Seorang Duta Besar Republik Indonesia yang bertugas di Belanda, diperintahkan pulang oleh pimpinan Partai, untuk dicalonkan sebagai Presiden pada Pemilu 2023. Dialah Milano Arghani Baskara. Pria mapan berusia 35 tahun yang masih berstatus single. Guna mendongkrak elektabilitasnya dalam kampanye, Milano Arghani Baskara, atau yang lebih dikenal dengan nama Arghani Baskara, diminta untuk segera menikah. Tidak sedang menjalin hubungan dengan wanita manapun, Argha terpaksa menerima Perjodohan yang diatur oleh orang tuanya. Dialah Nathya Putri Adiwilaga. Wanita muda berumur 23 tahun. Begitu Energik, Mandiri dan juga Pekerja keras. Nathya yang saat ini Bekerja di sebuah Hotel, memiliki mimpi besar. Yaitu melanjutkan pendidikan S2 nya di Belanda.
Akankah cinta beda usia dan latar belakang ini bersemi?
Mampukah Nathya menaikkan elektabilitas suaminya dalam berkampanye??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sirchy_10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 32
Pagi ini, suhu udara di ruangan ber-AC yang Nathya diami menyentuh angka 16 derajat celcius. Seharusnya cukup membuat tubuh tropis khas Indonesia menggigil kedinginan. Namun tidak berlaku bagi Nathya yang saat ini tenggelam dalam ranjang empuk bermatras sultan. Badannya justru terasa panas hingga mempengaruhi warna pipinya yang menjadi merah padam sejak semalam .
Nathya tidak sedang menderita demam meriang, atau sakit layaknya wanita pada umumnya yang sedang mentruasi. Tidak pula sedang menderita Vertigo. Otaknya sedang bekerja otomatis teringat kembali akan peristiwa semalam yang ia lakukan dengan seorang laki- laki dewasa berwajah tampan pemilik sorot mata nan tajam. Pembicaraan serius bertemakan penting atau tidaknya menikah, berakhir menjadi kuluman nikmat di ranjang.
Semalam itu luar biasa. Hal yang mestinya tidak terlalu istimewa, karena mereka sudah pernah melakukan hal serupa di hadapan semua orang yang hadir di kapel, kala pemberkatan janji suci pernikahan (Berciuman🤣). Namun entah kenapa, yang pertama dan kedua memiliki getaran yang berbeda. Mungkin yang pertama dilakukan karena mereka belum kenal cukup dekat dan yang kedua dilakukan secara dekat karena merasa sudah dekat dan memang diinginkan.
Meski senang dan malu, sebetulnya hati Nathya juga merengut tampa henti. Bibirnya meracau kesal karena tidak mendapati Argha di bawah selimut yang sama dengannya. Argha memang seteratur itu akan jadwal hari- harinya sejak pertama kali mereka tidur di ruangan yang sama.
Apakah Argha tidak bisa menanggalkan kebiasaan bagusnya itu, sesaat saja karena mereka berada dalam situasi 'menikmati hari tenang tampa politik'? Minimal, leha- leha, malas- malasan menikmati hari libur. Bukannya bangun pagi- pagi lalu mandi dan berapi- berapi diri.
Jujur, Nathya ingin menghentikan keposesifan diri ketika tidak mendapati Argha disampingnya, begitu membuka mata. Namun, ia juga tidak memiliki muka untuk bertemu dengan Argha detik ini juga. Dikarenakan dirinya yang semalam begitu liar membalas ciuman Argha. Bisa jadi suaminya itu berasumsi, bahwa istri kecilnya yang memiliki gengsi setinggi langit di angkasa ini, cukup 'nakal' kalau persoalan ranjang.
Harus bagaimana sekarang, batin Nathya malu.
"Good Morning," sapa Argha dengan intonasi dan nada yang menyejukkan telinga. Laki- laki dominan itu masuk ke kamar dengan membawa sebuah nampan berisikan sarapan.
Nathya terpaku, tidak menjawab sapaan sang suami malah sibuk melirik ke nampan yang dibawa Argha, setelah itu melirik meneliti penampilan suaminya yang tampak berbeda pagi ini dengan celana pendek, t-shirt polos dan sendal slop.
