Sabila. seorang menantu yang acap kali menerima kekerasan dan penghinaan dari keluarga suaminya.
Selalu dihina miskin dan kampungan. mereka tidak tau, selama ini Sabila menutupi jati dirinya.
Hingga Sabila menjadi korban pelecehan karena adik iparnya, bahkan suaminya pun menyalahkannya karena tidak bisa menjaga diri. Hingga keluar kara talak dari mulut Hendra suami sabila.
yuk,, simak lanjutan ceritanya.
dukungan kalian adalah pemacu semangat author dalam berkarya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Deanpanca, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Sabila pun mengangguk dan segera pergi meninggalkan mereka disana, dengan segudang tanya di benak keluarga Risma.
Bude Ani yang melihat Sabila masuk ke mobil segera menghentikannya.
"Sabila tunggu!" Dia lari tergopoh gopoh, disusul dengan keluarga lainnya.
Risma yang baru keluar juga melihat kejadian itu. Dia ikut menyusul Budenya.
"Bagaimana dengan Risma, kalau kamu pergi duluan?" Ucapnya dengan nafas tersengal sengal.
"Ada apa Bude, Mbak Bila?" Tanya Risma yang ternyata sudah berdiri dibelakang Bude Ani.
"Risma akan berurusan dengan calon mama mertuanya. Nyonya kami bukan tidak punya pekerjaan harus menjemputnya. Tapi kalau kalian merendahkan calon istri Tuan Ervan, maka untuk apa kami disini." Ucap Nico tegas, segera dia membukakan pintu untuk Sabila dan melajukan mobilnya meninggalkan keluarga tak jelas itu.
Setelah pergi cukup jauh, Sabila mulai angkat bicara.
"Nico, apa yang sudah kau lakukan? Mama Lena bisa marah pada ku!" Kata Sabila sembari menoleh ke belakang sesekali.
"Semua atas perintah Tuan Ervan. Jadi Anda tenang saja. Sekarang saya akan mengantar anda ke kantor, Tuan. Sepertinya dia sudah rindu berat.
Diseberang Ervan sudah terbatuk-batuk mendengar Nico.
Uhuk Uhuk
"Nico! Awas saja kau!"
Panggilan diputus sepihak oleh Ervan. Nico tak tahan untuk tidak tertawa.
"Ha ha ha!"
"Apa yang membuat mu sebahagia itu, Nico?" Tanya Sabila.
Nico menggeleng. "Hanya teringat dengan raut wajah wanita gendut tadi." Ucapnya.
"Kau ini, beraninya menghina Bude Ani."
*** ***
Kembali pada Bude Ani
Risma mencoba mencerna apa yang dikatakan lelaki tadi. Sampai mendengar ucapan sepupunya yang menyalahkan Bude Ani.
"Bude sih! Sudah dibilangin dari tadi malam mulut dijaga, kalau begini bagaimana?" Kata Sepupu Risma.
Risma menoleh pada Bude nya. "Sebenarnya ada apa ini? Kenapa mbak Sabila pergi?" Tanyanya.
Tidak ada yang berani menjawab, bahkan sepupunya yang menegur Bude Ani tadi tidak berani buka suara. Sampai terdengar dari luar pagar suara seseorang.
"Bagaimana pengawalnya tidak mengajak pulang Sabila, Bude mu mengatai dia pembantu. Sedangkan dengan lantang pengawalnya menyebutnya Nyonya. Nyonya loh ini Nyonya!" Bu Ratih yang tidak sengaja lewat, melihat kediaman Bu Wati yang ramai. Jiwa kepo nya memberontak jangan sampai dia ketinggalan info.
"Astaga, Bude!" Seru Risma. "Semalam mama Edward sendiri yang meminta Mbak Sabila jemput aku, kalau begini aku bakalan kena masalah." Kesal Risma pada Budenya.
"Maaf, Risma. Mulut Bude gak bisa di rem." Ucap Bude Ani sambil memukul pelan mulutnya sendiri.
"Di rem! Sepertinya Mulut mu sudah jadi bis kota, remnya blong, berhentinya kalau sudah terjun di jurang." Kata Bu Ratih kemudian melengos pergi.
"Kamu, Ratih. Mulutnya dijaga ya."
Risma kesal dibuat Budenya, dia hendak masuk kembali ke rumahnya tapi dihentikan oleh suara klakson mobil.
"Din Din!"
Sebuah mobil berwarna merah berhenti tepat di depan mereka. Keluar seorang wanita dengan tampilan anggun dan seksi, siapa lagi kalau bukan mama Lena.
Dia terlihat terburu-buru dan nampak marah.
"Risma! Apa yang sudah kamu lakukan pada calon istri Ervan? Aku memintanya menjemputmu, kenapa sampai Ervan memarahi ku?"
"Maaf, Tante. Bude ku tadi salah bicara pada Mbak Bila."
"Aku peringatkan kalian, Sabila yang sekarang tidak segampang itu bisa kalian tindas lagi." Kecam Mama Lena. Walau orangnya cuek dan sangat membenci ervan, dia juga tidak suka dengan orang yang menindas wanita lemah.
"Apa kamu masih mau berlama-lama disitu? Waktu ku sangat berharga." Ucap Mama Lena pada Risma.
...****************...
Kediaman Hartono
Setelah sarapan, Pak Hartono meminta Salsa menemuinya di ruang kerja.
