Langit Yang Redup

Kepergian baby Zain kembali mengubah diri Ifa. Kini, Ifa kembali lebih diam dari sebelumnya. Seolah tak ada semangat hidup dalam dirinya.

Melihat kehancuran sang kakak membuat Harfa ikut sedih. Apa yang harus Harfa lakukan agar sedikit bisa menghilangkan rasa sedih Ifa. Walau Harfa sadar itu pasti sulit.

Harfa yang menyaksikan saja sangat merasa sakit dengan apa yang di alami Ifa. Apalagi Ifa yang mengalaminya.

Harfa tak sekuat itu melihat sang kakak. Bagaimana Ifa yang menghadapi cobaan itu.

Rumah itu kembali terasa hampa. Redup menyelimuti setiap ruang.

Dulu, keadaan mereka tak begini. Tapi, semenjak pernikahan Ifa semua menjadi berantakan.

Hidup yang asalnya damai penuh ketenangan kini menjadi duka yang tak terlupakan. Membekas jelas di hati Ifa.

Bagaimana caranya agar Ifa bangkit. Tidak terpuruk akan luka. Tidak terpaku akan duka. Semua telah terjadi dan tak bisa di hindari.

Jalan takdir yang harus Ifa lalui mungkin seperti itu.

Hari-hari yang Ifa lalui kembali terasa berat. Hati dan pikiran Ifa terus berperang.

Karena tak ingin menunjukan kesedihan, Ifa kembali menyibukkan diri dengan bekerja. Tak peduli seberapa lelah tubuhnya. Ifa berharap, luka itu kembali kering.

Seberapapun hebat ujian itu, tubuh Ifa nampak kuat. Seolah Allah sudah menyiapkannya. Ujian bertubi-tubi mampu membuat Ifa masih berdiri.

Jika tak ada imam, mungkin sejak awal Ifa hanya bisa mengurung diri dan mengutuk takdir. Tapi, Ifa tak melakukan itu. Berkali-kali di jatuhkan berkali-kali pula Ifa bangkit. Ifa sadar, jika ia tak bersandar pada Allah pada siapa lagi.

Ifa merasa ia lemah, dan hanya bisa menggantungkan diri pada Allah. Tak ada hal yang lain. Semuanya pasrah, akan apapun yang terjadi.

Dalam kondisi yang harusnya di istirahat kan. Ifa malah sibuk kembali bekerja. Karena itu jalan satu-satunya agar Ifa bisa sedikit melupakan apa yang namanya sakit.

Lelah, tentu. Tapi, anehnya Ifa tak pernah jatuh sakit sampai parah. Padahal, berkali-kali Ifa kesakitan, terpuruk penuh luka. Tapi, tubuh itu masih sama.

Begitu hebatnya Ifa. Ifa juga tidak tahu. Yang Ifa tahu hanya berpasrah saja.

Pasrah akan segala ujian yang menimpanya. Toh, se-benci dan menolak pun tak bisa. Karena semuanya sudah terjadi. Bahkan sedikitpun Ifa tak bisa menghindar.

Siapa yang bisa menghindari dari ketentuan takdir Allah. Tak ada satupun.

Mawar kembali menatap Ifa penuh iba. Begitupun dengan yang lain. Mereka tak pernah menyangka jika Ifa kembali di hadapkan dalam situasi yang sulit.

Orang lain hanya bisa menatap kasihan dan juga penuh apresiasi akan tabah nya Ifa dalam menghadapi setiap ujian.

Namun, tak tahukah kalian jika Ifa tak menyukai itu. Ifa tak suka dirinya di anggap lemah dan di kasihani. Ifa bukan orang yang pantas untuk di kasihani dan tak akan menerima itu.

Ifa merasa dirinya kuat bukan orang lemah. Ifa masih mampu mengatasinya sendiri. Tapi, tak tahukah Ifa. Terlalu memendam sendiri pun tak baik. Ada kalanya perasaan itu harus di luapkan. Agar tidak menjadi rasa sesak di kemudian hari.

Setiap orang mungkin berbeda-beda cara pandang dan menghadapi ujian. Itulah cara Ifa.

Lantas bagaimana versi kalian?

Ifa kembali sibuk dengan tumpukan berkas di hadapannya. Seolah tumpukan berkas itu tak pernah surut. Malah semakin bertambah.

Ujian yang terus bertubi-tubi menghantam Ifa. Membuat cara kerja Ifa tak secepat dan seteliti dulu. Banyak kesalahan yang harus di revisi beberapa kali.

Bahkan keadaan perusahaan pun kembali harus di hadapkan dengan guncangan. Ini satu-satunya perusahaan turun temurun. Dan Ifa tak mau di tangannya perusahaan bangkrut. Semuanya sudah lenyap dan hanya tersisa perusahaan pusat. Ifa tak ingin perusahaan itu ikut runtuh.

Ifa merasa tak becus melakukan semuanya. Mereka berada dalam genggamannya perusahaan semakin merosot bukan bangkit saja.

