Ketika cinta hadir di antara dua hati yang berbeda keyakinan, ia mengajarkan kita untuk saling memahami, bukan memaksakan. Cinta sejati bukan tentang menyeragamkan, tetapi tentang saling merangkul perbedaan. Jika cinta itu tulus, ia akan menemukan caranya sendiri, meski keyakinan kita tak selalu sejalan. Pada akhirnya, cinta mengajarkan bahwa kasih sayang dan pengertian lebih kuat daripada perbedaan yang ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faustina Maretta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Memperjuangkan?
Freya selalu tenggelam dalam pekerjaannya sebagai seorang penulis. Setiap hari, ia duduk di depan laptopnya, mengetik dengan cepat dan penuh konsentrasi, menciptakan cerita-cerita yang menyentuh hati banyak pembaca. Ide-ide baru terus mengalir, tetapi di balik itu semua, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, sebuah nama yang sering muncul dalam percakapannya dengan Leyla, sahabat karibnya.
Leyla dan Freya sudah bersahabat sejak lama. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, baik itu di kafe favorit mereka, berjalan-jalan di taman, atau sekadar berbicara berjam-jam di apartemen Freya. Leyla selalu menjadi tempat Freya mencurahkan segala isi hatinya. Dan akhir-akhir ini, Leyla sering mendengar satu nama yang kerap disebut: Tama.
"Kenapa sih, akhir-akhir ini kamu sering banget ngomongin Tama?" tanya Leyla suatu hari sambil menyeruput kopinya.
Freya berhenti sejenak, berpikir. "Aku nggak tahu, mungkin karena aku lagi kepikiran dia."
Leyla tersenyum tipis, memahami situasinya. "Kamu kangen sama dia, ya?"
Freya terdiam. Hatinya berbisik iya, tetapi lidahnya seolah enggan mengakui. Tama adalah seseorang yang penting dalam hidupnya. Meski mereka tak lagi sering berjumpa, ingatan tentang Tama tetap hidup di hatinya. Dia sering teringat obrolan mereka, tawa Tama yang hangat, dan bagaimana mereka bisa berbicara tentang apa saja tanpa merasa canggung.
"Freya, terkadang kita bisa sibuk bekerja dan mengabaikan perasaan kita sendiri. Tapi dari semua yang kamu ceritakan, aku bisa lihat kalau kamu sebenarnya merindukan dia," kata Leyla dengan nada lembut.
Freya tersenyum kecil, merasa sahabatnya benar. Meski dia sibuk dengan pekerjaannya sebagai penulis, pikirannya sering melayang kepada Tama. Leyla mengenal Freya lebih baik daripada siapapun, dan mungkin sudah saatnya Freya mengakui perasaannya sendiri.
Sore itu, setelah obrolan mereka, Freya duduk di depan laptopnya, kali ini bukan untuk menulis cerita fiksi, tetapi untuk merenung. Dia mulai menulis tentang perasaannya yang sebenarnya, tentang kerinduan yang selama ini dia abaikan. Mungkin, ini adalah langkah pertama baginya untuk menghadapi apa yang sudah lama bersembunyi di balik pekerjaannya yang sibuk, perasaan rindu yang tak pernah diucapkan kepada Tama.
***
Tama berdiri di depan pintu apartemen Freya, jantungnya berdegup kencang. Malam itu, setelah banyak pertimbangan, Tama akhirnya memutuskan untuk datang langsung, berharap bisa berbicara dengan Freya.
Ketika Freya membuka pintu dan melihat Tama berdiri di sana, hatinya berdebar kencang. Sejenak, senyumnya muncul, senang melihat sosok yang selama ini hanya hadir dalam pikirannya. Namun, di balik rasa senangnya, ada kesadaran pahit yang menyeruak. Tama sudah memiliki seorang kekasih. Kebahagiaannya seketika berubah menjadi keraguan.
"Tama? Kenapa kamu di sini?" tanya Freya, suaranya lembut namun terkejut.
Tama tersenyum kecil, mencoba menghilangkan kegugupan. "Aku cuma ... kangen ngobrol sama kamu, Freya. Aku rasa kita perlu bicara."
Freya menatapnya dengan mata yang penuh perasaan campur aduk. Hatinya ingin membiarkan Tama masuk, tetapi pikirannya tahu bahwa ini tidak benar. Dia tahu Tama tidak datang ke sini sebagai pria yang bebas, ada orang lain yang mengisi hidupnya sekarang.
"Tama ... kamu nggak seharusnya ada di sini," kata Freya pelan, berusaha menenangkan perasaannya. "Kamu sudah punya kekasih."
Kata-kata itu meluncur dari bibir Freya dengan getir. Tama terkejut dengan ucapan wanita di depannya. Dia mencoba mendekat, berharap bisa menjelaskan, tetapi Freya melangkah mundur, menghindar.