Jam masih menunjukkan pukul 7 pagi dan Argha sudah menyiapkan sarapan untuk mereka berdua. Ya Tuhan, teratur sekali hidup suaminya ini, membuat Nathya bertanya- tanya, sebenarnya jam berapa sih suami nya ini bangun, sehingga mampu menyelesaikan 2 menu di jam segini?
Langkah lebar yang diambil Argha membuat jantung Nathya hampir lepas dari tempurung dadanya. Mengapa hanya karena dihampiri membuatnya merasa terintimidasi? Namun melihat langkah Argha berbelok ke meja bundar yang ada disudut ruangan membuat Nathya kecewa. Sebetulnya ia ingin ditemui Argha di ranjang lalu melanjutkan aktivitas mereka semalam.
Nakalnya pikiran wanita yang haus kasih sayang dan jarang dibelai ini?
"Thy, kamu oke kan sarapan smoothie?"
Bibir Nathya masih terkatup rapat, namun otaknya sibuk dipenuhi oleh Argha, Argha dan Argha.
"G-gak apa- apa mas," jawabnya tergagap sarat salah tingkah.
"Sarapan dulu yuk," cuap bibir Argha sembari menghampiri Nathya yang masih duduk canggung di atas ranjang.
Apakah Nathya salah tingkah dan merasa malu karena kejadian semalam? Atau memang ia terbiasa bersikap seperti itu?Entahlah, namun Argha yang menjadi terlampau peka, langsung berpikiran Nathya memang sulit untuk mengungkapkan perasaannya melalui gestur yang sesungguhnya.
"Mas Argha tahu gak?" tanya Nathya tiba- tiba mulai bergerak dan duduk di sisi ranjang di samping Argha sembari menurunkan kakinya ke lantai.
"Tahu apa?"
"Mas pagi ini, ingatin aku ke Spongebob waktu pakai baju maid, saat melayani Squidward."
Dahi yang tua jelas bertaut tajam, karena belum pernah menyaksikan episode 'maid service' dari kartun lucu nyerempet mesum itu. Lalu pakaian maid? Apa disana Spongebob yang menjadi pelayan untuk Squidward pasca selesai bermain lidah seperti yang mereka lakukan semalam? Au ah bingung.
"Kok bisa?" tanya Argha tidak mengerti maksudnya.
"Ya kan aku gak sakit, tapi mas tiba- tiba bawain aku sarapan. Mirip- mirip lah sama Spongebob yang bawain Lemonade buat Squidward, padahal dia nya gak kenapa- kenapa".
Argha tertawa kencang, tidak mampu mengerti, bagaimana sebelumnya otak Nathya bekerja. Mengapa Nathya berpikir unik, menyamakan dirinya dengan Spongebob? "Bisa ya kamu kepikiran kesana? Kamu curiga mas ada maunya ya?" balas Argha tiba- tiba kepikiran lagi persoalan semalam
Nathya menggeleng. "Gak kok. Cuma gak tahu harus bicara apa. Makanya bahas Spongebob," jawab Nathya kelewat jujur.
Argha yang saat ini duduk di samping Nathya dengan lekas mengusap surai panjang Nathya yang masih berantakkan. Wajah bahagianya setelah menertawakan istrinya tidak lekas berhenti.
"Kalau ciuman saja gimana?" ucap Argha tiba- tiba.
Undangan macam apa itu? Pikir Nathya. Mengapa harus bertanya lagi sih? Seharusnya langsung sentuh saja. Nathya juga tidak keberatan kok. Lagipula ciuman Argha memanglah nikmat dan senagih itu, bahkan membuat kaki Nathya bergetar, terasa tidak lagi menyentuh permukaan bumi.
Nathya ingin merasakannya lagi, jika bisa yang lebih membara lagi daripada semalam. Tidak apa- apa kalau Argha mau menyentuh lehernya atau bahkan lebih kebawah lagi, asalkan stop di bagian pusar. Jangan kelewatan dulu, karena Nathya belum siap untuk sampai ke tahap itu.
Ya ampun! Otaknya perlu di reset agar berhenti memikirkan yang tidak- tidak.
"Gak ah mas," jawab Nathya polos.
Argha pun tidak berencana menekan istrinya dengan paksaan. Hanya mengangguk mengiyakan kala Nathya menolak. Tidak apa- apa tidak mau mengulanginya saat ini. Masih ada nanti, esok dan esoknya lagi. Lalu kembali membelai surai panjang nan hitam pekat itu.
