Penasaran dengan kisahnya yuk lansung aja kita baca....
Yuk ramaikan...
Sebelum lanjut membaca jangan lupa follow, like, subscribe , gife, vote and komen yah....
Teruntuk yang sudah membaca lanjut terus, dan untuk yang belum hayuk segera merapat dan langsung aja ke cerita nya....
Selamat membaca....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mbak Ainun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
"Makasih, ya, Mbak, sudah diajak belanja banyak banget begini." Arin menenteng dua plastik putih berisi pakaian menjajari langkah Arumi keluar dari sebuah toko grosir pakaian.
"Sama-sama. Murah-murah, kan belanja di sini?"
"Iya, Mbak. Mana bagus-bagus lagi."
"Setelah ini, kita belanja keperluan sehari-hari."
Arumi mengajak berbelok melewati sebuah gang kecil.
"Ke mana, Mbak?"
"Pasar tradisional saja."
"Tumben nggak ke mall aja ?"
"Sekalian kita sudah berada di luar."
Arumi membawa Arin melewati area kumuh. Sempat terdengar decakan dari bibir Arin, tapi Arumi pura-pura tidak mendengarnya. Kedua kaki sudah dipenuhi dengan lumpur. Bahkan bagian bawah pakaian keduanya pun terkena cipratan comberan.
"Mbak, balik saja, yuk!" ajak Arin. Ia mulai menutup hidung membaui aroma tak sedap dari sampah yang digenangi air.
"Sebentar lagi sampai."
"Kenapa lewat sini, sih, Mbak? Nggak ada jalan lain apa ?"
Kini, Arin benar-benar tidak bisa untuk tidak memprotes.
"Arin, terkadang kita harus mencoba jalur lain demi mengetahui satu rahasia."
"Mbak sedang menyindirku?"
Arumi bukannya menjawab. Ia mengentikan langkah dengan tiba-tiba, disusul Arin pula. Ia menunjuk sebuah kios yang letaknya berjajar dengan kios-kios lainnya. Kesemuanya buka dan menampakkan masing-masing barang dagangan.
Mata Arin menyipit. Tanpa mengatakan apa-apa, ia meraih lengan Arumi. Ia berbisik.
"Beneran yang Arin lihat itu, Mbak?" Suaranya dibuat sepelan mungkin agar hanya Arumi yang mendengarnya.
"Kamu lihat sendiri, kan? Apa perlu kita samperin?"
Arin menjawab dengan gelengan. Mata terus menatap seseorang yang terlihat paling tampan di antara yang lainnya. Baju lengan pendek yang dikenakan orang yang menjadi pusat perhatian Arin jelas-jelas menampakkan tato. Celana bolong-bolong yang dikenakan orang itupun sudah menjadi ciri khasnya.
"Perlu kita samperin?"
Arumi menawarkan kedua kali.
Lagi, Arin menggeleng.
"Sudah jelas sekarang, mengapa mbak tidak menyarankan agar kamu tidak mengenalnya lebih jauh?"
Arin pun tidak menjawab. Ia menarik lengan iparnya untuk menjauhi tempat itu, meninggalkan pria yang selama ini menjadi sumber rasa penasarannya.
"Kita langsung pulang, Rin, atau mau makan dulu?" tanya Arumi setelah selesai menyelesaikan belanjaannya.
"Langsung pulang, Mbak. Lapar, sih, tapi mau makan udah kotor begini badannya. Kita makan di rumah sajalah."
"Oke kalau begitu. Kita pesan go food saja yang gampang."
Arin mengikuti langkah Arumi menuju pinggir jalan, menunggu taksi pesanan yang masih dalam perjalanan.
"Itu tadi Mas Farhan di sana sedang ngapain, Mbak? Nongkrong-nongkrong sajakah, atau kerja di sana juga?"
Tiba-tiba Arin membuka percakapan mengenai pria yang baru saja dilihatnya. Farhan berada di antara para pedagang lainnya sedang berkumpul dan berbincang-bincang.
"Entah apa yang mereka perbincangkan. Arin tidak begitu jelas mendengarnya." Ia menyambung ucapannya sebelum sempat Arumi menjawab.
"Nggak tau juga. Mbak memang sering melihat dia di tempat itu. Ya mengobrol dengan pedagang-pedagang kecil seperti tadi."
