Hubungan Inara dan Artha harus kandas karena perselingkuhan Artha. Padahal mereka sudah mau menikah.
Malu pernikahan batal, Inara terpaksa menyetujui perjanjian dengan Argha, kakak Artha demi untuk membalas Artha dan tidak mempermalukan orang tuanya.
Inara kalah dengan perasaannya. Ia jatuh cinta pada suaminya yang misterius. Hanya saja, dendam Argha membuat Inara merasa rendah diri. Dan godaan Artha selalu datang pada mereka.
Akankah Argha dan Inara bisa bersatu, atau masa lalu Argha akan terus membuat jarak di antara mereka dan memilih berpisah demi kebaikan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Layli Dinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 32 Masa Lalu Argha
Ini, Inara tampil cantik dengan menggunakan gaun berwarna hitam, tubuh rampingnya terlihat begitu jelas. Ia sudah meyakinkan diri, jika hal seperti ini adalah resikonya. Menjadi istri seorang Argha. Selain super sibuk, pria itu tak peka.
Entahlah …
“Inara.”
Inara menoleh pada Argha yang sudah siap dengan suit berwarna hitam. Pria tinggi itu mendekatinya, membuat Inara gugup akan tatapan Argha yang lembut.
“Aku akan jemput kamu. Jadi, setelah kamu turun, tolong untuk bisa menjaga sikap sebagai istri seorang Argha.”
Inara menganggukkan kepala. “Iya, Mas.”
Argha meraih tangan Inara. Menggandeng istrinya menuju ke mobil. Inara sendiri terdiam, ia masih tak tak tahu dengan sikap Argha yang sering-sering berubah. Namun, jika diperlakukan manis seperti ini, siapa yang tak terbuai.
Kemesraan itu, membuat Artha merasa sedih. Inara benar-benar telah move on darinya. Ini sangat membuatnya terpukul. Apa lagi saat Argha memeluk mesra Inara.
“Ayo.” Argha membukakan pintu mobil, melindungi kepala Inara supaya tak terbentur mobil menggunakan telapak tangannya. Istrinya itu tersenyum manis.
“Makasih, Mas.”
Selama perjalanan, Inara memperhatikan wajah tampan Argha yang fokus mengemudi.
“Kenapa kamu lihatin aku kaya gitu, Nara?” tanya Argha sedikit kikuk.
“Tidak apa-apa. Kamu tampan malam ini.”
Argha tersenyum malu-malu. Entahlah, mendengar pujian ini, ia merasa seperti terbang. “Kamu juga cantik.”
“Mas,” panggil Inara berusaha untuk menyelami perasaan suaminya itu.
“Hem?”
“Em, soal keinginan mama dan papa ….” Inara menggigit bibir bawahnya. Ia menimbang-nimbang sesuatu. Ada rasa malu dalam dirinya. Namun, kalau bukan ia yang memulai, lalu siapa lagi?
“Kenapa?”
“Soal keinginan papa dan mama, mengenai cucu, kamu siap?”
Argha terdiam, matanya bergerak resah. Keragu-raguan datang. Hal ini membuat Inara menciut. Wanita yang menggelung rambutnya itu pasrah.
“Em, kalau kamu belum siap tidak apa-apa. Aku ngerti, kok. Kalau misal kamu butuh proses bayi tabung, aku juga tidak apa-apa.”
“Aku siap,” sahut Argha.
Inara ternganga. Ia sendiri yang kelabakan kali ini. “Kamu … kamu bukannya sedang haid?”
Inara mengangguk. “Tidak lama lagi, sih. Aku hanya ingin kasih tahu kamu, kalau aku juga tidak akan menunda momongan, Mas.”
Argha mengangguk. Pipinya bersemu merah.
Inara meremas jarinya sendiri. Bagi seorang wanita yang normal, ia juga butuh pengakuan cinta. Meski sejak awal ia sudah tahu, niat Argha menikahinya hanya hubungan saling menguntungkan, supaya pria itu tidak dianggap tidak normal.
“Sudah sampai.”
Inara memperhatikan sekitar. Beberapa orang dengan pasangannya. Ia tersenyum getir, harus sendirian menghadiri acara ini. Wanita itu terdiam sesaat. Ia ingin memulai hubungan ini dengan baik. tak ada salahnya, kan kalau ia yang memulainya?
“Mas, aku turun.” Inara menyodorkan tangannya.
Argha tertegun menatap tangan Inara yang menggantung di udara. Dengan sedikit gemetaran, ia memberikan tangannya. Istrinya itu mencium punggung tangannya. Ini kedua kalinya, setelah acara ijab kabul waktu itu.
“Hati-hati di jalan, Mas,” ucap Inara dengan lembut. Berharap, Argha akan memberikan satu kecupan di dahinya.
“Ya.”
Alih-alih memberikan kecupan di dahi, Argha justru mencengkeram erat kemudi. Jemari panjangnya mengetuk di stir.
