Sahabat itu cinta yang tertunda, kata Levin satu waktu berkata pada Dizza seolah konsep itu memang sudah dialami nyata oleh si pemuda. “Kau hanya perlu melihat dengan persepsi yang berbeda untuk menemukan cintamu.”
Sampai kemudian Dizza yang berpikir itu omong kosong mengalami sendiri kebenaran yang Levin katakan padanya. Dizza jatuh cinta pada Edzhar yang adalah sahabatnya.
"Memangnya boleh mencintai sahabat sendiri?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rucaramia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rasa Khusus
Suara tangisan…
Kimber berjalan mengikuti asal suara tangisan yang dia dengar. Akhirnya dia menemukan asal suara tersebut dari sudut taman. Seorang bocah perempuan sedang berjongkok sambil menyembunyikan wajahnya. Di depan bocah itu ada seseorang yang juga sedang berjongkok, sepertinya dia sedang mencoba untuk menghentikan tangisan bocah itu, dan Kimber langsung mengenali orang itu. Dia … Levin.
“Apa yang sedang kau lakukan, Levin?” tanya Kimber sambil berjalan dengan cepat ke arah Levin.
“Kimber? A—aku tidak, aku… tidak….” Entah kenapa pria itu terlihat gugup dan bahkan kata-kata yang keluar dari mulutnya pun tergagap begitu. Dia seperti kebingungan untuk memberikan jawaban kepada Kimber.
“Kenapa dia menangis?” Kimber langsung berjongkok di samping bocah itu.
“Percayalah, bukan aku yang membuatnya menangis,” sahut Levin cepat, seolah dia sedang membela dirinya dari tudingan Kimber. Gadis itu langsung menatap ke arah Levin, menarik napas dan kemudian berkata padanya. “Aku tidak menuduhmu kok, aku hanya bertanya kenapa dia menangis.”
“Eh? Begitukah?” Levin menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sedikit malu karena dia salah mengira. “A—ah, kalau soal itu aku juga tidak tahu. Saat aku menemukan dia, dia sudah menangis disini dan tidak mau diajak bicara,” jelas Levin.
“Kalau begitu, kau mengenalnya?” tanya Kimber lagi yang langsung ditanggapi dengan gelengan di kepala Levin.
“Kalau kau?” tanya Levin balik bertanya. Kimber jelas langsung menggelengkan kepalanya juga.
Keduanya menghela napas.
“Bagaimana ini, apa kita terjebak dengan anak ini disini?” gumam Levin yang terdengar oleh Kimber.
Gadis itu kontan langsung mengangkat tangannya untuk mengelus kepala si bocah yang masih saja menangis. Kimber mendekatkan bibirnya ke telinga bocah itu kemudian. “Sudah, ya jangan menangis lagi. Ada kakak disini. Kakak akan membantu tapi kamu harus berhenti menangis dulu, adik kecil,” bisiknya lembut.
Secara perlahan tangis bocah itu mulai berkurang dan dia pun mulai mengangkat kepalanya, menampakan wajah yang penuh dengan air mata dan ingus. Kimber merogoh kantongnya, mengambil sebuah sebuah sapu tangan dan membersihkan wajah bocah itu dengan segera.
“Hai, sudah selesai menangisnya?” sapa Kimber setelah selesai dia membersihkan wajah si bocah. “Aku Kimber, namamu siapa?”
Bocah itu tidak langsung menjawab malah dia mengarahkan pandangan matanya pada Levin. Kimber langsung mengikuti arah pandangan bocah perempuan itu dan mendapati Levin tengah menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan oleh Kimber sendiri.
Kenapa Levin menatapku seperti itu?ungkap Kimber dalam hati.
“Levin,” panggil Kimber.
“Eh, iya. Ada apa?” Levin sempat gelagapan, dan Kimber kembali menelengkan kepalanya kepada si bocah perempuan. “H—Halo,” sapa Levin yang langsung mengerti gesture tubuh Kimber. Dia langsung mengalihkan pandangan matanya kepada si bocah alih-alih menatap Kimber seperti sebelumnya. “Aku Levin.”
“Kakak seram,” ujar si bocah perempuan yang sekarang tangisnya sudah berhenti. Mendengar sebutan itu Levin langsung memberenggut. Dia sama sekali tidak mengira akan langsung mendapatkan julukan dari bocah perempuan di hadapannya.
“Hmmmp…” Levin menoleh dan dilihatnya Kimber sedang menutup mulutnya dengan kedua tangan. Berusaha untuk tidak terang-terangan tertawa atas celetukan si bocah.
“Kalau mau tertawa, tertawa saja!” kata Levin sebal.
