Hamdan seorang siswa SMA kelas dua. Sedari kecil sudah tinggal di Panti sehingga dia tidak pernah tahu akan keberadaan orang tuanya.
Hamdan sangat suka silat tapi dia tidak punya bakat.
Setiap kali latihan, dia hanya jadi bahan ledekan teman-temannya serta omelin Kakak pelatihnya.
Suatu hari Hamdan dijebak oleh Dewi, gadis pujaan hatinya sehingga nyawanya hampir melayang.
Tak disangka ternyata hal itu menjadi asbab berubahnya takdir Hamdan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Ali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penjaga Gudang
"Kamu akan tinggal di mana, Hamdan?" Mata Kak Yati berkaca-kaca.
"Aku belum tahu, Kak. Do'akan saja supaya aku mendapat tempat tinggal yang baru. Aku pergi dulu, Kak."
Hamdan berjalan dengan mantap. Dia sengaja tidak melihat ke belakang. Hamdan tak ingin Kak Yati melihat air matanya yang tak kuasa dia bendung.
Anak laki-laki harus kuat!
Hamdan mengempos semangatnya. Dia terus berjalan ke arah pasar.
Penginapan dan rumah kos banyak di Selat Panjang.
Persoalannya, duit Hamdan tidak lebih. Dia mempunyai sedikit tabungan. Itu pun rencananya akan digunakan untuk membeli kado ulang tahun Dewi.
Jika Fitri tahu, mungkin dia akan langsung memanah kepala Hamdan yang tak beres itu.
Sebagai remaja yang masih duduk di kelas dua SMA, tentu saja Hamdan bingung mau ke mana kenalan tidak ada apalagi saudara
Hamdan menuju tempat dia biasa kerja paruh waktu. Mana tahu ada tempat tinggal di sana.
"Nya, apa ada tempat tinggal gratis di sini?"
Nyonya tua itu memandang Hamdan seperti sedang melihat orang bod*h sedunia.
"Mana ada tempat tinggal gratis di dunia ini haa. Sedang orang yang mau buang kotoran saja musti bayar apa lagi tempat tinggal."
"Kamu orang terlalu banyak menghayal haa."
Hamdan tersenyum kecut. Dia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Dia tahu apa yang dikatakan Nyonya tua itu benar adanya.
"Nya, ada kerja tambahan tidak? Jaga gudang kek jaga barang kek?"
"Kamu orang mau jaga gudang?"
Nyonya tua itu tampak berpikir.
"Kamu orang jumpa saja sama si Aheng. Dia kemarin cari orang jaga gudang, mana tahu masih butuh. Kamu orang langsung saja ketemu sama si Aheng sana."
"Terima kasih banyak, Nya." Hamdan sangat senang dia langsung berlari menuju ke toko satunya lagi.
Aheng adalah anak bungsu nyonya tua itu. Dialah yang mengelola usaha keluarga mereka di sini, sedangkan adik beradiknya yang lain membuka usaha di daerah luar seperti Batam Pekanbaru bahkan ada yang di Singapura.
"Bos, masih ada kerja jaga gudang?"
Hamdan bertanya penuh harap.
Bos Aheng yang sedang menghitung dengan sempoa, melihat Hamdan dari balik kaca matanya.
"Sudah ada yang jaga."
Hamdan merosot. Dia tadi sudah sangat bersemangat dan yakin akan mendapat tempat tinggal tapi ternyata harapan tidak sesuai kenyataan.
"Kerja yang lain tak ada, Bos?"
"Ada, tapi untuk orang dewasa."
"Kerja apa itu, Bos kalau saya boleh tahu."
"Jaga gudang juga. Tapi malam. Kalau malam kawasan di gudang itu sepi."
Semangat Hamdan naik kembali.
Kesempatan ini lah yang dia tunggu.
Peduli amat dengan lingkungan sepi. Yang penting ada tempat tinggal gratis.
"Biar aku saja, Bos. Aku berani jaga gudang itu."
Bos Aheng menatap tajam ke arah Hamdan.
"Kamu yakin berani sendiri? Tak mau coba cari kawan lagi?"
"Tak perlu, Bos. Aku sudah biasa, Bos. Pokoknya Bos tak perlu risau."
"Baik lah kalau begitu. Ini kuncinya. Kamu boleh jaga mulai malam ini. Gajinya tidak besar. Cuma 800 ribu."
"Tapi kamu tidak boleh lalai. Jangan sampai kecolongan." Kalau kamu mau masak, beras sama indomie ada di sana. Itu adalah stok untuk satu bulan."
"Herman!"
"Ya, Bos."