"Berarti bukan suatu kebetulan dia ada di sana."
"Seperti begitu. Mbak pernah tanya padanya, kemana dirinya saat siang hari? Dia nggak kelihatan ada di bar."
"Di bar? Dia kerja di tempat seperti itu."
Arumi menunda memberikan jawaban meskipun Arin sudah sangat penasaran. Taksi yang mereka pesan pun datang, dan Arin terpaksa menelan rasa ingin tahunya sampai mereka menaiki mobil dan duduk nyaman di dalamnya.
Arin mencari-cari kata yang tepat untuk menanyakan kembali perihal pertanyaannya yang belum terjawab.
"Mbak," panggilnya dalam hening.
"Ya, kenapa, Rin?"
Arumi rupanya sudah melupakan percakapan sebelumnya.
"Tadi Mbak bilang, dia bekerja di bar? Atau bagaimana Arin kurang nangkap penjelasan Mbak Rum."
Arumi meraih tangan Arin, menatap penuh arti sebelum menjawab.
"Mbak menyembunyikan sesuatu?" tanya Arin dengan nada pelan.
"Nggak. Mbak hanya terlambat memberitahumu."
"Tentang apa itu?" Arin sangat penasaran.
"Tentang masa lalu kami, Mbak dan Farhan. Kami dulunya bekerja di tempat yang sama, di dalam bar itu. Sebuah bar yang menjadi penyelamat hidup kami yang tergantung dengan tenaga sendiri tanpa seorangpun yang mau membantu."
"Mbak Rum ... Mbak kerja di bar? Pelayan bar maksudnya? Mas Aris tau nggak Mbak pernah kerja di tempat itu?"
Arin lebih mengkhawatirkan Arumi.
"Tau. Mas Aris sudah tau."
"Alhamdulillah ...." Arin cepat menjawab. Arumi pun mengernyitkan dahi. Ada semacam pertanyaan yang tak sanggup Arumi ucapkan. Membiarkan Arin menebaknya sendiri.
"Iya, alhamdulillah kalau sudah tau. Berarti Mas Aris tidak mempermasalahkannya," ucap Arin, membuat Arumi memutuskan sesuatu."
"Iya, Mbak, Arin paham sekarang kenapa Mbak Rum sengaja mengajak Arin pergi berbelanja melewati tempat itu. Karena kalau cuma dijelaskan saja, aku pasti akan tetap nekat ingin mengenalnya lebih jauh."
"Sekarang kamu bisa memutuskan sendiri. Dia bekerja di bar sampai sekarang, pekerjaannya pun enggak jelas saat di siang hari, dia kasar dan mungkin nggak bisa membaur dengan kita."
"Iya, Mbak. Arin nggak akan meneruskan mencari tau tentang dia."
Kecewa, jelas kecewa saat apa yang diharapkan akan selalu jauh dari harapan.
Berharap ada satu alasan untuk tetap mengenal Farhan. Namun, pada kenyataannya hal baik itu tertutupi oleh kebenaran yang nyata bahwa dari dilihat segi manapun, Farhan bukanlah pria yang baik untuk dikenalnya lebih jauh.
"Ini, Pak. Ambil saja kembaliannya."
Suara Arumi terdengar datar di belakangnya. Arin sudah turun lebih dulu, lalu buru-buru membuka pintu pagar. Ponsel di tangan berdentang. Ia yang memegang ponsel, dibuat penasaran oleh notifikasi yang masuk.
Jempolnya langsung menyentuh layar ponsel. Satu chat masuk langsung terbaca olehnya.
"Kenapa, Rin? Apa ada masalah?" Tulis di dalam chat tersenyum.
Arin mengernyit. Tidak pernah ia mendapat pertanyaan seperti itu dari orang yang baru dikenalnya, seakan-akan menunjukkan bahwa orang itu begitu perduli.
Arin ragu, apakah harus membalasnya atau mengabaikan saja?
"Rin ...! Tolong bantuin bawa ini, dong!"
Ia dikejutkan oleh panggilan Arumi. Dilihatnya kakak ipar sedang menenteng banyak sekali barang belanjaan.
"Eh, iya, Mbak."
Ia buru-buru memasukkan ponsel ke dalam pouch. Segera membantu Arumi.