suara minyak berdesis. Ditambah lagi perutnya mulai memberontak.
“Dasar pengkhianat!” gerutu Syanas sambil memegang perutnya yang mulai berisik.
Tapi tetap saja ia tidak mau keluar. Ia berusaha bertahan sekuat tenaga.
“Yang, aku masak ayam goreng lho,” ucapnya santai. “Kalau kamu lapar tinggal keluar aja. Aku nggak maksa kok.” suara Kahfi terdengar dari luar kain yang menjadi pintu kamar mereka.
Syanas mencibir dalam hati. Tentu saja Kahfi tidak memaksa. Ia hanya menggunakan metode penyiksaan psikologis dengan makanan.
Selama beberapa menit Syanas tetap berusaha melawan godaan itu.
“Sayang, aku makan ya. Mmmh, enak banget,” ucap Kahfi. “Dagingnya juicy, bumbunya pas. Wah, benar-benar menggugah selera.”
Syanas menggeram.
“Tapi kalau kamu masih mogok makan, ya nggak apa-apa. Aku habisin sendiri aja,” ucap Kahfi kembali menambahkan dengan nada santai.
Syanas langsung bangkit. “Jangan harap!”
Ia menyerbu keluar dengan mendapati Kahfi sudah duduk santai di lantai beralas tikar daun, dengan piring penuh makanan di depannya. Lelaki itu menatap Syanas dengan senyum jahil.
“Hmm? Tadi katanya nggak mau keluar?” goda Kahfi.
Syanas tidak menjawab. Ia langsung duduk dan menyambar sepotong ayam goreng dengan cepat.
Kahfi terkekeh lalu menyendokkan nasi ke piring Syanas. “Makan yang banyak, biar besok kuat ke kebun lagi.”
Syanas yang baru saja akan makan langsung berhenti. “Aku nggak mau ke kebun lagi!”
Kahfi hanya tersenyum. “Kita lihat aja besok.”
Syanas masih menatap Kahfi penuh curiga, meski tangannya tetap sibuk menyuap nasi dan ayam goreng ke mulutnya. Setiap kunyahan terasa nikmat, tapi ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya.
“Kamu bohong ya?” tuduh Syanas tiba-tiba membuat Kahfi yang sedang minum tersedak sedikit.
Kahfi meletakkan gelasnya dan menatap istrinya dengan bingung. “Bohong apanya?”
Syanas menunjuk piring mereka dengan garpu. “Katanya pasar jauh, tapi kamu bisa masak makanan begini. Jangan-jangan sebenarnya ada warung di dekat sini dan kamu sengaja nggak kasih tau aku?”
Kahfi menghela napas sambil mengusap dagunya. “Kamukan taukan kalau berbohong itu dosa.”
“Tapi kamu bisa masak begini. Bumbunya dari mana? Jangan-jangan kamu nyetok mie instan juga ya?!” Syanas makin menajamkan tatapannya dengan pandangan curiga.
Kahfi tertawa kecil. “Ayam dan sayurnya dikasih pak Dul.”
Syanas menyipitkan mata. “Terus bumbunya?”
Kahfi mengangkat bahu. “Pak Dul juga yang bawa. Dia sekalian bawain garam, gula, kecap, sama bumbu dasar lain. Katanya kasihan kalau kita harus masak tapi nggak ada bumbu sama sekali.”
Syanas terdiam masih mencoba mencari celah untuk menyanggah. “Kenapa kamu nggak bilang dari awal kalau ada yang bisa ngasih bahan makanan?”
Kahfi menyeringai. “Karena aku penasaran, kamu bisa bertahan berapa lama tanpa makan sebelum akhirnya keluar dari kamar.”
Syanas membelalak. “Jadi ini semua jebakan?!”
Kahfi hanya terkekeh pelan tidak menjawab, malah lanjut makan dengan santai.
Syanas mendengus merasa kalah telak. Tapi ia belum mau menyerah begitu saja. “Aku mau ke rumah pak Dul besok buat buktiin kebenarannya.”
Kahfi mengangguk santai. “Boleh. Tapi kita mampir ke kebun dulu sebentar.”
Syanas yang baru saja ingin meneguk air langsung meletakkan gelasnya dengan kasar. “Nggak mau!”
Kahfi tetap kalem. “Kalau nggak mau ya sudah. Tapi kalau gitu malam besok kamu tidur sendirian di rumah ini.”
Syanas terdiam. Matanya melebar sedikit.