"Gak nolak," lanjut Nathya setelah itu.
Kini, giliran Argha yang terdiam syok akan perkataan daun muda yang telah dinikahinya.
Kenapa harus nolak duluan, kalau ujung- ujungnya mau juga.
...****...
Nathya tidak paham, hubungan apa yang sebenarnya ia jalani bersama Argha? Tiga hari terakhir ini semakin tidak jelas mana yang berdasarkan kontrak dan mana yang berasal dari hati. Nathya mulai kehilangan prinsip kokoh yang ingin tetap ia jaga jaraknya.
Sampai saat ini Nathya pun masih belum paham maksud Argha yang memberikan banyak perhatian. Contohnya kemarin, Laki- laki dominan itu membuatkan sarapan untuknya. Siangnya, Argha memberi izin Nathya untuk berjumpa dengan sahabatnya, dan berinisiatif mengantar istrinya ke tempat yang sudah direncanakan bersama sahabatnya Mahalina.
Argha dengan segala ketidak jelasan ini membuat langkahnya turut tidak terarah.
Hari ini, adalah hari dimana Nathya dan Argha harus kembali ke Jakarta. Liburan mereka sudah usai. Saatnya menghadapi kenyataan hidup di ibu kota. Dan saat ini, ia sudah berada di Airport Ngurah Rai. Sang bunda tidak hentinya menangis meraung- raung sedari tadi melepas kepergian putri sulung kesayangannya, untuk ikut dengan Argha suaminya. Ini tangisannya kedua setelah pertama, 2 bulan yang lalau saat melepas kepergian Nathya untuk pertama kalinya.
"Kabarin bunda ya kak, kalau udah sampai Jakarta."
Sebetulnya Nathya tidak suka kembali ke Bali, karena pasti akan ada drama kesedihan seperti ini yang membuat moodnya langsung terjun bebas, hancur hingga beberapa hari kedepan. Berpisah tinggal dengan orang tua berbeda pulau lagi, memang sesedih itu. Namun mau bagaimana lagi, ini adalah pilihan Natha sendiri. Menikah dan ikut suami kemana pun ia pergi. Harus dihadapi dan hanya mampu menahan gejolak sendu, karena ia akan berpisah kembali dengan keluarga. Anggap saja sedang melatih mental, jika betulan melanjutkan pendidikkan di Belanda selama 2 tahun nantinya.
"Ingat video call ya, kak." Sekarang ayahnya ikut- ikutan sang bunda. Terdengar suara bergetar dari bibir yang tua itu.
"Ayah, bunda dan Narayu kalau rindu Thya, bisa kok datang ke Jakarta," ucap Argha mencoba menjadi penenang keluarga pasangan hidupnya
"Milan, jaga Nathya baik- baik ya. Ayah bunda berharap besar untuk kebaikan Nathya."
Argha tersenyum lalu mengangguk kepala.
"Kami masuk dulu, yah, bund, Narayu," ucap Argha setelah itu. Karena 15 menit lagi pesawat akan mengudara.
"Bund, kakak jalan ya. Bunda ayah jaga kesehatan. Kamu juga Nay. Kabari kakak kalau ada apa- apa," ucap Nathya mengingatkan adiknya.
"Iya kak," jawab Narayu tidak bersemangat, pasalnya tidak ada lagi kakak yang bisa ia usili. Rumah jadi sepi, meski sang kakak biasanya tidak tinggal dirumah juga. Tapi rasanya ada yang hilang.
Mereka berdua berjalan menuju pintu masuk untuk segera ke pesawat, meninggalkan keluarga Nathya yang masih tampak sedih.
...-------------------...
Nathya diam seribu bahasa saat didalam pesawat yang membawanya kembali ke Jakarta. Bibir tipis itu betulan betah terkatup tidak berceloteh. Membuat Argha bingung harus bagaimana. Karena diajak bicara pun yang bersangkutan hanya menjawab seadanya.
Setitik air mata yang menetes pun tak luput dari pandangan Argha. Ia menyaksikan betapa menderitanya si jelita yang ia paksa menikah dengan iming- iming tawaran yang luar biasa. Dirinya emosi, ikut merasakan kesakitan yang dirasakan sang jelita. Namun Argha sadar, ia tidak punya kuasa atas perasaan Nathya.
