Banyak wanita muda yang menghilang secara misterius. Ditambah lagi, sudah tiga mayat ditemukan dengan kondisi mengenaskan.
Selidik punya selidik, ternyata semuanya bermula dari sebuah aplikasi kencan.
Parahnya, aparat penegak hukum menutup mata. Seolah melindungi tersangka.
Bella, detektif yang dimutasi dan pindah tugas ke kota tersebut sebagai kapten, segera menyelidiki kasus tersebut.
Dengan tim baru nya, Bella bertekad akan meringkus pelaku.
Dapatkah Bella dan anggotanya menguak segala kebenaran dan menangkap telak sang pelaku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DYD9
CIIIIIIITT!
BRUGH!
Tepat Abirama mengerem mendadak, seorang pria tersungkur di depan mobil. Bella dan Abirama menganga lebar dan lekas keluar.
"Apa anda baik-baik saja? Maaf, saya tidak melihat anda menyebrang." Abirama menelisik cemas.
"Ah, saya baik-baik saja," jawab sang Pria sambil berusaha berdiri. "A-awwwwh!"
Abirama semakin panik, "sepertinya kaki anda terluka. -- Mas Edwin?"
"Loh, Mas Rama?" Edwin tercengang, kemudian menatap lurus pada wanita yang berdiri di sisi Abirama. "Mbak Bella?"
Bella mengangguk seraya tersenyum canggung, bagaimanapun mobilnya baru saja menubruk pria itu.
"Loh, kenal juga sama Kapten Bella?" Abirama bingung.
"Ya, kenal. Saya yang mengantar Mbak Bella ini ke kantor kalian saat para warga enggan merespon dengan baik ...." Jawab Edwin seraya sesekali meringis.
"Mas Edwin baik-baik saja? Apa perlu kami antar ke rumah sakit?" Tanya Bella saat menelisik ekspresi pria itu.
"Tidak perlu, Mbak Bella. Sepertinya hanya terkilir." Edwin memperlihatkan kaki nya yang bergetar.
Bella melirik arloji di pergelangan tangannya. Pekerjaannya hari ini masih menumpuk, tapi, meninggalkan korban tentu saja bukan sesuatu yang etis. Wanita itu memandang Abirama.
Yang ditatap hanya mengedikkan kedua bahu seolah berkata, 'terserah padamu.'
"Bagaimana kalau kami antar pulang ke rumah?" tawar Bella.
Edwin tampak berpikir, seraya menatap bukit yang terlihat dari kejauhan.
"Tapi, rumah saya jauh. Ada dibalik bukit itu." Telunjuk Edwin mengacung ke arah bukit.
Bella dan Abirama saling memandang.
'Kebetulan sekali tujuan kami memang ke sana.' batin mereka berdua.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Sudah berapa lama anda mengenal mendiang Rani dan Neneknya?" tanya Taufik yang duduk di depan meja kerja Tommy.
Pria berbalut jas putih kedokteran itu menarik napas dalam-dalam. "Cukup lama. Mungkin sekitar tiga tahun? Saat saya dinas di Rumah Sakit Mangkujiwo ini."
Rinol tampak mencatat jawaban yang diberikan oleh Tommy, sambil sesekali melirik Taufik.
"Di mana anda berada saat malam 7 hari yang lalu?" tanya Taufik.
"Di rumah. Karena malam itu hujan sangat deras, jadi saya tidak kemana-mana," jawab Tommy dengan wajah datar.
Taufik tersenyum smirk. "Wah, ingatan anda bagus sekali ya. Bahkan anda ingat kalau malam itu sedang hujan deras."
Tommy menyandarkan tubuhnya, rahangnya tampak mengetat.
"Dua hari yang lalu, anda mengajukan cuti lebih awal? Benar begitu?" tanya Taufik.
"Benar," jawab Tommy singkat.
"Boleh kami tau ke mana tujuan anda saat itu?" tanya Taufik lagi.
"Di rumah. Kondisi saya sedang tidak fit saat itu," jawab Tommy tegas.
Taufik tersenyum tipis. Alibi Tommy terdengar klise baginya.
Tommy meneguk air mineral yang ada di meja kerjanya, hingga kandas. Kerongkongan nya serasa kering dan tercekat.
Pria itu mendekati tong sampah yang ada di ruangan, niat hati ia ingin membuang botol air mineral yang sudah kosong. Namun, pria itu berdecak kesal saat melihat tong sampahnya yang sudah penuh oleh alat-alat medis bekas pakai. Tommy mengurungkan niatnya, dan kembali duduk dengan membawa kembali botol tersebut.