Inara tahu, suaminya itu ingin ia lekas turun. Inara membuka pintu mobilnya dan turun.
“Inara.” Inara menoleh, sedikit membungkukkan tubuh rampingnya. “Nanti aku jemput. Aku tidak akan lama.”
Inara mengangguk. Ia menutup pintu mobil dan pergi seorang diri masuk, mencari keberadaan papa dan mama mertuanya.
Argha memperhatikan Inara yang masuk ke dalam gedung samping rumah sakit. Tempat akan diadakan peresmiannya.
“Harusnya aku sedikit memberinya perhatian. Argha, kamu tidak peka sama sekali,” batin Argha.
Inara bagaikan orang yang tersesat. Tak ada yang ia kenal di sini. Ia terasa sangat malu. Tak ada gandengan seperti yang lainnya.
“Inara!” panggil Alden setengah berlari. Pria tampan yang flamboyan itu tersenyum hangat. “Mana Argha?”
“Eungh, Mas Argha sedang ada janji sama orang mengenai kontrak. Jadi, mungkin dia akan datang terlambat,” jawab Inara. “Mas Alden sama siapa?”
“Sendiri. Yah, begini lah nasib jomlo. Mau temani aku?” tanya Alden dengan sedikit gurauan.
“Ayo!”
Mereka berdua berjalan bersama. Inara tak begitu sungkan dengan Alden, mengingat pria itu adalah sahabat karib Argha.
“Kamu mau makan dulu?” Alden menawari. Inara menjawab dengan gelengan.
“Alden!” panggil seorang wanita dengan memakai gaun cantik berwarna rose gold. Wanita itu menggerai rambutnya yang dibuat keriting di ujung. Cantik dan sangat elegan.
“Diana.”
Inara yang memang mengenal wanita itu memberikan anggukan kecil, sebagai bentuk penghormatannya, Diana sering datang ke kantor Argha, hanya saja mereka tak pernah berkomunikasi.
Diana melirik sekilas Inara, lalu kembali fokus pada Alden. “Lihat Argha? Sejak tadi aku cari tak terlihat? Apa dia datang? Ada yang ingin aku tanyakan sama dia, yang tiba-tiba saja menikah tanpa mengabari.”
Alden tersenyum kikuk pada Inara. Entah apa yang akan ia katakan pada Diana, posisinya serba salah.
“Kamu tanya saja sama istrinya,” tunjuk Alden pada Inara.
Mulut Diana ternganga. Tak percaya. Sosok yang sempat ia lihat di kantor adalah istri seorang Argha.
“Dia? Dia bukannya staf kantornya Argha? Kok bisa?” Diana menatap Inara dengan tatapan menilai. Merasa jika ada yang salah dengan Argha.
Inara merasa malu, matanya mengedar ke sekitar, takut orang-orang memperhatikan mereka.
“Kalian pasti nikah kontra!” tuduh Diana. Tangannya bersedekap dada.
“Ha? Nikah kontrak? Saya tidak menikah kontrak, Nona. Kami menikah dengan sah.”
Diana geleng-geleng kepala. Merasa dikalahkan oleh seseorang yang ia anggap bukan levelnya untuk bersaing. “Yang benar saja! Argha memilih kamu?”
Alden menggaruk kepalanya. Situasinya sudah tidak kondusif lagi. Ia takut, semuanya akan kacau. Ia berusaha untuk menarik tangan Inara.
“Memangnya kenapa?” Inara menepis tangan Alden. Merasa tertantang. Jiwa bar-barnya kambuh lagi.
“Hey, kamu … kamu enggak lagi ngejebak Argha, kan?”
Inara menghela napas. Ia teringat dengan nasihat Argha, untuk menjaga nama baik suaminya. “Sepertinya bukan hak saya untuk menjelaskan ini pada Anda. Ayo, Mas Alden!”
Inara mendahului Alden pria itu juga geregetan dengan Diana yang begitu menyebalkan.
“Inara! Kamu tadi keren,” ucap Alden setengah berbisik.
“Aku tersinggung, Mas Alden! Berasa kaya jadi upik abu.” Inara mengerucutkan bibirnya, Alden sendiri tertawa menanggapinya. Inara memang keren, wanita itu tidak pernah jaim di depan siapapun. Kepercayaan dirinya begitu tinggi.
“Sorry, sorry. Aku juga tidak suka dengan Diana. Dia terlalu mengejar Argha. Untungnya, Argha tak terpengaruh.”
Inara mengembuskan napas kasar. Merasa putus asa.“Apa dia beneran tidak suka wanita?”
“What!” Alden terkejut mendengarnya, dan Inara gelagapan. “Kamu salah sangka, Inara! Argha hanya trauma dengan cinta. Bukannya dia tak suka wanita.”
“Trauma? Kenapa?”