BIARKAN AKU JATUH CINTA
Ig @authormenia
Akbar diundang ke SMA dan bertemu dengan Ami yang muda dan cantik. Hatinya terasa kembali pada masa dia masih muda, bagaikan air dingin yang dituangkan air mendidih. Dia menemukan jiwa yang muda dan menarik, sehingga dia terjerumus dalam cinta yang melonjak.
Akbar menjalin hubungan cinta dengan Ami yang berumur belasan tahun.
Bagaimana hubungan dengan perbedaan usia 16 tahun akan berkembang?
Bagaimana seorang gadis yang memutuskan untuk menikah muda harus berjuang untuk mendapatkan persetujuan dari keluarganya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Nia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34. Apa Aku Jatuh Cinta
Panji & Aulia Engagement. Kalimat itu terpampang di atas gapura berhias bunga. Menyambut kedatangan keluarga Panji yang mulai masuk dan menyalami keluarga besar Aul yang berjajar di sisi kanan. Dan keluarga inti berada di ujung, menyambut paling akhir.
"MashaAllah, cantiknya calon mantu Bunda." Bunda Ratih memeluk Aul usai menyalami Ibu Sekar, Puput, dan Rama. Dan Aul merespon dengan tersipu malu.
"Ami....anak bungsu Bunda, pangling deh." Bunda Ratih menjawil dagu Ami dan memeluknya usai menyalami Zaky. Ami pun menanggapi dengan terkekeh.
Usai Bunda Ratih dan Ayah Anjar, giliran Panji disusul Padma bersalaman. Saat Panji tiba di hadapan Aul, senyum manis diiringi tatapan penuh cinta terlukis di wajah tampannya. Aul pun mendadak grogi saat tangan kedua tangan saling bersentuhan. Wajah cantiknya merona.
Lain halnya Padma dan Ami saat berhadapan. Bukannya saling bersalaman, tapi saling memeletkan lidah. Lalu berpelukan sambil cekikikan.
Yang mendebarkan buat Ami adalah melihat Akbar yang ganteng maksimal mengenakan batik lengan panjang model slimfit. Berjalan semakin mendekat di belakang Damar. Dan kini sudah sampai di depan Ibu. Terdengar berbincang sejenak meski tidak jelas apa yang mereka bicarakan. Setelah menyalami empat orang lagi, barulah sampai padanya. Jreng-jeng.....mendadak otaknya membayangkan film horor karena badan yang kini tegang.
"Tenang, Mi. Tenaaang.....bukan Ami banget deh harus grogi segala. Bollywood an di acara seni sekolah aja santuy." Ucap batin Ami mensugesti diri.
Giliran Ami mencium tangan Mami Ratna, Papi Krisna, lalu Cia dan Damar, dan kini tiba berhadapan dengan Akbar. Malu-malu, ia menyalami dengan menyentuhkan tangan Panda ke keningnya. Ia bisa membaca gerak bibir sang CEO Pulangpergi yang tersenyum manis dan berucap tanpa suara, "Beautiful."
Semua tamu sudah duduk tertib di kursi berselimut putih dengan hiasan pita warna coklat. Acara seremonial pun dimulai dengan di pimpin seorang MC. Fokus Ami menatap bung MC memberi sambutan, teralihkan mendengar ponsel di dalam tas selempangnya berdering.
"Masuk aja, Fa. Jangan malu." Bisik Ami menjawab telepon dari Ifa yang mengatakan sudah ada di depan gapura bersama Kia dan Sonya.
"Ya udah, aku kesana." Ami beranjak dari duduknya karena teman-temannya keukeuh malu untuk masuk ke tempat acara. Ia melewati barisan pinggir tempat duduk Akbar. Penasaran melirik dan sudah menyiapkan senyum. Namun orang yang ingin diliriknya tidak ada di tempat. Kursinya kosong.
Brukk.
"Kalau jalan liatnya ke depan dong, Neng." Akbar mengulum senyum karena Ami menabrak dadanya.
"Maaf...maaf." Ami cengengesan sambil memegang pangkal hidungnya yang terbentur dada bidang Akbar. Sakitnya tidak seberapa. Malunya luar biasa. Dan ser-seran merajalela. Salah tingkah jadinya.
"Mau kemana?" Akbar tidak menyia-nyiakan kesempatan menatap wajah Ami yang matang seperti tomat. Masih dengan mengulum senyum.
"Mau ke luar dulu, Kak. Teman-teman ku datang tapi katanya mau masuk malu. Daaah....aku tinggal dulu." Ami melambaikan tangan dan segera berlalu karena ingin menghindari malu dan jantung yang bertalu-talu. Efek bersentuhan dengan dada Akbar.
Ketiga teman Ami ada di depan gapura sedang melakukan foto selfie. Ami pun mengajak masuk dan duduk di barisan kursi belakang karena ada 4 kursi berjajar yang kosong.