"Apa masih ada yang bisa saya bantu?" tanya Tommy.
Taufik tersenyum, "tidak, terimakasih. Kami pamit undur diri dulu. Terimakasih untuk kerjasamanya."
Pria berbadan tegap itu lekas berdiri, disusul oleh rekannya yang sibuk menyimpan pena dan buku kecil ke dalam tas yang melingkar di perutnya.
Taufik menjabat tangan Tommy sebagai formalitas, pun Rinol.
"Rinol, bawa sekalian botol kosong milik Dokter Tommy. Anggap saja ini permintaan maaf kita karena sudah mengganggu jam kerjanya."
Rinol mengangguk, dan menghadap Tommy sembari mengulurkan tangannya yang terbungkus dengan sarung tangan nitril. Dokter tampan itu memberikan botol tersebut dengan wajah semakin kesal, ia tau benar apa tujuan Taufik.
Sepeninggalan Taufik dan Rinol, Tommy kembali duduk dengan wajah yang ditekuk. Ia berdecak.
"Kalian mengharapkan apa dari sidik jariku?" Senyuman pria itu begitu remeh nan mengejek.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Rumah anda bukannya terlalu jauh untuk sampai belanja ke pasar daerah sini, Mas Edwin?" tanya Abirama yang terlihat bingung.
Edwin yang duduk di kursi belakang mobil langsung terkekeh.
"Sudah biasa, Mas. Pasar sini murah-murah, karena memang pemasok nya ya dari daerah ini. Kalau di tempat saya, harga bisa sampai dua kali lipat, Mas Rama. Saya juga doyan berburu kue tradisional langganan di pasar sini. Tapi, udah mau seminggu ini saya kemari, lapaknya selalu tutup. Saya kira, saya bangun nya terlalu siang. Jadi hari ini saya sengaja bangun pagi-pagi sekali, bahkan sampai charter angkot. Namun, sayang sekali, belum rezeki, lapaknya masih tutup. Padahal saya udah ngidam banget, Mas!" Edwin kembali terkekeh.
Abirama dan Bella saling memandang, sepertinya mereka tau lapak siapa yang dimaksud Edwin.
"Lapak Nenek Rani ya, Mas Edwin?" Abirama memastikan.
"Iya, Mas. Kok tau? Sampean langganan juga, ta?" mata Edwin seketika penuh binar.
"Iya, Mas. Mendiang Rani sering menjajakan kue di kantor kami, kue buatan mendiang neneknya memang enak-enak, Mas ...," puji Abirama dengan suara terdengar lirih.
"Me-- apa, Mas? Mendiang?!" Edwin mengerjap kaget. "Maksud Mas Rama, Rani dan Neneknya ... meninggal?!"
Abirama mengangguk dengan wajah sendu.
"Rani ditemukan tewas seminggu yang lalu. Sedangkan sang nenek, meninggal beberapa hari yang lalu," ungkap Abirama sedih.
Edwin terhenyak, keningnya berkerut.
"Rasa-rasanya, saya masih tidak percaya, Mas. Baru saja minggu lalu saling bercengkrama," tutur Edwin tak kalah sedih.
Bella yang sejak tadi melihat pemandangan sekitar, kini menatap Edwin dari kaca spion di dalam mobil.
"Kebetulan sekali nih, Mas Edwin kan tinggal tak jauh dari bukit tersebut. Apa malam tepat seminggu lalu, Mas Edwin ada merasakan hal yang janggal?" tanya Bella.
"Yang janggal? Maksudnya gimana, Mbak?" Edwin terlihat bingung.
"Gini, Mas Edwin. Rani ditemukan tak bernyawa di lembah bukit seminggu yang lalu, tepatnya di malam hari saat hujan turun. Barangkali, Mas Edwin melihat sesuatu? Melihat Rani mungkin ...." Abirama menjelaskan.
Edwin menggeleng kepala.
"Tidak ada, Mas. Tidak ada yang aneh ataupun janggal. Tapi ...."
*
*
*
Jangan lupa tinggalkan jejak like, komentar & klik permintaan updatenya ya, Readers 🥰
Edwin psikopat yang udah ... entahlah sulit menjelaskannya 😀
Keren kamu Kak❤️
tolong triple up 🤭
jantungku kicep tor 😩
udah kyk nonton film Hollywood.
sama film horor korea, yg cowoknya jatuh ke dalam peti yg ada pakunya itu looo, lgsg nancep ke muka 😩