"Ganti rugi 80 juta atau menikah dengan saya?"
Kristal Velicia, gadis yatim piatu dengan paras yang sangat cantik. Menjadi penyebab kecelakaan sebuah mobil mewah.
Gadis itu di tuntut ganti rugi atau menikah dengan pemilik mobil tersebut.
Pria tampan bersifat dingin bersama gadis cantik dan ceria.
Bagaimanakah nasib pernikahan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vgflia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 10
Vano melangkah masuk kedalam cafe pukul 05:00, tepat waktu pergantian shift. Hari ini dia shift malam sendirian. Bram, lelaki itu sengaja masuk shift pagi bersama Jane, karena dia harus menghadiri pesta ulang tahun kakeknya nanti malam.
"Hai, boy!" sapa Bram di meja kasir, sedangkan Jane sedang membuat Americano ice, pesanan pelanggan.
"Hai!" balas Vano singkat sambil membuka jaketnya.
"Kamu nggak apa-apa shift malam sendiri, Van?" sahut Jane lalu berlalu mengantar Americano ice buatannya.
"Bener tuh, biasanya malam paling rame," tambah Bram. Dia sedikit merasa bersalah meninggal Vano sendirian. Pasalnya, waktu orang-orang nongkrong di cafe biasanya saat malam hari, dan jelas sekali tidak bisa hanya satu orang saja.
Mereka sudah menghubungi dua training yang menurut mereka cocok, tapi belum ada balasan dari keduanya.
Jane kembali dengan menaruh nampannya dan membuka apron. Jam kerjanya susah selesai dan ini saatnya pergantian shift.
"Nggak masalah, aku bisa handle sendiri," balas Vano singkat.
Suara lonceng pintu cafe terdengar. Sontak ketiganya menoleh. Mata Jane membulat sempurna saat mendapati Kristal yang berjalan masuk.
"Kristal! Astaga, kau ini kemana saja, ha?!" Jane memeluk Kristal dengan wajah kesal.
Kristal terkekeh kemudian melerai pelukan mereka. "Aku minta maaf. Aku hanya punya waktu seminggu untuk bersama kalian sebelum menikah, jadi aku akan bekerja disini sementara menunggu training baru."
"Jadi kau benar-benar akan menikah?! Itu tidak bohongan? Dengan siapa? Kenapa tiba-tiba?" tanya Jane tanpa henti.
Bram berjalan menghampiri Kristal. "Seminggu? Kamu akan menikah minggu depan? Wah, anak ini, sekali berpaling tidak main-main."
Kristal tersenyum mendengar ucapan Bram. "Kalian akan tahu nanti saat menghadiri pernikahanku," ucap Kristal lalu berjalan membuka lemari pendingin.
"Kami pasti akan hadir! Ngomong-ngomong, kenapa aku merasa kau sedikit berubah?" Bram menyipitkan matanya. Menatap Kristal dari atas sampai bawah.
Jane pun sama, dia memperhatikan gadis itu dengan detail. "Hei, Bram benar. Kenapa kau terlihat lebih cantik sekarang? Ya kau memang sudah cantik, tapi, hm... bisa-bisanya penampilan mu berubah drastis dalam dua hari!"
Kristal tersenyum samar. Bagaimana mungkin dia katakan pada mereka, kalau dia sudah tinggal di mansion dan penampilannya adalah hasil karya dari para pelayan, yang Kay kerjakan untuknya.
Bahkan mereka yang memilih baju yang Kristal kenakan, dan mendandani wajah kristal dengan sedikit makeup.
"Aku shift malam dengan siapa?" tanya Kristal tanpa berniat menjawab perkataan Jane dan Bram.
Keduanya saling memandang dengan diam. Perlahan, tatapan mereka tertuju pada Vano yang diam dari tadi. Kristal menatap arah pandang keduanya.
"Oh sama Kak Vano," jawabnya santai lalu mengambil apronnya untuk dipakai.
"Em, kamu nggak apa-apa shift malam sama Vano?" tanya Jane hati-hati.
Kristal mengerut bingung. "Emangnya kenapa?"
Jane ingin membuka suara tapi Bram lebih dulu menyela. "Kan kemarin dulu Vano nolak kamu, Tal. Kamu nggak apa-apa shift malam berdua sama Vano?" tanya Bram tanpa rasa bersalah sedikitpun.
Jane melongo. Tangannya langsung mencubit perut Bram dengan kuat. Sia-sia dia berbicara hati-hati dengan Kristal agar tidak menyinggung gadis itu, tapi mulut Bram malah ceplas-ceplos.
"Aduh, duh...sakit! Kenapa kau mencubit ku!" kesal Bram, mengusap perutnya.
"Tidak kenapa-kenapa. Aku hanya tidak tahu melampiaskan kekesalanku pada siapa," jawab Jane enteng.
Bram mendengus, dia mengusap perutnya dengan wajah muram.
Kristal terkekeh melihat interaksi keduanya. Mereka berdua selalu seperti itu sejak empat tahun terakhir. Bahkan Paman Wiliam angkat tangan pada Tom And Jerry ini.
"Santai aja, lagian itu cuman perasaan mengagumi kok, bukan rasa cinta." Kristal melangkah menuju kasir untuk absen kehadirannya.
Bram dan Jane saling memandang.
"Jadi selama ini bukan suka karena cinta?" tanya Bram memastikan.
Kristal mengangguk tanpa melepas pandangannya dari tablet yang ada di depannya.
"Wah, kita semua di prank." Bram menepuk tangannya sambil menggeleng.