"Mi - Mi, itu Coach Akbar bukan sih? Mirip." Sonya mencolek lengan Ami yang duduk di samping Kia. Ia terkaget melihat pria yang duduk di baris ketiga yang tengah fokus menatap ke depan.
"Ih, iya bener itu Coach Akbar. Iya kan, Mi?" Kia menyahut dengan yakin.
"Iya emang bener. Kak Akbar kan masih family dengan Kak Panji. Makanya datang." Ami tersenyum samar karena dari posisinya duduk, bisa leluasa menatap dengan jelas.
"Guys, baru pakai batik aja keren parah ya Coach Akbar. Gimana kalau pakai jas. Aku mau dong digandeng." Sonya berbisik dengan ekspresi heboh. Yang ditanggapi Kia dan Ifa dengan cekikikan.
"Ho oh bener. Nanti pas acara makan, kita samperin dan minta foto yuk. Eh, tapi itu yang di sampingnya Ayangnya bukan sih." Ifa tak kalah heboh menanggapi, tanpa putus memperhatikan Akbar yang sedang berbicara dengan menoleh ke samping.
"Yaelah, pada centil amat sih. Kak Akbar masih single. Itu bukan pacarnya. Itu Kak Cia, sepupunya Kak Akbar." Ami memutar bola mata melihat Ifa dan Sonya paling heboh memuji Panda nya. Sementara Kia lebih kalem meski terlihat mengagumi.
"Iyes. Kita bisa bebas dong deket-deket Coach Akbar. Eh, nanti kita fotonya gantian ya. Jangan lupa touch up lagi sebelum nyamperin doi." Sonya mengangkat tangannya. Mengajak adu tos dengan Ifa dan Kia.
Ami melebarkan mata melihat Kia membalas adu tos sambil cekikikan. "Hais, kamu ya. Kebawa centilnya Sonya dan Ifa."
"Hehe kan harus setia kawan, Mi." Kia memeletkan lidahnya.
Acara mulai memasuki puncak. Panji yang duduk di sebelah kiri diapit Bunda Ratih dan Ayah Anjar, mulai berdiri dengan memegang mic. Dengan penuh percaya diri menatap ke sebelah kanan, ada Ibu Sekar dan Zaky yang duduk mengapit Aul.
"Saya Panji Syahreza, ingin meminta izin kepada keluarga Almarhum Bapak Ramdan Wijaya. Saya sudah niatkan tujuan saya kesini untuk mengkhitbah Adinda Aulia Maharani. Mudah-mudahan tujuan serta niat baik saya dan keluarga bisa diterima oleh keluarga Aulia." Ucap Panji dengan tenang dan lugas.
Bung MC menyerahkan sebuah mic kepada Aul. Memberi kesempatan untuk menjawab.
Aul berdiri dan mulai mengatur nafas. Karena sedikit rasa tegang mulai menyelimuti. Apalagi suasana menjadi hening.
"Bismillahirrahmanirrahiim. InsyaAllah, atas restu Allah Subhanahu Wa Ta'ala, serta restu Ibu, Teteh, dan kedua adik saya." Aul menelan ludah karena keharuan tiba-tiba menyeruak. "Saya Aulia Maharani, dengan tulus ikhlas menerima lamaran Panji Syahreza."
"Alhamdulillah....Bapak Ibu hadirin semuanya. Sudah kita dengar bersama-sama ya bahwa Adinda Aulia menerima lamaran Kakanda Panji, tanpa paksaan." Bung MC lalu meminta Ibunda serta Panji dan Aul untuk maju ke tengah panggung.
Bunda Ratih menyematkan cincin di jari manis Aul. Lalu Ibu Sekar menyematkan cincin di jari manis Panji. Senyum semringah menghiasi wajah calon pengantin yang memamerkan tangan yang tersemat cincin, untuk diabadikan dalam jepretan kamera. Satu bulan lagi akan naik status menjadi pasangan halal.
***
Ami terpaksa mengikuti Sonya yang mengajak Ifa dan Kia untuk menghampiri Akbar. Mumpung orangnya belum ikut antri prasmanan. Masih duduk santai dan nampak baru selesai menerima telepon.
"Kak Akbar, ini teman-teman sekelas aku. Pengen say hallo, katanya. Mereka masih ingat sama Coach Akbar." Ucap Ami yang didaulat Sonya untuk memperkenalkan dulu.
Akbar berdiri dan menatap satu persatu teman-temannya Ami itu. "Hai, adek-adek, senang sekali bisa ketemu lagi." Ia mengulurkan tangan diiringi senyum ramah.
"Kami juga senang ketemu lagi Coach Akbar. Main lagi ke sekolah dong, Coach." Sonya menjabat tangan Akbar dengan wajah semringah dan penuh senyum.
"Hm, kalau ada undangan lagi insyaallah datang." Akbar beralih menyalami Ifa dan Kia.
"Kita semua pengen di foto bareng Coach, boleh ya!" Sonya mengacungkan ponselnya.
