Hubungan Inara dan Artha harus kandas karena perselingkuhan Artha. Padahal mereka sudah mau menikah.
Malu pernikahan batal, Inara terpaksa menyetujui perjanjian dengan Argha, kakak Artha demi untuk membalas Artha dan tidak mempermalukan orang tuanya.
Inara kalah dengan perasaannya. Ia jatuh cinta pada suaminya yang misterius. Hanya saja, dendam Argha membuat Inara merasa rendah diri. Dan godaan Artha selalu datang pada mereka.
Akankah Argha dan Inara bisa bersatu, atau masa lalu Argha akan terus membuat jarak di antara mereka dan memilih berpisah demi kebaikan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Layli Dinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 26 Ditagih Cucu Lagi
Semua koper sudah siap. Inara dan Argha juga sudah siap dengan pakaian santai mereka.
Jujur, Argha malas jika harus pulang ke rumah utama. Kenapa harus ada tradisi mendekatkan keluarga dengan istrinya. Padahal, tinggal di penthouse pribadi atau rumah baru jauh lebih aman, kan? Aman dari gangguan Artha maksudnya.
“Mas, aku sudah kemas semuanya. Udah cek semua, enggak ada yang ketinggalan lagi, kok.” Inara meraih tas selempangnya, lalu memakainya.
Argha memasukkan ponselnya ke dalam saku, ia mengangguk dan mengambil alih koper milik Inara.
“Biar kubawa satu,” kata Inara berusaha meminta kopernya.
“Tidak perlu. Kamu jalanlah dulu. Biar saya yang bawa ini.”
Menuruti Argha jauh lebih baik dari pada harus membantah. Inara hanya bisa mengedikkan bahu, lalu melangkah terlebih dahulu keluar dari resort.
Di luar, sudah ada supir yang menjemput. Pria dengan seragam berwarna hitam itu lngsung berlari menuju Argha, mengambil alih dua koper besar milik majikannya itu.
“Biar saja saja, Tuan.”
Argha menyerahkan dua koper besar itu pada Pak Dadang. Lantas, ia masuk bersama Inara ke mobil. Mereka duduk bersebelahan. Argha meraih tangan Inara dan menggenggamnya.
Inara tersenyum lembut pada suaminya. Sejak kemarin, Argha memang sudah menunjukkan sikap baiknya. Ia tak akan meragu lagi pada suaminya itu. Terlebih, pria itu telah memberinya mahar sebuah rumah, mobil dan ia juga memberikan hadiah pada kedua orang tua Inara untuk merenovasi rumah mereka.
Sebenarnya Argha ingin membelikan rumah, hanya saja Pak Amar sangat mencintai rumah peninggalan orang tua mereka. lokasinya juga sangat strategis. Sehingga ia memilih untuk tetap tinggal di sana. Dan hanya perbaikan yang akan Argha berikan.
“Mas.”
“Hem.”
“Eungh … aku kok takut ya, Pak Alan—“
“Papa enggak bakalan ngapa-ngapain kamu. Kamu sudah jadi tanggung jawab saya. tenang saja. Anggap papa seperti papa kamu sendiri, seperti saya menganggap Papa Amar.”
Inara mengulum senyuman. Argha memang selalu bersikap manis pada orang tuanya. Hanya saja, ia tak bisa menghadapi Artha. Pria itu, bahakn masih suka mendekatinya.
“Jangan dekat-dekat dengan Artha,” pinta Argha kemudian, seolah tahu apa yang sedang Inara pikirkan saat ini.
“Aku tidak dekat-dekat, sih. Cuma, aku juga tidak bisa mengindari dia karena akan serumah, kan, Mas? Kesannya nanti—“
“Jaga jarak.”
Inara menatap wajah suaminya yang tampak serius itu. Benarkah suaminya cemburu? Ah, Inara merasa Argha hanya tidak ingin ia memberikan haraan pada adik iparnya. Ya, bisa jadi ipar adalah maut, kan? Terlebih Artha adalah mantan kekasihnya sendiri.
Ia yakin, Argha tidak ingin citra suaminya itu turun.
“Inara, kamu tahu, Artha bukan pria baik. Dia brengsek. Bahkan, dia bisa gonta-ganti cewek seperti gonta-ganti celana dalam. Jadi, jangan pernah termakan oleh kata-kata manisnya.” Argha memperingati. Kata-katanya ini memang sedikit lebay. Artha memang play boy, tetapi tidak separah itu. Terlebih saat menjalin hubungan serius dengan Inara. Artha sudah menghilangkan kebiasaan buruknya itu,
Mengenai Diah, tentu gadis itu yang awalanya datang dengan menyodorkan diri.