"Salsa! Ke ruang kerja papa sehabis sarapan." Katanya setelah meletakkan segelas jus yang baru saja dia teguk.
Salsa menoleh ke arah papa nya, kemudian mengangguk.
Sedang dibawah kakinya sudah sejak tadi disenggol oleh Sasi. Karena jengkel Salsa menginjak kakinya.
"Aauuu!" Teriak Sasi.
Semua atensi beralih padanya, dia segera meminta maaf.
"Maaf Om, Tante. Tadi seperti ada semut yang menggigit kaki ku." Bohongnya.
Tidak ada yang peduli. Pak Hartono beranjak dari duduknya. "Papa tunggu kamu, Salsa!" Ucapnya dan pergi.
"Ada apa lagi ini?" Gumam Salsa dalam hati.
Sasi hendak mengikuti Salsa bertemu Papa nya, tapi dicegah oleh Nyonya Ningsih.
"Kau mau kemana, Sasi?" Tanya Nyonya Ningsih yang memperhatikan gelagat aneh Sasi.
"A Aku mau ikut Salsa, Tante. Jawabnya sembari melihat ke arah tangga dimana Salsa menunggunya.
"Siapa yang mengizinkan kamu ikut Sasi? Suami ku hanya memanggil Salsa, jadi kamu harus tahu batasan." Kata Nyonya Ningsih.
"Iya, Tante." Sasi pun masuk ke kamar tamu.
"Sialan Ningsih! Beraninya bicara seperti itu padaku."
Sasi mengambil koper dan memasukkan pakaiannya ke dalam. Dia berniat mengancam Salsa dengan keluar dari rumah ini. Dan seperti biasa pasti Salsa akan mencegahnya.
"Dengan seperti ini, Ningsih akan tahu kalau aku itu sangat penting bagi Salsa."
*** ***
Sementara di ruang kerja Pak Hartono
Tok Tok Tok
"Masuk."
"Papa! Kenapa Papa manggil Salsa?"
Pak Hartono meletakkan berkas yang dia baca, kemudian menatap putrinya.
"Duduklah sayang! Ada yang ingin papa sampaikan padamu."
Salsa pun duduk, dia menaruh tangannya ke atas meja. Sepintas dapat Pak Hartono lihat, bahwa tanda lahir di pergelangan tangan anaknya sudah tidak ada.
"Kapan terakhir kali aku melihat tanda lahir Salsa? Kenapa tanda itu bisa hilang? Apa benar yang dikatakan Mama, Salsa bukanlah Salsa anakku?"
"Pa!"
"Iya."
"Papa mau bicara, apa?"
"Salsa, Papa rasa sudah terlalu lama Sasi tinggal bersama kita. Sebaiknya minta dia pulang!" Kata Pak Hartono.
"Tapi kenapa, Pa? Orang tua Sasi masih di luar negeri, dia akan kesepian kalau tinggal di rumahnya sendiri." Ucap Salsa.
Pak Hartono merasa ada yang aneh pada anaknya, kenapa harus bersikeras mempertahankan Sasi sedangkan dia bukan siapa-siapa.
"Kalau kamu gak mau minta dia pulang, kamu saja yang tinggal di rumahnya. Papa tidak suka orang lain bertindak sesuka hati di rumah papa."
"Papa ngusir Salsa?"
"Sejak kapan papa bilang seperti itu? Kalau dia merasa kesepian, kamu bisa menemaninya di rumahnya. Papa tidak suka dia tinggal disini."
Salsa menghentak hentakkan kakinya keluar dari ruang kerja papanya. Menuruni tangga dan menemui mamanya yang asik membaca majalah di ruang keluarga.
"Mama!" Rengek Salsa.
Nyonya Ningsih menoleh ke arah Salsa. Dia meletakkan majalahnya ke atas meja.
"Ada apa, sayang?"
"Mama, Papa minta Sasi untuk pulang ke rumahnya!" Kata Salsa.
Berharap mendapat dukungan dari mamanya seperti sebelum sebelumnya, nyatanya jawaban Nyonya Ningsih diluar prediksi Salsa.
"Bagus kalau begitu. Biar kita bisa hemat uang bulanan, beras mahal, apalagi lauk pauk. Kalau Sasi pulang kita bisa hemat 500 ribu setiap hari, lumayan."
Salsa membulatkan matanya, mamanya bukan membantunya bicara pada sang papa, justru terang terangan mengusir secara halus.
Ceklek
Suara pintu kamar di buka. Ternyata Sasi yang keluar dari kamar tamu, dia menyeret dua koper besar.
Salsa segera berdiri menghampirinya.
"Mam,,, Sasi kamu mau kemana membawa koper?" Salsa terlihat gugup dan khawatir.
"Tadi aku gak salah dengar, kan? Ada yang gak beres, mereka harus diselidiki!"
"Aku mau pulang saja, Sal. Kayaknya aku udah gak diterima disini." Kata Sasi sambil terisak Isak.
"Gak gitu! Kamu jangan pergi dong, yang nemenin aku siapa?"
Sasi melirik Nyonya Ningsih, terlihat juga Pak Hartono mendekat.
"Kamu coba tanyakan pada Om dan Tante, Apa bol..."
"Tidak!" Sepasang suami istri itu menjawab bersamaan.
dah besar tu anak kembar nya,,,,
tetap semangat terus