Mencari nafkah di kota Kabupaten dengan mengandalkan selembar ijazah SMA ternyata tidak semudah dibayangkan. Mumu, seorang pemuda yang datang dari kampung memberanikan diri merantau ke kota. Bukan pekerjaan yang ia dapatkan, tapi hinaan dan caci maki yang ia peroleh. Suka duka Mumu jalani demi sesuap nasi. Hingga sebuah 'kebetulan' yang akhirnya memutarbalikkan nasibnya yang penuh dengan cobaan. Apakah akhirnya Mumu akan membalas atas semua hinaan yang ia terima selama ini atau ia tetap menjadi pemuda yang rendah hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Ali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3.
Gudang yang menjadi tempat tinggal Mumu berukuran 3x4 meter. Perlu waktu setengah hari untuk membersihkan sehingga layak untuk dijadikan tempat tinggal.
Untuk makan, Mumu sudah tidak risau lagi. Tak jauh dari ruangan ini ada dapur umum bagi staf yang ingin membuat kopi saat bekerja atau sekedar masak mie instan.
Semua lengkap di sana. Kompor gas, air galon, piring, gelas semua ada. Bahkan kulkas juga ada. Memang enak orang kerja kantoran ini.
Tapi melihat dari kondisinya, dapur umum ini jarang digunakan.
Untuk membeli beras dan lauk pauk dan kebutuhan sehari-hari, Mumu sudah mendapat pinjaman uang dari pak Kadis.
Setelah selesai bersih-bersih, Mumu langsung mandi. Karena sesuai perjanjian hari ini orang suruhan pak Kadis akan menjemput Mumu untuk datang ke rumahnya.
Lima belas menit kemudian Mumu dijemput oleh pria 40an tahun. Tampangnya sangar. Mirip tukang pukul.
Zidan namanya. Karena orangnya pendiam jadi Mumu segan mau banyak tanya.
Mereka langsung meluncur. Rupanya rumah Pak Kadis berada di jalan Lintas Timur.
Rumahnya besar tapi kelihatan sepi.
Mumu dibawa ke ruang tamu. Setelah itu bang Zidan langsung pergi.
Ada rasa bedebar dihati Mumu. Selama ini belum pernah ia memasuki rumah orang kota. Ternyata hidup di kota itu enak. Tentu saja asalkan punya fulus.
Tak lama kemudian terdengar suara langkah kaki menuju ruang tamu.
Pak Kadis dan disampingnya wanita yang Mumu duga adalah istri pak Kadis.
Di belakang dengan kepala menunduk berjalan seorang gadis yang cantik. Ini pasti anaknya yang diceritakan oleh pak Kadis desis Mumu.
"Seperti yang kita bahas kemaren, mulai sekarang kamu dianggap sebagai suami putri saya hingga dia melahirkan." Kata pak Kadis langsung tanpa basi basi. Ini seperti perintah atasan terhadap bawahan. Mumu sama sekali tidak dianggap.
Jika bukan karena 'kecelakaan' yang dialami anak semata wayang mereka, dan karena tak ada orang yang bisa mereka perdayai, maka Mumu sama sekali tidak layak duduk dan bicara bersama mereka.
Mumu juga menyadarinya sehingga ia hanya mengangguk. Tidak banyak cincong.
"Ini saya pinjamkan handphone, juga sepeda motor. Kamu harus siap dipanggil setiap saat jika kami memerlukan kamu." Pak meletakkan handphone android dan kunci motor. "Sekarang kamu boleh pergi!"
Hanya itu. Tak ada pembicaraan yang tak perlu. Tak ada negosiasi. Yang ada hanya perintah yang harus dilaksanakan.
"Baik, Pak. Terima kasih."
Mumu langsung pergi setelah mengambil handphone dan kunci motor.
Pada awalnya Mumu berempati dengan masalah keluarga pak Wahab, tapi setelah melihat sikap mereka tadi, Mumu tidak lagi peduli. Ia sudah mulai mati rasa dengan sikap orang kaya yang berpangkat di kota ini.
Awalnya ada rasa rikuh dengan pertolongan pak Wahab, tapi sekarang tidak lagi.
Ini bukanlah tolong menolong.
Ini bisnis!
Dalam bisnis yang ada hanya saling menguntungkan.
Walaupun masih berumur 19 tahun, tapi sikap Mumu tidak lagi kekanak-kanakan seperti halnya remaja kebanyakan.
Karena keadaan sikap Mumu terlihat lebih dewasa.