"With a pleasure." Akbar tersenyum dan mengangguk.
Ami mendelik karena disuruh menjadi tukang foto. Pertama, ia memfoto Akbar dan Sonya. Dua kali jepretan tidak cukup. Sonya memasang banyak gaya hingga tujuh kali jepretan. Kemudian Ifa tak kalah centil berfoto berbagai gaya. Hanya Kia yang berfoto dengan gaya kalem. Terakhir, foto bersama.
"Kenapa cemberut, Cutie." Akbar duduk di samping Ami. Setelah Sonya dan kawan-kawan berterima kasih dan pergi ke stand makanan.
"Mereka punya foto berdua sama Kak Akbar. Pasti nanti dipamerin di Wag. Aku mah enggak punya." Ami merajuk dengan memasang wajah masam.
Akbar terkekeh. "Kalau sama Ami jangankan foto, lebih dari foto juga boleh kok. Smile dong, cantik."
Wajah cemberut Ami hilang seketika berganti tersenyum malu. Pujian yang membuat dadanya berdesir. "Lebih dari foto itu apa, Kak? Ambigu deh." Ia menoleh menatap Akbar. Berharap penjelasan.
"Lebih dari foto itu artinya terserah apapun maunya Ami, aku turuti." Akbar tersenyum simpul.
"Hm, bikin pas foto dengan background biru, bisa?" Ami terkikik ditahan.
"Itu untuk dipasang di buku nikah ya. Why not. Ayo!" Akbar menyentuh lengan Ami. Mengajak pergi.
"Eh eh eh, mau kemana, Kak? Just kidding." Ami tertawa sambil menahan tangan Akbar agar tetap duduk.
"Yaaah, tadinya mau diajak nemuin Ibu Sekar, minta izin. Lalu kita ke studio foto." Akbar memasang wajah kecewa. Meski ia tahu, Ami memang becanda.
"Ahahaha. Belum waktunya, Kak. Masih skul."
"Jadi, waktunya kapan dong?" Akbar menaikkan satu alisnya. Menantang.
"Ish, nggak tau ah. Kak Akbar makannya mau aku ambilin gak?" Ami mengalihkan pembahasan karena merasa terpojok.
"Boleh deh. Nasinya jangan banyak-banyak ya." Akbar terkekeh melihat Ami yang beranjak pergi dengan wajah yang masih merona.
Akbar menurut saat diajak Ami berpindah tempat ke dalam cafe. Tiga piring makan sudah tersaji di meja berikut air minum dan dessert. Dengan suasana yang lebih adem karena ruangan ber AC.
"Kak, pengen difoto dulu ya bentar." Ami menahan Akbar agar jangan dulu duduk. Ia sengaja mengajak Padma makan satu meja berikut jadi tukang foto.
"Oke." Akbar mengikuti langkah Ami ke arah background cafe yang cozy. Ia berpose dengan gaya cool. Seperti berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di dada, berganti memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana. Berbanding terbalik dengan Ami yang berpose dengan gaya kocak dan tengil. Sampai-sampai Padma memotret sambil cekikikan.
"Sebentar, Mi. Satu gaya lagi!" Padma meminta Ami dan Akbar untuk duduk di kursi yang dekat dengan jendela vintage. Ia lalu mengambil dua gelas ice lemon di meja tempat nanti makan.
"Kalau Padma nanti bilang 'cheers', langsung gelasnya diadu sambil saling tatap dan tersenyum manis. Oke?" Padma memberi aturan.
"Hais, oke deh." Ami sebenarnya malu dengan perintah Padma. Tapi menurut.
"Ayo liat sini, Mi. Natapnya pakai penjiwaan, biar dapat feel nya." Bagi Akbar ini adalah momen untuk menjerat hati Ami.
Ami berdehem untuk menghalau tegang yang tiba-tiba saja muncul. Saat aba-aba cheers terdengar, gelasnya beradu di udara dengan pandangan hangat saling mengunci serta senyum manis terbingkai di bibir.
Ya Allah, rasa apa ini. Kenapa dada selalu bergetar dan hati merasa nyaman setiap menatap wajah Kak Akbar. Apa aku jatuh cinta? Bolehkah aku jatuh cinta padanya?
Angan Ami melayang bersama suara hati yang penuh keriaan. Wajah tampan yang berhias brewok itu sungguh menghipnotis. Terlupa untuk berpaling.
"Hei, Mi. Padma udah motonya. Apa gak pegel itu tangan masih di atas. Ahahaha."
Ami mengerjapkan mata. Ia baru sadar masih posisi bersulang sendirian. Akbar malah sedang menatapnya dengan menopang dagu serta menahan tawa. Sementara Padma tertawa-tawa tanpa rasa bersalah.
"Ish, awas ya Padma, Kak Akbar! Kalian rese ih. Aku kan lagi menjiwai akting." Ami mengerucutkan bibir. Sementara Akbar akhirnya tertawa lepas seperti Padma.