Namun nada tinggi yang Levin keluarkan malah membuat bocah perempuan itu menangis lagi.
“Eh, eh … Kimber bagaimana ini, dia menangis lagi!” ujar Levin sambil menunjuk ke arah si bocah dengan kebingungan. Kimber langsung melotot. “Ini gara-gara kau, Levin,” katanya.
“Lah, kenapa aku?”
Kimber tidak menggubris Levin dan dia langsung memusatkan perhatiannya pada si bocah yang kembali menangis lagi. “Maaf ya, adik kecil. Kakak seram membuatmu takut,” ujar Levin yang langsung beraksi seraya mengelus kepala si bocah seperti yang dilakukan oleh Kimber sebelumnya. Tangis bocah perempuan itu langsung berhenti dan kedua matanya menatap pada Levin lekat-lekat. Levin sendiri langsung tersenyum padanya dan si bocah perempuan itu pun langung membalasnya dengan cengiran lebar.
“Tidak apa-apa,” kata bocah itu.
Interaksi tersebut pun juga memunculkan senyuman di wajah Kimber.
“Jadi, siapa namamu adik kecil?” tanya Levin dengan nada suara yang sangat lembut.
“Lily,” jawabnya.
“Nah, Lily. Kenapa kau menangis tadi?” tanya Levin lagi.
Lily langsung menunjuk pada satu direksi di tanah yang tidak jauh dari posisi mereka. Kimber dan Levin langsung mengikuti arah yang ditunjukan oleh Lily. Mereka melihat ada ice cream yang jatuh di tanah, keduanya pun saling berpandangan setelahnya dan langsung menganggukan kepala.
“Jadi kamu menangis karena ice cream-mu terjatuh, Lily?” tanya Kimber. Lily mengangguka, kelihatannya dia mulai akan menangis lagi.
“Tidak apa-apa,” Levin mengelus rambut Lily lagi.
Kimber memandang Levin dan Lily bergantian, senyum mengembang diwajah gadis itu. Entah kenapa tetapi melihat Levin berinteraksi dengan anak kecil terlihat sangat menggemaskan. Apalagi beberapa saat lalu dia masih salah tingkah seperti bingung harus bagaimana.
“Kakak seram akan belikan yang baru untukmu, bagaimana mau tidak?” Mendengar Levin menyarankan hal itu Lily tersenyum cerah dan menganggukan kepala penuh semangat.
“Aku mau rasa coklat!” sahutnya bersemangat dan Kimber tersenyum penuh arti.
“Baiklah, baiklah,” kata Levin. “Nah ayo kita sekarang cari ice cream-nya.”
Lily langsung mengangkat tangan minta digendong. Levin memandang Kimber, gadis itu hanya angkat menganggukan kepala sebagai jawaban. Tanpa perlu buang waktu, Levin langsung mengangkat tubuh si bocah perempuan itu dan mendudukannya di pundak. “Ayo kita berburu ice cream!” seru bocah itu bersemangat.
“Yeah!” seru Levin tak kalah bersemangat.
Levin mulai berjalan sambil membawa Lily bersamanya. Tetapi baru beberapa langkah dia berhenti dan menoleh pada Kimber. “Kau tidak mau ikut bersama kami?” tanyanya. Kimber tersenyum, segera mengikis jarak mendekati mereka berdua.
“Mau beli ice cream dimana?” kata Kimber begitu dirinya telah berjalan beriringan dengan Lily dan Levin.
“Yang terdekat sajalah ya,” sahut Levin.
Tak berapa lama mereka sampai di penjual ice cream. Levin segera memesan ice cream coklat seperti yang sudah diminta oleh Lily dan sementara dia memesan rasa coffe untuk dirinya. Kimber sendiri terdiam di posisinya, dia tidak mengatakan apapun dan hanya mengikuti mereka berdua.
“Kak Kimber mau rasa apa?” tanya Lily tepat di saat yang sama Levin hendak menanyakan hal yang sama.
“Coklat,” jawab Kimber dengan senyuman secerah mentari sambil mengangkat jari membentuk huruf ‘V’ sebagai jawaban untuk Lily. Saat itulah Levin tak sengaja melirik padanya.
Untuk sesaat Levin tampak terkesiap, dan bisa dibilang dia terpesona pada senyuman yang Kimber berikan kepadanya. Dia berusaha untuk mengenyahkan beberapa hal yang ada dikepala sebelum akhirnya dia menghela napas dan tersenyum penuh arti. “Dasar,” gerutu Levin.
Kau tahu Levin, aku rasa aku pun punya rasa khusus terhadap coklat.
Love ..word that can cause happiness or sadness Depend situation. i hate that word n try to avoid happened to me 🫣🤔😱