Ifa merasa bersalah akan semuanya. Merasa sudah menghancurkan kerja keras Abi Farel dan orang-orang terdahulu.

Jika perusahaan itu ikut bangkrut, bagaimana nasib ribuan karyawan. Ifa sudah kehilangan ribuan karyawan lain Ifa tak mau kehilangan lagi.

Ifa berusaha keras sampai tak pernah memikirkan dirinya sendiri. Badan Ifa ikut merosot entah turun berapa kilo. Ifa terlihat kecil. Beban hati dan pikirannya begitu besar.

Belum lagi Ifa tak mau membuat kedua orang tuanya ikut merasakan susah. Kondisi mereka tak lagi sama seperti dulu.

Ifa pun tak bisa meminta Harfa membantunya. Harfa sudah sibuk dengan pekerjaan sendiri.

Sendari awal memang perusahaan menjadi tanggung jawab Ifa. Sebagai anak pertama tentu Ifa tak bisa menolak itu. Mengingat Abi Farel sedang sakit.

Ternyata kerja kerasnya selama ini belum bisa mengembangkan perusahaan. Dan malah mengalami guncangan bahkan hampir bangkrut. Andai tak ada yang berkhianat mungkin perusahaan tetap kokoh dan jaya.

Walau orang yang berkhianat sudah mendekap di penjara tapi tetap tak merubah apapun. Apalagi semenjak data perusahaan bocor.

Perusahaan-perusahaan lain pun akan berpikir dua kali jika ingin bekerja sama dengan Ifa.

Tak mudah bergelut dalam dunia bisnis. Banyak pesaing yang ingin menjatuhkan. Ada juga yang tak peduli dan fokus akan perusahaan sendiri.

Begitulah dunia bisnis. Apalagi perusahaan yang sudah berada di puncak akan semakin banyak para pesaingnya. Jika kita tak kuat menghadapinya mungkin akan seperti Ifa.

Dulu ketika di pegang Abi Farel, perusahaan semakin jaya saja. Karena sikap Abi Farel yang tegas dan tak mentoleransi apapun.

Berbeda dengan Ifa. Hatinya terlalu lembut untuk menghadapi berbagai hantaman lain. Hingga mudah tikus masuk kedalam dan menghancurkan semuanya.

Itulah kelemahan Ifa. Sampai sekarang Ifa tak bisa merubah itu semua. Apalagi, kini Ifa sendiri sedang di hadapi dengan guncangan diri. Tentu itu tak mudah bagi Ifa, untuk menghadapinya.

"Nona istirahat dulu."

Pinta Mawar, merasa khawatir. Sejak tadi Ifa tak menyentuh makanan sedikitpun. Malah fokus akan pekerjaan.

"Nona bisa sakit jika begini terus. Makan, ya?"

Sekali lagi Mawar membujuk. Tapi, tak ada tanggapan dari Ifa. Mawar bingung harus melakukan apa. Mawar bukan Mikail yang berani jika Ifa lupa makan.

Biasanya Malik akan mengambil alih berkas tersebut dan menyodorkan langsung makanan nya. Tapi, Mawar tak seberani itu.

"Nona ..,"

"Sebentar lagi, ini tanggung."

Ucap Ifa karena cukup kesal sendari tadi Mawar terus mengingatkannya. Disaat-saat seperti ini kenapa Ifa malah teringat akan Mikail. Entah bagaimana keadaan Mikail sekarang. Apa lancar dengan studinya atau tidak.

Entahlah, jujur Ifa butuh Mikail saat ini. Biasanya Mikail selalu memecahkan kesulitan dengan cepat.

Berbeda dengan Mawar. Mawar terlalu lamban mengerjakan sesuatu. Walau hasilnya memang selalu sempurna. Tapi, keadaan perusahaan sedang terguncang begini kurang cocok dengan cara kerja Mawar.

Harusnya Mawar bekerja pada perusahaan yang baik-baik saja. Supaya Mawar merasa nyaman akan kefokusannya dalam bekerja.

Jika begini, yang ada Mawar selalu banyak gugup. Bahkan sedikit di tegor Ifa saja membuat Mawar menjadi sungkan.

"Nona. An ..,"

"Ada apalagi Mawar. Saya sudah bilang bentar lagi. Ini tanggung."

"Tapi, ini sudah sore."

Deg!

Ifa tertegun. Menatap jam di pergelangan tangannya. Benar saja, ini sudah sore. Kenapa bisa Ifa sampai tak mendengar adzan ashar sekalipun.

"Astaghfirullah Hal'azim!"

Ifa mengusap wajahnya kasar. Sambil beberapa kali beristigfar.

Ifa menatap Mawar dengan perasaan bersalahnya.

Bersambung ..

Ramaikan guys 🙏🙏🙏

Jangan lupa tinggalkan jejak sebanyak-banyaknya nya. Terimakasih ...