Kahfi melanjutkan makannya tanpa beban. “Aku bakal nginap di rumah pak Dul.”
Jantung Syanas berdebar. Ia tau rumah ini tidak berhantu. Tapi, ia menggeleng cepat. “Jangan bercanda deh Yang.”
“Aku serius.”
“Kamu nggak boleh ninggalin aku di sini!”
Kahfi menaruh sendoknya dan menatap Syanas dengan mata yang serius tapi tetap penuh kenakalan. “Aku nggak ninggalin. Kamu sendiri yang nggak mau ikut.”
Syanas mengepalkan tangan merasa terjebak lagi.
“Jahat banget kamu!” bentaknya.
Kahfi tersenyum kecil. “Aku cuma kasih pilihan.”
Syanas menggerutu, menatap makanannya dengan kesal. Pilihannya hanya dua ikut Kahfi dengan konsekuensi harus mampir ke kebun, atau tetap keras kepala dan tidur sendirian di rumah yang terlalu sepi ini.
Pilihan pertama jelas lebih masuk akal.
“Fine!” serunya akhirnya. “Aku ikut!”
Kahfi mengangkat alis. “Tapi ke kebun dulu.”
Syanas mengerucutkan bibir. “Aku nggak akan mencangkul lagi.”
Kahfi hanya tersenyum misterius sambil melanjutkan makannya.
Syanas makin curiga. Ia yakin suaminya pasti merencanakan sesuatu lagi.
Kahfi menyandarkan tubuh ke dinding sambil mengusap perutnya yang sudah kenyang. “Kamu yang cuci piring ya. Aku udah masak.”
Syanas yang masih menikmati gigitan terakhir ayam gorengnya dengan spontan berhenti mengunyah. Ia melirik Kahfi dengan ekspresi enggan. “Iya, iya.” Syanas langsung minum dan mengumpulkan piring-piring dengan gerakan santai.
Namun sebelum benar-benar beranjak ia melirik Kahfi sekilas. “Tapi jujur aja ya, kamu jago juga masak.”
Kahfi yang sedang menikmati teh hangatnya menoleh dengan alis terangkat. “Oh? Jadi kamu akhirnya mengakui kehebatanku?”
Syanas mendengus. “Maksudku nggak nyangka aja laki-laki bisa masak enak gitu.”
Kahfi terkekeh. “Setidaknya kalau istri nggak bisa masak, aku masih bisa handle sementara.”
Syanas menatap Kahfi tajam. “Siapa bilang aku nggak bisa masak?”
Kahfi menatap balik dengan ekspresi meragukan. “Oh ya? Bisa masak apa?”
Syanas berpikir cepat. “Macem-macem.”
Kahfi mengangguk pelan sambil berpura-pura percaya. “Sebutkan satu aja.”
Syanas menegakkan bahu. “Telur dadar.”
Kahfi terdiam sejenak lalu meletakkan gelasnya sambil menatap Syanas dengan tatapan tak percaya. “Serius? Itu tinggal ngocok telur sama goreng doang.”
Syanas langsung mendelik. “Telur dadar tuh butuh teknik! Beda sama telur ceplok!”
Kahfi hanya mengangkat bahu santai. “Oke, oke. Aku percaya. Kalau gitu besok kamu yang masak aku yang cuci piring.”
Syanas terdiam dengan otaknya bekerja cepat mencari alasan. Lalu seakan menemukan jalan keluar. “Besok kan kita mau ke tempat pak Dul. Jadi nggak sempet masak.”
Kahfi tersenyum miring. “Oh jadi besok nggak masak, terus kapan buktinya?”
Syanas berpikir lagi lalu pura-pura sibuk mengangkat piring-piring kotor. “Nanti aja. Pokoknya aku bisa.”
Kahfi hanya tertawa kecil tidak membantah lagi. Ia tahu Syanas sedang menutupi sesuatu, tapi ia memilih untuk membiarkannya.
Syanas melirik Kahfi sekilas. “Kamu nggak percaya.”
Kahfi mengangkat alis. “Kalau aku bilang percaya, kamu mau buktiin sekarang?”
Syanas buru-buru membawa piring-piring itu ke belakang. “Nggak usah nanti aja. Aku sibuk!”
Kahfi tersenyum kecil sambil kembali menyesap tehnya. Sudah jelas istrinya itu tidak bisa masak, tapi egonya terlalu tinggi untuk jujur. Ia hanya bisa mengiyakan saja sambil menikmati momen ini.