Nayla, seorang gadis sederhana dengan mimpi besar, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis setelah menerima lamaran dari Arga, seorang pria tampan dan sukses namun dikelilingi rumor miring—katanya, ia impoten. Di tengah desakan keluarganya untuk menerima lamaran itu demi masa depan yang lebih baik, Nayla terjebak dalam pernikahan yang dipenuhi misteri dan tanda tanya.
Awalnya, Nayla merasa takut dan canggung. Bagaimana mungkin ia menjalani hidup dengan pria yang dikabarkan tak mampu menjadi suami seutuhnya? Namun, Arga ternyata berbeda dari bayangannya. Di balik sikap dinginnya, ia menyimpan luka masa lalu yang perlahan terbuka di hadapan Nayla.
Saat cinta mulai tumbuh di antara mereka, Nayla menyadari bahwa rumor hanyalah sebagian kecil dari kebenaran. Tetapi, ketika masa lalu Arga kembali menghantui mereka dalam wujud seseorang yang membawa rahasia besar, Nayla dihadapkan pada pilihan sulit, bertahan di pernikahan ini atau meninggalkan sang suami.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rose.rossie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Tangannya memegang kertas itu dengan kuat, seperti sedang menahan diri untuk tidak meremasnya. Arga membaca pesan itu sekali lagi, memastikan dirinya tidak salah paham. Di sebelahnya, Nayla memandang dengan alis berkerut, merasa bahwa pesan tersebut lebih seperti ancaman daripada sekadar ejekan.
“Siapa lagi sekarang?” gumam Nayla. “Clara? Atau ada drama baru yang belum kita ketahui?”
“Kalau ini drama baru, aku lebih pilih keluar panggung,” jawab Arga sambil melipat kertas itu dan memasukkannya kembali ke amplop. Dia mencoba terlihat santai, tetapi ekspresinya terlalu tegang untuk menyembunyikan kekhawatirannya.
---
Di ruang keluarga, suasana yang biasanya canggung kini berubah lebih berat. Ibu Nayla duduk dengan punggung tegap di sofa, sementara ayahnya sibuk memainkan kancing bajunya, kebiasaan yang selalu muncul saat dia merasa bersalah.
“Jadi…” Ibu Nayla memulai dengan suara kecil. “Kami hanya ingin meminta maaf, Nay.”
Nayla menatap ibunya, tidak yakin bagaimana harus merespons. “Minta maaf untuk apa?”
“Untuk semuanya,” jawab ayahnya. “Kami terlalu sibuk dengan hal-hal yang seharusnya tidak penting. Uang, kemewahan... Kami lupa kalau kamu adalah anak kami.”
Arga menahan diri untuk tidak tertawa. Sebagai seseorang yang sudah lama mengamati keluarga Nayla, dia tahu betapa sulitnya bagi mereka untuk mengakui kesalahan.
“Lupa? Jadi aku seperti panci yang kalian tinggalkan di dapur?” tanya Nayla dengan nada datar, tapi matanya mulai berkaca-kaca.
“Kamu tahu maksud kami, Nak,” jawab ibunya dengan ekspresi memelas. “Kami terlalu bergantung pada Arga, sementara kamu... ya, kamu berjuang sendirian.”
“Kalau boleh jujur,” sambung Arga sambil bersandar ke kursi, “Saya pikir kalian lebih melihat saya sebagai ATM berjalan.”
Ayah Nayla batuk pelan, mencoba mengalihkan pembicaraan. “Itu kan dulu, Nak Arga. Sekarang kami sudah sadar dengan kesalahan kami.”
Nayla akhirnya menghela napas panjang, menahan amarah yang seharusnya sudah lama dia keluarkan. “Aku tidak minta kalian jadi orang tua sempurna. Aku cuma minta kalian ada di sana. Waktu aku diserang Clara, waktu hidupku porak-poranda... Aku cuma butuh kalian.”
Ibunya terlihat semakin menyesal. “Kami tahu, Nay. Dan sekarang kami di sini. Apa pun yang kau butuhkan.”
“Bagus,” Nayla menjawab dengan nada datar. “Kebetulan aku butuh dukungan moral dan, kalau bisa, tolong jangan minta uang untuk sementara waktu.”
Arga tertawa kecil di sebelahnya, tapi cepat-cepat mengubahnya menjadi batuk palsu saat melihat tatapan tajam dari ibu Nayla.
Setelah pembicaraan panjang yang penuh tarik-ulur, suasana mulai mencair. Ayah Nayla bahkan mencoba mencairkan suasana dengan lelucon receh tentang bagaimana dia pernah salah memencet microwave sehingga popcorn berubah jadi arang.
Tak berselang lama kedua orang tua Nayla berpamitan. Arga dan Nayla pun mengantar mereka ke pintu depan.
---
“Aku pikir itu sudah selesai,” ujar Arga sambil menahan tawa.
“Seperti pesan di amplop tadi,” Nayla menimpali, matanya melirik ke arah amplop yang kini tergeletak di meja. “Apa menurutmu ada sesuatu yang serius di balik pesan itu?”
Arga mengangkat bahu, meskipun jelas dia tidak benar-benar santai. “Aku sudah terbiasa dengan Clara. Tapi, siapa pun yang menulis ini, dia pasti punya rencana.”
“Kalau rencananya cuma bikin kita stres, mereka berhasil,” jawab Nayla sambil menyandarkan kepala ke sofa.
Tapi sebelum suasana terlalu santai, ponsel Arga berbunyi. Dia melirik layar, dan ekspresinya langsung berubah serius.
“Ada apa?” tanya Nayla.
Arga menunjukkan pesan di layar. Hanya ada satu kalimat, “Waktumu habis, Arga. Lihat berita malam ini.”