Dia pikir, ada sedikit kemajuan kala bibir mereka mulai bertautan sebanyak dua kali tampa paksaan—yang di kapel tidak dihitung—. Argha pikir setelah itu Nathya akan membuka diri untuknya. Minimal jujur dengan perasaan dan kesakitan yang ia rasakan. Nyatanya, Nathya tetap memilih diam, memendam sendiri dan sakit sendiri.
Apakah Nathya tidak memiliki sedikit pun hasrat pada sang suami? Apakah tindakkan sang suami masih kurang nyata? Tidak kah Nathya tertarik pada sang suami walau hanya sedikit? Kenapa sang jelita begitu berat melangkah bersama dirinya? Begitu banyak pertanyaan di dalam benaknya yang tak mendapatkan jawaban.
Nyatanya Argha tidak ingin kontrak 1 tahun, ia ingin lebih dari itu.
...****...
Sejak menginjakkan kaki di Kediaman utama Baskara hingga keesokkan harinya, Nathya masih konsisten dengan diamnya. Ia kembali mengacuhkan keberadaan Argha. Hanya akan bicara kala Argha meminta tolong, diajak bicara pun seperti ogah- ogahan. Dibiarkan, semakin membuat keadaan dan suasana menjadi canggung. Mas Argha kudu piye dek Nathya.
"Besok kalian sudah akan pindah, ya?" tanya mama Dewina saat makan malam bersama.
"Iya, ma. Besok aku dan Nathya mulai pindahin sisa barang ke Kemang," jawab Argha santai.
"Sedihnya, nanti aku belanjanya sama siapa dong?" sahut Melani ikut bersuara. Mungkin ia juga turut tidak rela kakaknya dan juga adik ipar yang sebetulnya adalah kakak ipar, pindah dan mulai hidup mandiri. Atau lebih tepatnya, Melani akan kehilangan kartu kreditnya jika Nathya pindah. Secara, kalau Nathya belanja, Melani pasti akan dibelanjakan. Meski memiliki financial yang sangat baik, Melani masih suka nebeng di kartu kredit sang kakak.
"Kalau boni gak bisa sering-sering temani kamu, kan bisa ajak Nathya. Nathya akan punya waktu lebih banyak setelah kampanye. Iya kan sayang?" ucap Argha seraya mengusap kepala bagian belakang Nathya.
"Iya kak. Aku bisa kok," jawab Nathya kelewat datar.
Ada perasaan sedih menyelip dihati Nathya saat Argha bilang, Nathya memiliki banyak waktu senggang setelah kampanye. Itu artinya, Argha sudah tidak membutuhkan dirinya lagi untuk menemani disetiap kegiatannya. Belum apa- apa Argha sudah mengingatkan dirinya, bahwa setelah semua kepentingan politiknya selesai, maka Nathya tidak lagi dibutuhkan.
Benar- benar sialan sekali ciuman itu. Sampai membuat Nathya memiliki ekspetasi tinggi terhadap Argha. Sementara Argha, terlihat biasa saja.
Padahal, bukan begitu maksud Argha. Argha hanya ingin Nathya tidak sedih lagi, mempunyai teman untuk melakukan aktivitas diluar sana. Atau bahkan menyalurkan hasrat belanjanya bersama Melani. Katakan lah Nathya memiliki bestie untuk menguras kartunya, tapi Nathya malah berpikir lain. Sensitif sekali jelitanya ini.
Sebagian besar barang- barang Argha sudah mulai di pindahkan seminggu yang lalu ke rumah Kemang, dan Nathya tidak perlu berpusing ria bagaimana ia akan mempacking barang- barang Argha yang banyaknya minta ampun. Bahkan kamar bujang suaminya itu sudah tampak kosong separoh. Hanya tersisa beberapa potong pakaian yang bisa dikemas malan ini juga.
Nathya terlihat berlalu lalang memasukkan sisa barang suaminya kedalam koper atas perintah tante Riana, saat makan malam tadi. Sebenarnya Nathya sangat lelah, ingin rasanya meminta tolong saja pada maid. Tapi, jika tante Riana tahu pasti akan jadi masalah lagi. Oleh sebab itu disisa tenaganya Nathya mengerjakan sendiri.
