Narendra sang pengusaha sukses terjebak dalam situasi yang mengharuskan dirinya untuk bertanggung jawab untuk menikahi Arania, putri dari korban yang ia tabrak hingga akhirnya meninggal. Karena rasa bersalahnya kepada Ayah Arania akhirnya Rendra bersedia menikahinya sesuai wasiat Ayah Arania sebelum meninggal. Akan tetapi kini dilema membayangi hidupnya karena sebenarnya statusnya telah menikah dengan Gladis. Maka dari itu Rendra menikahi Arania secara siri.
Akankah kehidupan pernikahan mereka akan bahagia? Mari kita ikuti ceritanya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rose Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kesalahan
"Pak Arga!" Pekik Gladys yang kaget dengan kedatangan pria itu dengan tiba-tiba, hingga ia spontan mengeratkan bathrobenya yang hampir terlepas saat handuk telah luruh ke lantai. Tapi untungnya telah bisa terpasang sempurna menutupi tubuhnya.
Arga seketika memalingkan wajahnya serta pandangannya ditutupi dengan telapak tangan nya. "Oh... Maaf-maaf. Saya pikir kamu masih di dalam kamar mandi. Tapi ternyata kamu sudah kembali ke kamar. Maafkan saya. Saya tidak bermaksud tidak sopan masuk tanpa permisi." Ujar Arga merasa tak enak hati. Arga kemudian berbalik badan menghadap ke arah pintu. "Saya hanya ingin mengantarkan ini. Ini pakaian kering untuk mengganti baju mu yang tadi basah."
Arga meletakkan pakaian itu di atas sofa sebelum ia melangkah menuju pintu keluar.
"Terimakasih, Pak Arga, dan saya juga minta maaf atas kecanggungan ini." Ucap Gladys kikuk.
Arga tersenyum dibalik punggungnya yang membelakangi wanita cantik itu. "Baiklah, nanti saya tunggu kamu di luar. Saya membuat minuman panas untuk menghangatkan badan kita." Setelah itu Arga keluar dari kamar itu untuk membuat minuman panas untuk mereka.
Gladys mengambil pakaian itu. Seraya mengamati model pakaian itu. "Ini pakaian wanita. Apakah ini milik mendiang istrinya?" Gumamnya. Kemudian ia memakainya dan mematut dirinya di cermin. Dirinya terlihat pas dan cantik dalam balutan pakaian rumahan yang sama sekali belum pernah ia kenakan selama ini.
"Dress yang cantik dan nyaman. Sepertinya aku akan membiasakn memakainya di rumah." Gumamnya saat mematut di depan cermin.
Setelah itu Gladys keluar dari kamar dan mencari keberadaan Arga. Langkah gemulainya membawa dirinya ke area ruang makan yang mengarah ke dapur. Benar seperti dugaannya, Arga saat ini sedang menyiapkan cemilan serta minuman hangat di tempat itu.
"Pak Arga," panggil Gladys seraya berjalan mendekati meja pantry.
Arga mendongak ke arah suara lembut yang menyapanya.
Geg!
Namun tiba-tiba duda tampan itu tertegun melihat siapa yang datang ke arahnya.
"Farah?" Gumam Arga dengan suara tercekat di tenggorokan. Genangan air mata membasahi penglihatannya. Rasa kerinduan yang sangat lama terpendam seolah terobati dengan hadirnya sesosok wanita cantik yang mengenakan dress berwarna navi dengan rambutnya yang sedikit basah dan tergerai. Wanita itu sekilas seperti Farah-mendiang istri Arga yang telah tiada 10 tahun yang lalu.
Tes
Air mata yang tergenang akhirnya menetes di rahang tegas berbulu itu. Dalam beberapa detik pria itu dapat melepas rindu pada bayangan istrinya yang telah tiada pada tubuh wanita yang berbeda.
"Pak Arga? Kau kenapa?" Ujar Gladys merasa heran dengan sikap Arga yang termangu menatapnya dengan intens.
Suara Galadys yang memanggil namanya menyadarkan Arga kembali dari lamunan kerinduannya. Pria tampan itu terkesiap, buru-buru ia menghapus sisa-sisa air mata yang masih menempel di sudut matanya.
"Pak, kau baik-baik saja?" Gladys menyentuh lembut lengan Arga.
"Ah, i-iya. Sa-saya baik-baik saja." Ujar Arga sedikit gugup. "Silahkan, duduklah. Ini sereal hangat untuk mu." Arga menyodorkan secangkir minuman kental itu untuk Gladys dengan pandangan yang menunduk serta salting.
Gladys lagi-lagi merasa heran dengan sikap Arga yang seolah enggan menatapnya. Tidak seperti sebelumnya yang selalu bersikap hangat serta penuh keakraban padanya.
"Pak Arga, ada apa? Apa karena kesalahan tadi?" Gladys memberanikan diri membuka percakapan.
Arga seketika menatap wajah Gladys yang tanpa make-up. Wajah cantiknya terlihat benar-benar natural, putih bersih, mulus, seakan tanpa noda sedikitpun. Tampilan Gladys saat ini terlihat lebih menarik perhatian duda tampan itu, daripada biasanya.