Setelah menuntun sepeda motor Bead keluar pagar, Mumu langsung menstarter. Karena ini adalah pertama kalinya Mumu mengendarai motor sehingga belum pas mengatur tarikan gasnya maka tak ayal Mumu langsung nyungsep di tepi jalan.
Lutut Mumu gemetaran. Untung jatuhnya di pinggir jalan sehingga ia tidak terluka.
Dengan hati yang berdebar-debar dan lutut yang masih gemetaran, Mumu langsung menegakkan motornya takut ketahuan orang-orang.
Belajar dari pengalaman tadi, Mumu menarik pedal gas dengan perlahan-lahan.
Walau pun masih agak oleh tapi motor tersebut mulai merayap meninggalkan rumah pak Wahab.
Angin menampar-nampar wajah Mumu dengan perlahan sehingga keringat dinginnya mulai kering.
Sungguh pengalaman yang mendebarkan dan untung tidak ketahuan.
Selama ini Mumu hanya tahu cara mengemudikan sepeda motor secara teori saja. Baru kali ini ia memberanikan diri praktek langsung.
Kan tak mungkin juga ia mengatakan tak bisa mengendarai motor di hadapan pak Wahab dan keluarganya.
Dalam pada itu, pak Wahab dan anak istrinya masih duduk di ruang tamu.
Tak ada yang bicara.
Pak Wahab menyalakan rokoknya. Setelah tiga kali menghisap dan menghembuskan asap rokok ke udara dia berkata, "Identitas kamu tidak lagi menjadi masalah. Setelah melahirkan, kamu langsung pindah kuliah di Fakultas kedokteran di Jogja. Semuanya sudah papa urus."
"Jadi anak kita tetap harus melahirkan jabang bayi ini, Pa? Mengapa tidak kita gugurkan saja? Mama tak mau cucu yang tak jelas asal usulnya ini." Sengit buk Fatimah.
Pak Wahab mengela nafasnya, "Kalau itu terserah mama sama Mirna. Papa tak ikut campur." Ujarnya.
Pak Wahab bukanlah orang baik. Karena tuntutan pekerjaan dan demi langgengnya jabatan, orang baik bisa menjadi jahat, apa lagi orang seperti pak Wahab. Tapi seburuk-buruknya prilaku pak Wahab, dia tak berani jika harus membunuh jabang bayi yang tidak berdosa.
"Bagaimana menurutmu, Nak?" Buk Fatimah menoleh ke arah Mirna yang sedari tadi hanya diam saja.
"Kita ikut saran papa saja, Ma. Setelah melahirkan nanti bayinya kita serahkan ke panti asuhan saja." Jawab Mirna dengan terpaksa.
Walau pun dia malu dan hatinya sakit serta dendam kepada Andika, tapi dia juga bersalah. Untuk mengurangi rasa bersalah sehingga dia rela menanggung beban mengandung hingga melahirkan.
...****************...
Hari masih pagi. Matahari baru naik sepenggalah. Mumu baru selesai menyapu dan mengepel ruangan perpustakaan. Tubuhnya keringatan. Oleh karena itu ia kembali ke kamarnya untuk istirahat sebentar sampai keringatnya kering. Mumpung kantor masih sepi karena staf perpustakaan belum ada yang datang.
Karena pustaka adalah tempatnya buku sehingga Mumu menumbuhkan hobi yang baru yaitu membaca.
Buku apa saja pasti ia baca jika ada waktu luang. Walaupun ingatannya agak payah dalam mengingat sesuatu tapi hal itu tidaklah menyurutkan semangatnya untuk membaca.
Buku adalah jendelanya ilmu!
Seperti saat ini sambil menunggu keringatnya kering, Mumu membaca buku tentang hikayat melayu zaman dahulu.
"Bam!" Pintu kamarnya terbanting dengan suara keras. Mumu sangat terkejut.
"Ooo ini kerja kamu ya! Bermalas-malasan di kamar saat jam kerja!" Seraut wajah yang penuh amarah berdiri di depan kamar sambil berkacak pinggang. Sedangkan telunjuk kanannya menuding ke arah Mumu.
Mumu langsung berdiri, "Kakak yang sopan, Kak! Apa maksud kakak nuduh-nuduh sambil banting pintu?" Mumu jadi tersulut amarahnya.
Semenjak kerja di sini ia memang tak kerasan dengan Rani si wanita yang sok ini.
Biasanya Mumu memilih diam dan nurut walau pun sering diomeli dan disuruh-suruh oleh Rani.
Tapi kali ini Sikap Rani sudah melewat batas menurutnya.
Datang-datang marah dan menuduh hal yang tak jelas. Mumu yakin kerjanya sudah beres dari pagi.
Raminten