Argha yabg sedari tadi fokus pada dokumen di genggamannya tidak lagi mampu membiarkan Nathya demikian. Kakinya pun melangkah mendekati sang jelita yang sedang memasukkan pakaian ke koper.
"Mas ada salah ya sama kamu?" tanya Argha tampak hati- hati.
"Gak ada mas," jawab Nathya segera.
"Trus? Kenapa mendiamkan mas kayak gini?"
"Maaf mas, aku jadi kekanak- kanakan begini. Tapi betulan mas, aku capek," jawab Nathya jujur.
"Kamu masih gak mau jujur sama mas? Tolong Thy, ngomong ke mas apa yang kamu rasakan sekarang. Mas gak bisa tau kalau kamu gak ngomong."Betul adanya. Argha bukanlah paranormal yang bisa membaca isi pikiran sang jelita.
Atensi Nathya pun, langsung beralih pada sosok suaminya. Nathya yang berusaha keras menahan segala rasa dihati dan di benaknya, akhirnya luruh juga. Air mata itu mengalir tampa henti, diiringi dengan raungan tangis yang memilukan hati. Nathya pun memeluk lelaki itu dengan erat, sarat menyatakan bahwa ia menderita dan merasa kesepian selama ini. Dirinya juga tertekan akan segala harapan orang- orang. Dari orangtuanya, dari orang tua Argha, tante Riana dan dari Argha tentunya.
Nathya sudah tidak mampu menjalankan segala kepura- puraan ini yang sering kali membuatnya mengeluh dan kesakitan. Ia hanya manusia biasa, sangat sulit menerima perubahan dan tidak lekas bisa beradaptasi.
"Kalau saya membatalkan kontraknya, berapa jumlah yang harus saya bayar?" ucap Nathya pada akhirnya.
...****...
Kejadian dua puluh menit lalu dimana Nathya mengatakan ingin bercerai dan membatalkan kontrak, berakhir dengan kemurkaan Argha. Untuk pertama kalinya, Argha bicara dengan Nada yang sedikit tinggi sarat emosional. Bahkan raut wajahnya berubah menakutkan. Sorot mata yang biasa sendu kala menatap Nathya, kali ini menatap sang jelita bagaikan buruannya. Persis seperti Elang yang sedang mengintai anak ayam kehilangan induknya. Meski begitu, Nathya tidak peduli. Terserah Argha mau melakukan apa. Toh! Beliau yang meminta Nathya jujur.
Mereka berdua terlibat perang dingin malam ini. Argha dengan lantang menolak permintaan Nathya hingga melebih- lebihkan konsekwensi yang akan Nathya terima jika ia berani mengajukan perceraian sepihak. Ya, Argha semurka itu, seperti suami sungguhan yang takut kehilangan istri tercintanya.
Suasana kamar yang terasa canggung membuat Nathya kabur, menenangkan diri ke taman belakang. Persetan dengan Argha sekarang. Lagipula, yang memancing kisruh bukanlah dirinya. Melainkan Argha yang terus memintanya untuk jujur. Setelah Nathya benar jujur akan perasaannya, bapak itu malah mencak- mencak tidak jelas. Untung saja kamar yang mereka tempati cukup luas, sehingga rambatan suara dari dalam tidak terlalu terdengar hingga ke lantai bawah.
Saat ini, Nathya duduk termenung di taman dengan segala keheningan, hanya suara jangkrik dan kodok yang menemani. Beberapa saat kemudian, terdengar sapaan dari suara yang amat sangat familiar yang sangat ingin Nathya hindari. Tante Riana.
"Kalian bertengkar?" tanya tante itu kepo.
"Hanya berdebat karena berbeda pendapat saja kok tan," jawab Nathya bohong.
Tante Riana pun memilih duduk sejenak menemani daun muda yang sedang tersandung kisruh.
"Ego suami memang lebih besar daripada istri," ucap tante Riana tiba- tiba. Ia mematik cerutu yang ia bawa di dalam saku piyamanya, lalu menikmati malam yang dingin bersama istri keponakan tersayangnya. "Mereka gak bisa mengerti kita sebaik kita mengerti mereka. Seluruh istri di dunia mengakui hal itu."
Nathya tidak berniat menanggapi ucapan tante Riana. Ia hanya mendengar malas sembari menatap langit. Entah konteks apa yang dibicarakan tante kesayangan Argha ini, yang jelas, Tante Riana tidak akan mengerti bagaimana posisinya, terlebih tante itu tidak pernah menikah.