Jane merotasikan matanya dan melipat kedua tangannya di dada. "Pantas saja dia tidak pernah mengungkapkan perasaanya, ternyata dia menganggap Vano seperti Kim Taehyung nya itu," sinis Jane. Sia-sia saja dia menghawatirkan Kristal selama dua hari ini.
Kenapa dia tidak menyadarinya? Kristal itu tipe wanita yang suka mengangumi lelaki tampan. Sudah pasti Vano tak akan lolos tari kekagumannya. Dasar wanita.
Bram tertawa mendengar perkataan Jane, sedangkan Kristal hanya cengengesan sambil menggaruk kepalanya.
"Sudahlah, aku mau pulang. Acara ulang tahun kakekku sebentar lagi dimulai. Aku pergi dulu Bro and Girl!" seru Bram dan mengambil helmnya.
"Hei, Bram! Aku numpang!" teriak Jane dab mengambil tas serta handphonenya yang sedang dia charger.
"Yasudah, ayo!"
"Kami pulang dulu, semangat kalian kerjanya!"
Jane dan Bram pamit, lalu keluar dari cafe setelah menerima balasan anggukan oleh Kristal dan Vano.
"Es batunya habis, Ka," sahut Kristal.
"Yaudah nanti aku yang refil, kamu lanjut stok espresso nya," Vano menyerahkan teko bening ke arah Kristal.
Kristal menoleh, menatap teko bening itu tanpa mengambilnya. "Taru aja di meja kak, nanti aku ambil," ucap Kristal dingin, lalu menggeser sedikit badannya agar tidak terlalu berdekatan dengan Vano.
Vano terdiam. Dia menatap Kristal dari samping. Wajah gadis itu tidak berubah sama sekali, hanya bertambah sedikit lebih cantik dengan makeup tipisnya.
Vani menarik sudut bibirnya, lalu menaruh teko bening itu ke atas meja. Biasanya, gadis itu akan langsung mengambil apapun benda yang dia berikan, agar bisa sekalian bersentuhan dengannya, tapi sekarang Kristal bahkan enggan menyentuh atau berdekatan dengannya.
Entah mengapa, ada perasaan aneh yang menggumpal di hatinya. Tidak ingin memikirkannya lagi, Vano segera berlalu ke belakang bar untuk mengambil es batu.
Kristal mengambil teko kaca itu dan menuju mesin pembuat espresso, tanpa mempedulikan Vano. Alasannya menjauhi Vano bukan karena penolakan lelaki itu, tapi karena statusnya yang sebentar lagi akan menjadi seorang istri. Ya, meskipun hanya istri kontrak, tapi mulai sekarang dia tidak boleh terlalu berdekatan dengan pria manapun.
...•••...
Dering ponsel terdengar.
Buru-buru Kristal mengambil ponsel mahal pemberian Kay yang ada di tasnya dan mengangkatnya. Hal itu tak lepas sedikitpun dari tatapan Vano.
"Halo?"
"Kamu pulang jam berapa?" Terdengar suara berat Kay dari seberang sana.
"Ini sudah mau pulang."
"Kalau begitu kamu pulang sendiri, saya tidak bisa jemput karena masih ada meeting."
"Oke."
"Saya matikan."
Kristal tersenyum samar. "Formal sekali dia," ucapnya, mengambil tasnya dan mematikan lampu cafe.
...•••...
"Kamu pulang sendiri?" tanya Vano setelah melihat Kristal selesai mengunci pintu Cafe.
"Iya, Kak."
"Mau bareng?" tawarnya sambil menatap Kristal.
Mereka baru berbincang lagi setelah percakapan es batu tadi, karena Kristal tidak mau membuka suara, dan duduk berjauhan dengan Vano selama jam kerja. Padahal dulu gadis itu selalu cerewet setiap satu shift dengan Vano.
Kristal menggeleng. "Nggak, Kak, makasi. Kristal pulang sendiri aja." Dia melangkah melewati Vano tanpa memandang wajah lelaki itu sedikitpun.
Vano mendengus. Entah mengapa dia sedikit tidak menyukai penolakan Kristal. Dia beralih menegang helmnya di tangan kiri dan berlari mencekal Kristal.
"Aku antar pulang. Udah malam, bahaya kalo pulang sendiri."
Kristal melirik tangan Vano. Jika dulu mungkin dia akan jingkrak-jingkrak tidak jelas jika Vano memegang tangannya. Tapi, sekarang tidak ada perasaan apapun lagi yang dia rasakan. Ya, mungkin tanpa sadar dia sudah memasukkan Vano ke dalam daftar hitam dari para idolanya.
"Kamu nggak bawah motor, kan? Pulang sama aku aja," tambah Vano, mencoba meyakinkan Kristal.
"Nggak perlu, Kak. Aku juga udah biasa pulang sendiri." Kristal melepaskan tangan Vano dengan kasar dan berjalan meninggalkan area cafe.
Vano terdiam menatap punggung Kristal yang menjauh. Tanpa sadar, tangannya perlahan mulai terkepal.
Kristal berdiri sendirian di depan halte. Waktu sudah menunjukkan pukul 10:00 malam. Area halte yang sedikit sunyi membuat perasaannya mulai tidak enak.
Angin dingin berhembus, menerpa wajahnya. Kristal mengusap lengannya sambil memandang ke arah kanan dan kiri. Senyum terbit di bibirnya, saat sebuah bus menghampirinya dan berhenti tepat di depan halte.
Syukurlah masih ada bus di jam segini. Dia benar-benar beruntung.
Kristal langsung menaiki bus itu. Sesaat, wajahnya berkerut bingung. Hanya ada dia dan beberapa pria di dalam bus. Kristal menoleh kebelakang saat pintu bus di tutup. Dengan perasaan campur aduk dia tetap memilih untuk duduk di bangku dekat pintu.