"Antarkan si Hamdan ke gudang barang yang di samping Toko Standart itu."
"Siap, Bos."
Pria yang bernama Herman itu berbalik. Dia mengambil kunci motor di meja.
"Ayo, Hamdan!"
Setelah sekali lagi berterima kasih kepada Bos Aheng, Hamdan langsung mengikuti Bang Herman.
Hamdan sangat gembira, dia tidak menyangka bahwa nasibnya akan sebagus ini.
Bagai mana tidak, selain mendapatkan tempat tinggal gratis, Hamdan juga akan digaji.
Mungkin bagi sebagian orang, uang 800 ribu itu bukanlah apa-apa.
Tapi bagi Hamdan, uang tersebut sangat besar. Dengan jumlah uang tersebut, Hamdan bisa melakukan banyak hal.
Hamdan tersenyum senang saat memikirkan hal tersebut.
Mereka naik motor dan menuju ke Jalan Imam Bonjol
Pas di depan Toko Mas mereka belok kiri, memasuki gang di samping Toko Standart.
"Kamu nekat sekali ingin menjaga gudang ini, Hamdan."
Wajah Hamdan berubah, "Memangnya kenapa, Bang?"
"Ruko ini angker!" bisik Bang Herman.
Hamdan terperanjat.
Setakat ini dia memang berani jika berhadapan dengan orang.
Kalah memang itu biasa bagi Hamdan.
Tapi jika harus berhadapan dengan han*u, jelas Hamdan tidak siap.
Melihat wajah Hamdan memucat, Bang Herman malah terus cerita.
"Setahu Abang, sudah lima orang yang menjaga gudang ini. Hanya dua atau tiga kemudian, orang-orang itu langsung berhenti. Tak sanggup lagi."
"Memangnya apa yang terjadi, Bang?" Walau pun gamang tapi Hamdan penasaran.
"Kabarnya, ruko kosong di samping gudang ini pernah dijadikan tempat orang bun*uh diri."
"Han*unya gentayangan. Ma*i penasaran dan akhirnya ganggu orang-orang di sekitar."
"Makanya tak ada yang mau tinggal di sekitar sini lagi."
"Begitu juga dengan nasib penjaga gudang sebelumnya, mereka tidak bisa tidur karena setiap malam menjelang, han*u itu akan datang menganggu mereka."
Mau tak mau bulu kuduk Hamdan meremang. Tanpa sadar dia menelan ludah. Mulutnya terasa kering.
Memang tidak ada makanan gratis di dunia ini. Jika mau menerima harus siap berkorban.
Saat ini Hamdan jadi bimbang.
Di satu sisi, dia digaji dan diberikan tempat tinggal. Dia tidak perlu takut kelaparan lagi.
Di sisi lain, dia harus bisa menghadapi teror han*u gentayangan.
"Bagai mana, Hamdan? Sudah kah kamu membuat keputusan?"
Herman yakin, Hamdan akan mengaku kalah sebelum berjuang.
Bagai mana remaja ini bisa menanggulanginya sedangkan orang-orang dewasa saja tak sanggup untuk tinggal di sini.
"Ayo, kita pulang."
Herman tersenyum. Dia mengekol motornya.
Namun senyumannya berubah menjadi kerutan di dahi saat melihat Hamdan hanya memandang ke arahnya.
"Ayuk!"
Hamdan menggeleng.
"Abang pulang saja, Bang. Terima kasih karena telah mengantar aku ke sini."
"Tolong sampaikan ke Bos Aheng, aku tetap akan menjaga gudang ini."
"Kalau malam ini aku tidak ma*i, aku mau kenaikan gaji."
Herman hanya melongo. Dia tak tahu harus berkata apa.
Berurusan dengan remaja miskin ini susah ditebak.
Hamdan lebih baik menghadapi han*u penasaran dari pada dia ma*i kelaparan.
"Kreeeekkk!!"
Bunyi pintu gudang membuat jantung Hamdan seperti akan copot saat dia memutar anak kunci dan membuka gembok.
Gudangnya gelap gulita.
Hamdan meraba-raba dinding untuk mencari saklar lampu.
Hamdan tidak punya penerangan apa-apa.
Senter tidak punya, handphone pun tidak ada.
Jangankan Hp android, Hp senter pun dia tidak punya.
Hamdan menelan ludah saat tangannya seperti menyentuh tali yang halus.
Tidak! Ini bukan tali. Tak mungkin tali selembut itu.
Ini seperti rambut.
Rambut wanita!
Pikiran Hamdan melayang ke sosok orang yang bu*uh diri menurut Bang Herman adalah seorang wanita.
Tepatnya gadis remaja.