"Kita seakan- akan dipaksa untuk selalu mengikuti kehendak mereka. Kita diminta tunduk, bungkam, diam, dan diminta menikmati saja selayaknya korban pemerkaosan."
Nathya yang sedang pening, semakin di bikin pening oleh perkataan tante ini. Sungguh Nathya tidak bisa mencerna ucapan tante Riana. Sudah lah, cukup dengarkan. Dari pada diusir, atau ditinggalkan. Yang ada nanti Nathya dicap sebagai menantu tidak tahu tata krama. Yang tua sedang bicara, malah main tinggal saja.
"Dibiarkan tidak berarah, dipermainkan dan yang paling fatal adalah dibiarkan bersusah hati sendirian. Makanya saya memilih untuk tidak menikah, setelah calon suami saya tiada."
Nathya menghela nafas kesalnya. "Malah curhat? Sedang tidak menerima curhatan, karena saya sendiri sedang galau, batin Nathya."
"Begitu juga dengan Milan. Tidak peduli betapa cerdas, baik, berempatinya dia di mata orang- orang, ego alaminya sebagai suami tetap dimilikinya."
Nathya spontan melirik ke arah tante Riana, ketika menilai keponakannya seperti itu. Nathya pikir, Argha adalah keponakan yang sempurna di mata tante Riana sehingga tidak ada cacat yang terlihat. Nyatanya, tante ini mampu menilai dengan objektif.
"Maksud tante?" tanya Nathya cukup penasaran.
"Milan itu melihat kamu seperti mamanya, yang mampu mengontrol ego papanya yang sering kali di luar batas, meski dibalut sembilan puluh sembilan sifat baik. Dewina itu adalah objek yang membuat Bambang bertekuk. Ia kompetitif, cerdas dan tahu cara menaklukan orang seperti Bambang."
Nathya masih dengan keterdiamannya, menunggu penjelasan tante Riana selanjutnya. Nathya sudah mulai memahami, kemana arah pembicaraan ini.
"Tahu bagaimana caranya untuk membuat Milan takluk?"
Nathya menggeleng dengan tidak minat. Namun tetap penasaran dengan jawaban si tante ini.
"Tidak peduli."
Spontan Nathya tersenyum sarat merasa aneh, dengan tips dan trik yang diucapkan tante Riana. Bagaimana bisa ketidak pedulian bisa meluruhkan ego?
"Milan dan Bambang itu copy paste. Isi kepala mereka sama, sifat mereka pun sama. Semuanya sama. Sampai mereka memilih pendamping yang sama juga. Milan bukan type laki- laki yang suka mengulangi permintaannya, jika hal itu tidaklah worth it baginya."
Nathya kagum sekaligus benci mendengar penjelasan tante Riana mengenai Argha. Lalu setelah ini apa? Haruskah ia kembali ke kamar meminta maaf, lalu memeluk Argha seraya mengatakan "Mas, maafkan aku yang merasa paling istimewa, sehingga kamu melamar aku sampai dua kali, begitu?"
"Mudah untuk mencintai karakter Milan. Kebanyakan orang tidak akan menolaknya."
Untuk yang satu ini, Nathya sependapat dengan tante Riana. Argha memang begitu mudah untuk dicintai siapapun.
"Tapi kamu, malah menolak Milan demi mimpi kamu. Tahu tidak, ego Milan terkoyak karena penolakan yang kamu beri. Oleh sebab itu, Milan akhirnya membuat surat Kontrak untuk memiliki kamu. Berharap kamu akan mencintai dia selama kontrak tersebut dan membatalkan nya di kemudian hari."
Nathya terkejut, sudah pasti. Bagaimana bisa tante Riana mengetahui surat kontrak yang katanya, hanya aku, kamu dan pengacara terpercaya saja yang mengetahui hal ini.
nunggu loh ini
ayo thya, kekep truss. jngan ksih celah buat mantan alias sidugong.
smngat thor, up trus.... hehe
sehat sllu. 💖💖💖💖💖
dri kmrin kutunggu up
double dong thor!?
pling kutunggu upnya
smoga kk othornya khilap up lg. hehehhe.
smngat kaka
sehat selalu 😍😍😍😍😍😍😍😍
hehehe up