Walaupun saat ini Arga telah menyadari bahwa wanita yang saat ini bersamanya adalah wanita lain, bukanlah istrinya yang beberapa saat tadi terbayang. Namun semburat rasa yang aneh kini menjalar di hatinya. Entah apa itu. Rasa yang merubah dirinya tiba-tiba menjadi gugup serta hati yang berdebar saat berada dekat dengan wanita cantik yang selama ini mejalin hubungan kerja dengannya.
"Itu tidak benar. Saya hanya merasa kedinginan saja." Ucap Arga beralasan.
"Ah, begitu. Sebaiknya segera habiskan minumannya dulu, siapa tau setelah itu terasa hangat." Ucap Gladys.
"Benar. Mari kita habiskan bersama." Ajak Arga. Mereka pun meminum sereal tersebut panas-panas. Mereka sesekali meniup-niup kecil minuman itu sebelum menyeruput ke mulut mereka masing-masing.
"Malam ini menginaplah disini. Akibat hujan badai tadi jalan raya menjadi lumpuh sebagian. Sebagian lain ada yang mengalami banjir, itu merupakan jalan utama menuju rumahmu, Gladys."
"Benarkah? Baiklah nanti aku akan menghubungi Mas Rendra agar tak perlu mengkhawatirkan aku."
Arga mengangguk. Mereka melanjutkan lagi dengan makan camilan hangat yang Arga buat, tadi. Arga adalah sosok pria dewasa yang mandiri. Walaupun ada orang tua ataupun Art di rumahnya, jika malam hari ia menginginkan sesuatu maka pria itu tak segan untuk membuat nya sendiri tanpa perlu membangunkan Art yang telah terlelap ataupun sang ibu yang telah tertidur.
Arga diam-diam memperhatikan cara makan Gladys yang elegan dan terlihat berkelas. Terdapat semburat senyum tipis di bibirnya saat mengamati wanita cantik yang kini sangat menarik perhatiannya.
Sedangkan Gladys, tanpa rasa curiga apapun ia terus menikmati setiap potongan martabak telur dengan toping acar yang tersaji di piringnya. Wanita itu benar-benar merasa letih dan mengantuk saat ini. Ia ingin segera menyelesaikan makannya.
"Saya selesai, Pak Arga." Gladys berdiri dari duduknya dan akan segera meninggalkan tempat itu.
"Tunggu sebentar, Gladys." Ujar Arga seraya menarik tissue di tangannya kemudian mendekati wanita cantik itu.
Arga tiba-tiba mengelap sudut bibir wanita itu. "Maaf, ada kotoran di bibir mu." Ucap Arga.
Gladys yang mendapat perlakuan itu hanya bisa terpaku tanpa memberikan respon apapun pada Arga. Ia terus menatap intens wajah tampan Arga yang sedang mengelap bibirnya.
"Sudah." Ujar Arga menarik dirinya dari Gladys.
Arga nembalas tatapan mata Gladys yang jernih dan sarat makna terkandung di dalamnya. Arga kembali mengikis jarak diantara mereka seraya terus terpana memandang wajah cantik yang terus menatapnya.
Tangan kekar Arga refleks membelai lembut wajah cantik itu. Terbersit keinginan untuk lebih dari sekedar membelainya. Tangan Arga merayap menuju leher Gladys kemudian membelainya. Lama kelamaan kedua wajah itu semakin mendekat dengan sendirinya seolah ada magnet yang menarik mereka berdua. Arga menarik tengkuk Gladys, kemudian kedua bibir basah mereka pun mempel tanpa perlawanan. Arga memberanikan dirinya untuk lebih memperdalam lagi ciumannya. Bak gayung bersambut, Gladys pun memberi akses untuk mempermudah Arga menjelajahi rongga mulutnya. Seketika itu ciuman panas serta menuntutpun terjadi diantara mereka.
Setelah beberapa lama ciuman itu, Arga melepaskan tautannya kala ia merasa wanita cantik itu telah kehabisan nafas. Setelah nafas mereka telah setabil, Gladys tiba-tiba menangis. Ia merasa bersalah telah menghianati Rendra, suaminya. Ah bukan, bukan Rendra. Lebih tepatnya ia merasa mengkhianati cintanya yang telah lama terkubur bersama jasad sang kekasih di dalam tanah, 4 tahun yang lalu. Bahkan anehnya saat berhubungan bersama suaminya, Gladys tidak pernah merasa sebersalah seperti saat ini. Namun sekarang? Anehnya ia sangat-sangat merasa bersalah kepada kekasih yang telah tiada itu.
"Gladys... Maafkan aku. Aku khilaf." Ujar Arga merasa bersalah.
Gladys berlari meninggalkan Arga. Wanita itu memutuskan untuk keluar dari rumah Arga. Dia tidak ingin tinggal lebih lama lagi di rumah itu. Ia ingin pulang saat ini juga setelah mengambil tas mahalnya di kamar tamu.
Brak... Brak...