"Kamu harus pergi, Tama. Ini nggak benar," lanjut Freya, suaranya semakin tegas meski hatinya berteriak untuk tidak mengusirnya. Namun, ia tahu, semakin lama Tama di sana, semakin sulit baginya untuk menjaga jarak.
Tama merasakan kebingungan menguasainya. Freya tidak seperti biasanya, dia tampak dingin, terjaga, berbeda dari sosok yang dulu selalu bisa dia ajak bicara. Dia mencoba mendekati Freya lagi, tapi Freya terus menghindar.
"Freya, tolong dengarkan aku," kata Tama dengan suara yang lebih rendah, tapi Freya menggeleng, tak mau mendengar.
"Tama, pergilah!" seru Freya dengan emosi yang mulai memuncak. Dia tahu jika dia tidak segera menghentikan ini, semuanya akan lebih sulit. Dia sudah terlalu terluka dengan kenyataan bahwa dia masih merindukan Tama, tetapi dia juga tahu Tama tak mungkin menjadi miliknya lagi.
Namun, sebelum Freya bisa berkata lebih jauh, Tama tiba-tiba menariknya mendekat, membungkam kata-kata Freya dengan ciumannya. Freya terkejut, seluruh tubuhnya tegang dalam pelukan Tama. Ciuman itu penuh dengan perasaan yang tertaha, rindu, kebingungan, dan rasa tak terkatakan yang sudah lama mereka abaikan.
Freya sempat berusaha melawan, tetapi kehangatan Tama membuatnya diam. Sejenak, dunia di sekitar mereka menghilang. Hanya ada mereka berdua, di dalam momen yang penuh kebingungan namun juga kepastian. Freya ingin menolak, tapi perasaannya yang selama ini terpendam membawanya larut. Dia merasakan semua perasaan yang sudah lama dia pendam, tetapi kemudian, kenyataan kembali menamparnya.
Freya menarik diri dari ciuman itu, terengah-engah. "Ini ... ini salah, Tama. Kamu harus pergi," katanya, kali ini dengan suara yang bergetar.
Tama menatapnya dalam kebingungan. "Frey, aku nggak punya seorang kekasih, apa yang kamu bicarakan? Kamu bahkan tidak memberikanku kesempatan untuk berbicara."
"Kalau begitu," katanya pelan, menatap Tama dalam-dalam, "apa arti ciuman yang tadi?"
Tama terdiam sejenak, menatap Freya dengan sorot mata yang serius namun lembut. "Itu ... artinya aku nggak bisa lagi menahan perasaan aku, Freya. Aku sudah terlalu lama merindukanmu."
Freya merasakan dadanya berdesir. Semua kesalahpahaman dan kebingungan yang selama ini dia rasakan perlahan memudar, tergantikan oleh kenyataan bahwa perasaan mereka ternyata tak pernah hilang, hanya tersimpan, menunggu untuk diungkapkan.
"Freya, aku nggak bisa lagi berpura-pura," kata Tama pelan, menatap mata Freya dengan penuh ketulusan. "Aku ingin kita lebih dari sekadar teman. Aku ingin hubungan yang serius sama kamu."
"Tama, aku juga punya perasaan yang sama. Tapi kamu tahu, kita berbeda," jawab Freya, suaranya sedikit gemetar.
Tama mengangguk, sepenuhnya menyadari situasi itu. "Iya, aku tahu. Tapi aku juga tahu bahwa aku siap untuk menghadapi perbedaan itu. Aku nggak peduli soal keyakinan yang berbeda. Aku yakin kita bisa menemukan jalan. Aku nggak mau menyerah hanya karena itu."
"Aku juga nggak mau menyerah," kata Freya akhirnya, suaranya penuh harapan. "Kita bisa cari cara."
Tama tersenyum lega, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, mereka merasa bahwa meskipun jalan di depan penuh tantangan, perasaan mereka cukup kuat untuk menghadapi semuanya.
Tama menatap Freya dengan tekad yang bulat di matanya. Dia tahu bahwa perjalanan mereka tak akan mudah, dengan segala perbedaan yang ada di antara mereka, terutama keyakinan yang selama ini menjadi tembok pemisah. Namun, di dalam hatinya, Tama yakin satu hal, dia akan memperjuangkan Freya, apapun yang terjadi.
"Aku janji, Freya. Aku akan memperjuangkan kamu."
Baginya, cinta mereka lebih besar dari semua rintangan yang ada. Tama berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan menghadapi segala tantangan, membuktikan bahwa perasaan ini layak diperjuangkan, dan tidak akan pernah menyerah sampai mereka bisa bersama tanpa keraguan.