‘Mas Artha suka gonta-ganti wanita, tetapi kenapa kamu kaya gak ada tertarik-tertariknya sama wanita, sih, Mas?’ batin Inara.
“Saya enggak suka, kalau lihat kamu dekat dengan Artha. Saya tidak mau, milik saya disentuh sama siapapun.”
Hati Inara bertalun-talun. Ia berharap, yang dikatakan oleh suaminya itu suatu kebenaran. Jika Argha memang tidak ingin ia berpaling.
Inara menyenderkan kepalanya pada bahu Argha, spontan, suaminya itu mengusap pucuk kepalanya.
“Kita enggak akan lama, kan di rumah papa kamu? Soalnya jujur, aku enggak nyaman, Mas. Aku sedikit ada rasa segan sama keluarha kamu. Takut aja kalau sampai aku ngelakuin kesalahan.”
“Iya. Saya tahu, kok. Kita sudah berumah tangga, kita akan kembali ke rumah baru kita.”
Inara mengangkat wajah, dan memberikan senyuman lebar.
Supir sendiri tak berani bersuara. Ya, haram hukumnya mengganggu majikannya yang sedang seperti ini.
.
Sampai di rumah mewah keluarga Winata, Argha dan Inara turun dengan bergandengan tangan. Pak Dadang yang membawa koper masuk ke dalam kamar pengantin baru itu.
Kedatangan mereka disambut oleh Della dan Alan, sementara Artha tak terlihat.
“Welcome home, Argha, Inara,” sambut Della dengan semringah. Wanitanya yang masih terlihat cantik di usianya itu memeluk Inara, lantas, pelukan mereka terurai, Inara takzim pada kedua mertuanya ini.
“Terima kasih, Bu.”
“Loh, panggilnya kok Bu, Mama dong, sama Papa,” tegur Della.
Inara nyengir kuda. Padahal, dulu sebelum menjalin hubungan dengan Argha dan sat ia masih pacar Artha, kedua orang ini tampak jelas tidak menyukainya sama sekali. Lantas, kenapa sekarang berbeda. Jujur, ini yang masih membuat Inara penasaran.
“Duduk.” Della menggandeng menantunya itu, di ruang keluarga, sudah banyak kudapan yang tersaji, mulai dari kue, camilan ringan dan juga minuman serta pudding.
Semua itu dimasak oleh Della. Dua hari ini, ia libur bekerja. Dan fokus untuk menyambut anak serta mantunya.
Argha sendiri diam, matanya mengedar, mencari keberadaan Artha yang sejak tadi tak terlihat batang hidungnya.
“Gimana, sudah kepikiran mau honeymoon ke mana?” tanya Alan yang tak sabaran menunggu kabar baik dari putranya ini. Ia benar-benar ingin cucu dari Argha.
“Argha sedang menunggu tandatangan kontrak besar itu, Pa. Baru kami akan berbulan madu.” Argha meraih wine yang ada di meja, lalu menyesapnya perlahan. Tampak sangat elegant. Inara sendiri sampai terpesona oleh suaminya itu.
“Jadi, rencananya mau ke mana?” bisik Della yang juga penasaran.
Inara menggeleng pelan, “belum dibahas, Ma. Hehehe.”
Della menepuk pelan bahu Inara. “Pikirin dulu yang mateng. Ke Eropa juga seru kayaknya.”
“Inara terserah sama Mas Argha saja, Ma. Gak nuntut juga. di rumah juga sama aja, kan?” Inara memilin ujung roknya, jujur ia memang tidak pernah berencana untuk pergi ke manapun. Karena sejak kecil, liburan paling seru ya di taman bermain. Orang tuanya sama sekali tidak pernah mengajak keluar kota, kecuali kota kelahiran sang mama yang ada di jawa tengah.
“Kamu naif sekali.” Alan sampai geleng-geleng kepala. “Terpenting, papa mau cucu segera.”
Argha dan Inara saling tatap, hanya saja Argha tampak tersenyum menggodanya, ini yang membuat Inara panas dingin tidak karuan.
“Denger ya, Inara. Lahirkan cucu yang gemuk untuk kami. Jangan kesibukan membuat kalian harus program, ya,” lanjut Alan.
“Tenang, Pa. Inara sudah tidak bekerja lagi.”
Mendengar penyataan Argha, Inara langsung menarik ujung jaket suaminya pelan. Meski ia sering mendapatkan tekanan yang besar, tetapi bekerja adalah passionnya. Inara tidak ingin berhenti. “Mas, kenapa begitu?”
“Kamu engak usah kerja. Cukup di rumah nungguin saya pulang kerja. Apapun bisa kamu dapatkan, tanpa harus bekerja. Mengerti?”