Terdengar benturan pintu beberapa kali. Arga yang tadi terpaku di tempat, beranjak untuk menghampiri suara itu. Dalam rasa tegang yang bercampur rasa bersalahnya, Arga melihat Gladys yang ke luar melalui pintu garasi yang tadi di lewatinya saat memasuki rumah megah itu.
"Gladys jangan pergi!" Teriak Arga yang terpaut jarak yang cukup jauh dari wanita yang terlihat menangis itu.
"Apa yang telah aku lakukan kepadanya. Bodoh! Bodoh!" Umpat Arga pada dirinya sendiri. Terbersit rasa bersalah dan penyesalan menyeruak di hatinya karena telah bersikap kurang ajar pada seorang wanita yang telah bersuami.
***
***
"Mungkin ia terjebak di lokasi syuting seperti biasanya." Ujar Rendra bermonolog.
Rendra yang sedari tadi berusaha menghubungi nomor sang istri pertamanya yang tidak terkoneksi, memutuskan untuk menghubungi Arania yang kini sedang berada di kamar belakang.
["Arania, sayang. Sekarang pindahlah ke kamar kita. Kita habiskan malam ini bersama, oke."] Ujar Rendra dalam sambungan teleponnya yang telah tersambung. Namun yang terdengar hanyalah suara gumaman dari seberang sana.
["Arania?! Arania?!"] Sedikit rasa putus asa Rendra. "Pasti gadis itu sudah pulas lagi, sekarang." Gerutu Rendra.
Namun seketika ia menaikkan alisnya dengan mata yang berbinar seolah menemukan ide cemerlang. Seketika Rendra mengutak-atik ponselnya untuk memantau keadaan sekitar rumahnya melalui kamera cctv yang terhubung. Terlihat suasana rumah sudah sangat sunyi sepi. Apalagi di luar sedang hujan lebat. Pasti semua orang yang ada di rumah itu tengah meringkuk di tempat ternyamannya di tempat tidur. Rendra tersenyum senang dengan keadaan itu. Ia kemudian keluar kamarnya yang ditempati bersama Gladys menuju ke kamar sang istri siri yang cantik yang telah menjadi candunya itu.
Saat berada di lorong jajaran kamar pelayan, yang langsung mengarah ke bagian luar bangunan rumah itu, Rendra berjalan mengendap-endap bagaikan pencuri yang masuk diam-diam ke rumah orang.
Suara hujan deras serta kilatan halilintar yang menyambar, memekakan telinga nya. Saat ini betapa khawatir dirinya pada istri mungilnya nyang kini sedang sendirian di dalam kamar pelayan.
Setelah berada di depan kamar Arania, Rendra yang memiliki kunci serep kamar itu membukanya perlahan.
Cekklekk...
Rendra pun masuk ke dalam kamar itu, kemudian menguncinya kembali dari dalam. Pria gagah itu terpana saat melihat Arania yang tetap cantik saat sedang tidur pulas. Bahkan kecantikan nya menjadi berkali-kali lipat. Wajah polosnya nan lugu, rambutnya yang hitam dan panjang menjuntai di depan dadanya. Gadis itu seperti seorang putri tidur yang suci, dimana ia sedang menunggu sang pangeran yang membawa cintanya untuk membangunkannya.
Setelah beberapa saat mengagumi wajah cantik itu, Rendra pun ingin segera menghampiri ke tempat tidurnya. Namun saat pria itu sedang melangkahkan kakinya, gadis lugu itu melakukan pergerakan, sehingga selimut tebalnya sedikit tersingkap dan serta merta memperlihatkan tubuhnya yang indah dalam balutan dress warna hitam berbahan satin dengan area bahunya menggunakan satu tali kecil serta belahan dada yang rendah, sehingga terlihat sebagian keindahan kedua gundukan itu. Rendra dengan refleks menelan salivanya hingga jakunnya naik turun.
Wanita muda di hadapannya memang benar-benar selalu berhasil membuat sisi kelelakianya bangkit secara tiba-tiba. Namun saat bersama Gladys seolah hasratnya belum juga bangkit jika Gladys tidak giat dan aktif membangkitkannya. Maka dari itu Rendra tak mempermasalahkan jika Gladys tidak menginginkan nafkah batin darinya. Karena iapun sering sekali merasa jenuh di sela melakukan kegiatan ranjang itu bersama Gladys. Entah mengapa.
Sedangkan bersama Arania, jiwanya seolah selalu kurang, selalu meronta, selalu haus walaupun telah meneguk manisnya, selalu gersang berkepanjangan walaupun sedang dilanda hujan deras, selalu menginginkan lagi dan lagi, seperti tidak pernah merasa puas dan ingin terus menerus, tak mau berhenti.
Rendra mulai naik ke tempat tidur kecil itu, ia mulai merayap ke atas tubuh mungil Arania. Ia mengecup serta mengendus wangi tubuh sang istri sirinya yang mungil.
"Arania sayang... Izinkan Mas menyentuh mu sekarang." Bisik Rendra dengan suara yang semakin parau dan mata yang menggelap karena menahan gairahnya.
***