5 hari sebelum aku koma, ada sesuatu yang janggal telah terjadi, aneh nya aku tidak ingat apa pun.
__________________
"Celine, kau baik-baik saja?"
"Dia hilang ingatan!"
"Kasian, dia sangat depresi."
"Dia sering berhalusinasi."
__________________
Aku mendengar mereka berbicara tentang ku, sebenarnya apa yang terjadi? Dan aneh nya setelah aku bangun dari koma ku, banyak kejadian aneh yang membuat ku bergidik ketakutan.
Makhluk tak kasat mata itu muncul di sekitar ku, apa yang ia inginkan dari ku?
Mengapa makhluk itu melindungi ku?
Apakah ini ada hubungan nya dengan pria bermantel coklat yang ada di foto ku?
Aku harus menguak misteri ini!
___________________
Genre : Horror/Misteri, Romance
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maylani NR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Membuntuti Reina
Malam itu di Minimarket.
Setelah berjalan sekitar 15 menit, Celine akhirnya tiba di minimarket. Udara dingin dari pendingin ruangan menyambutnya saat ia melangkah masuk, ia meraih keranjang belanja berwarna merah dan mulai memilih makanan serta keperluan lain yang dibutuhkannya.
Briyon, dengan sosoknya yang transparan dan melayang halus, mengikuti di samping Celine. Mata lembutnya memperhatikan setiap barang yang Celine masukkan ke dalam keranjang.
Dari ujung lorong yang sama, dua gadis remaja berdiri di depan rak, sibuk memilih makanan ringan. Sesekali, mereka melirik ke arah Celine, sebelum mulai berbisik.
"Lihat wajahnya," kata salah satu gadis dengan suara pelan, namun cukup terdengar oleh Celine. "Cantik sih, tapi kenapa merah begitu?"
"Iya, jadi jelek ya hahaha," sahut gadis lainnya sambil terkikik pelan.
Celine mendengar ucapan mereka, tapi ia memutuskan untuk tidak menanggapi. Dengan tenang, ia melangkah ke rak lain, mencoba mengalihkan perhatian.
Di rak berikutnya, Celine berhenti sejenak, matanya menatap kosong ke arah deretan makanan di depannya. Keheningan itu menarik perhatian Briyon.
"Celine?" tanyanya lembut.
Celine menoleh, tersenyum kecil sambil menatap mata Briyon. "Briyon, apakah luka di wajahku membuatku jelek?"
Mendengar pertanyaan itu, Briyon tersenyum hangat. Ia menggelengkan kepalanya dengan pelan. "Kamu cantik," ujarnya tulus, tatapannya penuh kasih.
"Sungguh? Kamu tidak berbohong?" tanya Celine, masih ragu.
Alih-alih menjawab, Briyon menoleh ke arah dua gadis yang sebelumnya membicarakan Celine. Wajahnya yang lembut berubah dingin, matanya menyiratkan amarah yang tertahan. Ia mengulurkan tangannya, membuat gerakan kecil di udara.
Syuuut!
Tiba-tiba, rak tempat kedua gadis itu berdiri bergetar. Tanpa peringatan, makanan-makanan di rak itu berjatuhan, menimbulkan suara berisik yang membuat seluruh orang yang berada di minimarket tersentak.
Bruk, Bruk!
"Heh! Apa yang kalian lakukan?!" seru seorang karyawan minimarket yang segera menghampiri.
"Ah? Kami tidak tahu! Makanan ini jatuh sendiri!" jawab salah satu gadis dengan panik.
Karyawan itu tak peduli. "Cepat bertanggung jawab! Taruh semuanya kembali ke rak, dan kalau ada yang rusak, kalian harus ganti!" katanya tegas.
Kedua gadis itu ingin membantah, tapi mereka tau tidak punya pilihan lain. Dengan enggan, mereka mulai memunguti makanan yang berjatuhan.
Sementara itu, Briyon berdiri di dekat Celine, tersenyum puas melihat kekacauan kecil yang ia ciptakan.
"Apa yang terjadi?" tanya Celine, terkejut dengan kejadian itu.
"Balasan," jawab Briyon singkat, tatapannya masih mengarah ke dua gadis itu.
"Balasan?" Celine mengulang, bingung.
Briyon menoleh ke arahnya, senyum tipis tersungging di wajahnya. "Ya," katanya, penuh makna.
Celine akhirnya menyadari siapa yang bertanggung jawab atas kekacauan itu. "Kamu yang melakukannya?" tanyanya, dan Briyon hanya menjawab dengan senyuman samar.
"Kamu tidak boleh melakukan itu, Briyon!" kata Celine dengan nada kesal. Ia menggelengkan kepala, merasa tak percaya dengan apa yang baru saja dilakukan oleh suaminya. "Aku tidak ingin kamu berbuat seperti itu lagi!"
Tanpa menunggu jawaban, Celine berjalan meninggalkan Briyon, ekspresi wajahnya menunjukkan kekecewaan.
Namun, Briyon tetap berdiri di tempatnya, memandang punggung Celine dengan tenang. Bagi Briyon, meskipun kecil, setiap tindakan yang menyakitkan hati orang yang ia cintai pantas mendapatkan balasan—dan balasan itu harus setimpal, bahkan berkali-kali lipat.
.......
.......
.......
Setelah menyelesaikan belanjaannya, Celine keluar dari minimarket dengan langkah santai. Namun, matanya tiba-tiba menangkap sosok yang sangat ia kenal.
"Reina?" gumamnya pelan.
Reina, rekan kerjanya di cafe, sedang berdiri di dekat sebuah motor Ninja hitam. Di sampingnya, seorang pria bertubuh besar dengan tato naga menghiasi lengannya terlihat berbicara dengan Reina. Pria itu memiliki aura mengintimidasi, dan Celine langsung mengenalinya dari hasil penyelidikan yang selama ini ia lakukan—anggota salah satu gangster paling berbahaya di kota ini.
"Reina? Sedang apa dia dengan pria itu?" Celine bertanya-tanya dalam batinnya.
Naluri detektifnya segera mengambil alih. Ia membuka tas kecilnya, mengambil masker, lalu mengenakannya. Ia juga menarik kupluk sweater nya untuk menyembunyikan wajahnya lebih baik. Dari jarak aman, Celine mengamati gerak-gerik Reina dan pria bertato itu.
Tak lama, Reina turun dari motor dan berjalan masuk ke minimarket, sementara pria bertato naga itu menunggu di luar dengan santai, duduk di atas motor nya.
"Aku penasaran, ada hubungan apa mereka?" pikir Celine sambil terus mengawasi dengan hati-hati.
Beberapa menit kemudian, Reina keluar dari minimarket dengan kantong plastik kecil di tangannya. Tanpa banyak bicara, ia kembali naik ke motor Ninja tersebut. Pria bertato naga menyalakan mesin, dan mereka melaju dengan cepat meninggalkan area minimarket.
Celine mengepalkan tangan. Rasa ingin tahunya semakin besar. "Aku harus mengikuti mereka!" katanya, memutuskan untuk bertindak.
Begitu motor itu menghilang dari pandangan, Celine segera melambaikan tangan, mencoba menghentikan sebuah taksi yang kebetulan melintas. Sebuah taksi berhenti tepat di depannya, dan Celine masuk dengan cepat.
"Pak, ikuti motor Ninja itu!" perintahnya tegas, sambil menunjuk motor yang sudah agak jauh di depan.
Sopir taksi menatap Celine sebentar melalui kaca spion, lalu mengangguk. "Baik, nona."
Mesin taksi menderu, melaju untuk mengejar motor Ninja yang kini melaju di jalanan malam. Celine duduk di kursi belakang dengan tubuh tegang, matanya tidak lepas dari motor di kejauhan.
Angin malam meniup lembut rambutnya yang terurai dari balik kupluk. Ia tahu, keputusan untuk mengikuti Reina bisa membawanya pada jawaban atau justru bahaya yang lebih besar. Tapi satu hal pasti, ia tidak akan mundur sampai ia tau apa yang sebenarnya terjadi.
.......
.......
.......
Perjalanan selama 15 menit di taksi terasa lebih lama dari biasanya bagi Celine. Matanya terus terpaku pada motor Ninja yang ia ikuti. Ketika motor itu akhirnya berhenti di depan sebuah Hotel yang cukup ramai, perasaan waspada Celine semakin menguat.
Setelah membayar ongkos taksi, Celine turun dan dengan hati-hati ia mengikuti Reina dan pria bertato naga itu secara sembunyi-sembunyi.
Mereka masuk ke dalam hotel, berbicara sebentar dengan resepsionis, sebelum menerima kunci kamar. Celine berdiri di luar lobi, mengamati mereka dari balik kaca.
"Aku harus tau nomor kamar mereka," gumam Celine. Sebuah ide gila muncul di kepalanya.
"Briyon," panggilnya pelan, suaranya hampir berbisik. Ia tau Briyon ada di dekatnya meskipun tidak terlihat. "Bisa kamu lihat kunci nomor berapa yang diberikan resepsionis pada Reina? Setelah itu beri tau aku, ya."
Hawa dingin yang akrab menyelimuti Celine, itu adalah tanda kehadiran Briyon. Tak lama kemudian, Briyon muncul di sisinya, tersenyum tipis, dan mengangguk. Ia melayang halus ke dalam hotel, menuju meja resepsionis tempat Reina dan pria bertato itu berdiri.
Briyon memperhatikan dengan seksama ketika resepsionis menyerahkan kunci kepada Reina. Dengan cepat, ia kembali ke Celine dan berbisik, "Kamar 41."
"Terima kasih, sayang," ucap Celine dengan senyum kecil. "Aku penasaran ada hubungan apa Reina dengan pria itu."
Setelah memastikan Reina dan pria bertato itu pergi ke arah lift, Celine masuk ke lobi hotel. Ia melangkah ke meja resepsionis dengan percaya diri, menyembunyikan kegugupan di balik masker dan kupluknya.
"Ada yang bisa saya bantu, Nona?" tanya resepsionis dengan ramah.
"Saya mau check-in kamar nomor 40," jawab Celine tegas.
Resepsionis memeriksa layar komputernya sebentar, lalu mengangguk. "Baik. Tolong isi formulir ini, dan kami akan segera memprosesnya."
Celine dengan cepat mengisi formulir yang diberikan, membayar biaya administrasi, dan menerima kunci kamarnya.
"Selamat menikmati malam Anda, Nona," ujar resepsionis sambil tersenyum.
"Terima kasih," balas Celine sambil menggenggam kunci kamar nomor 40.
Dengan langkah tenang, ia berjalan menuju lift, pikirannya penuh dengan berbagai kemungkinan. Mengapa Reina berada di sini? Apa hubungannya dengan pria bertato naga itu? Dan yang paling penting, apa yang sebenarnya sedang mereka rencanakan?
Celine tau bahwa jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu ada di balik pintu kamar 41. Dan ia bertekad untuk mengetahuinya, bagaimanapun caranya.
...Bersambung ......