Menikah karena perjodohan, dihamili tanpa sengaja, lalu diceraikan. Enam tahun kemudian tak sengaja bertemu dengan mantan suami dalam situasi yang tak terduga.
Bertemu dengan Renata dalam penampilan yang berbeda, membuat Mirza jatuh dalam pesonanya. Yang kemudian menumbuhkan hasrat Mirza untuk mendapatkan Renata kembali. Lantas apakah yang akan dilakukan oleh Renata? Apalagi ketika mantan suaminya itu tahu telah ada seorang anak yang lahir dari hasil ketidaksengajaan dirinya di malam disaat ia mabuk berat. Timbullah keinginannya untuk merebut anak itu dari tangan Renata. Apakah Renata akan membiarkan hal itu terjadi? Ataukah Renata memilih menghindar dan membuka hati untuk pria lain?
“Kamu sudah menceraikan aku. Diantara kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Jadi tolong jangan ganggu aku.”
- Renata Amalia -
“Kamu pernah jadi milikku. Sekarang pun kamu harus jadi milikku lagi. Akan aku pastikan kamu dan anak kita akan berkumpul kembali.”
- Mi
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fhatt Trah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24. Pertanyaan Aneh Dito
PMI 24. Pertanyaan Aneh Dito
“Kamu cemburu?”
Renata tersentak. Sontak ia mengangkat wajahnya. Matanya bersiborok dengan sepasang mata Tony yang menatapnya penuh selidik. Yang membuat Renata jadi tak bisa berpikir.
Renata sendiri merasa bingung dengan perasaannya saat ini. Apakah perasaan aneh yang ia rasakan ketika melihat Tony bersama Vanessa itu adalah cemburu. Jika benar perasaan itu adalah cemburu, lantas untuk apa ia harus cemburu. Sedangkan ia tidak punya hak melarang Tony dekat dengan wanita mana pun. Tony adalah pria singgel.
“Kamu masih marah sama saya, Ren?” tanya Tony. Ada rasa senang dalam hatinya melihat Renata marah padanya karena kejadian sore tadi. Dengan begitu ia bisa menilai seperti apa perasaan Renata kepadanya.
“U-untuk apa saya marah sama Bapak. Memangnya Bapak punya salah apa sama saya?” Renata bingung harus bersikap bagaimana menghadapi Tony juga perasaannya saat ini. Terselip sedikit perasaan marah dalam hatinya, namun ia tidak menyadari hal itu.
“Ada, Ren. Saya sudah bikin salah sama kamu. Untuk itu saya minta maaf.” Tony berpindah tempat ke sofa panjang, lebih mendekat dengan Renata yang duduk di ujung sofa yang berjauhan darinya.
Sedangkan Renata dibuat salah tingkah saat Tony pindah di dekatnya, lebih merapatkan duduk dengannya. Ingin sedikit bergeser, tapi ia sudah berada di ujung. Ingin berdiri dan pindah tempat duduk pun, ia takut disangka menghindar. Dan malah akan membuat Tony semakin salah berprasangka terhadapnya.
“Pak Tony tidak punya salah apa-apa, kok. Kenapa harus minta maaf?” Renata merasa tak bisa leluasa bergerak karena Tony duduk hampir tak menyisakan jarak. Membuatnya juga harus menahan napas lantaran diserang gugup tiba-tiba. Apalagi saat Tony meraih jemarinya dan menggenggamnya erat, ditambah lagi Tony menatapnya matanya lekat-lekat, rasanya ia sudah tidak bisa bernapas lagi dengan lega.
“Ada, Ren. Saya sudah bikin salah sama kamu. Dan kesalahan saya itu adalah tidak jujur sama kamu. Bahwa sebenarnya saya mencintai kamu. Sebenarnya sudah lama saya memendam perasaan ini. Saya tidak berani mengatakan ini sama kamu karena saya menghargai kamu. Saya hanya takut, jika saya mengatakan ini, kamu jadi tidak nyaman lagi bekerja dengan saya.”
Kali ini Renata terdiam menatap mata Tony. Seolah ia hanyut dalam tatapan teduh pria itu. Ungkapan perasaan Tony itu mampu menenangkan hatinya layaknya sebuah penawar akan perasaan tak tentu di hati itu. Kata-kata manis itu terasa menyejukkan jiwanya.
Namun, terselip juga perasaan cemas di hati itu. Sebab Renata merasa dirinya bukan wanita yang pantas menjadi pendamping hidup untuk Tony. Pria itu terlalu sempurna untuknya. Pria itu seperti tak memiliki celah maupun kekurangan. Sehingga membuatnya merasa minder dan tak percaya diri berada di dekat pria itu.
“Jadi, kalau kamu marah sama saya karena kejadian tadi itu saya bisa memakluminya. Saya malah senang kalau kamu marah,” kata Tony masih menggenggam jemari Renata. Senyumnya terkembang tipis menghiasi wajah tampannya. Yang membuat Renata tak berkedip memandanginya.
“Bapak aneh,” gumam Renata dengan jantung berdegup kencang. Tangannya yang digenggam Tony ditariknya kembali. Kemudian mengalihkan pandangan ke sembarang tempat demi menghindari tatapan Tony. Jujur saja ia masih bingung harus bagaimana menanggapi ungkapan perasaan pria itu.
“Ren, saya__”
“Ayah, Bunda. Dipanggil Nenek. Kata Nenek nanti supnya dingin,” ujar Dito tiba-tiba datang mengagetkan Renata dan Tony. Membuat kata-kata yang hendak diutarakan Tony berhamburan dari kepalanya.
“Mari, Pak. Sebaiknya kita makan malam dulu. Bu Ning pasti sudah nunggu di meja makan,” ajak Renata berdiri lebih dulu. Kemudian melenggang pergi ke ruang makan yang menyatu sekaligus dengan dapur. Disusul oleh Tony yang menggandeng Dito.
Renata pun akhirnya bisa bernapas lega karena bisa terbebas dari suasana canggung itu, yang membuat jantungnya tak aman lantaran degupnya yang tidak beraturan .
Terus terang saja, Renata tidak pernah membayangkan sebelumnya Tony akan berkata seperti itu padanya. Jangankan membayangkan Tony menjadi pendamping hidupnya, berharap Tony menyukainya sebagai lelaki pun Renata bahkan tidak pernah bermimpi. Renata cukup tahu diri, pria itu takkan pernah mungkin bisa digapai. Jarak diantara mereka cukup jauh membentang. Ada begitu banyak perbedaan yang tidak akan mungkin bisa menyatu. Seperti siang dan malam, selamanya tidak akan mungkin bertemu.
“Ren.” Bu Ning memanggil pelan. Lalu memberi kode melalui kerlingan mata agar Renata melayani Tony dengan baik saat mereka sudah berada di meja makan.
Renata mengerti. Segera ia mengambil piring kosong Tony yang duduk di sebelahnya, lalu mengisinya dengan nasi putih. Kemudian mengambil mangkuk kecil, mengisinya dengan sup hangat dan memberikannya pada Tony.
“Makasih, Ren,” kata Tony tersenyum tipis. Yang dibalas Renata dengan senyuman pula.
Tony pun mulai menyantap makan malamnya dengan lahap. Makan malam ini terasa begitu nikmat bagi Tony karena ada masakan Renata. Suasana di meja makan itu tampak hening sesaat. Sampai kemudian Dito memulai obrolan.
“Oh ya, Ayah, Bunda. Aku boleh tanya sesuatu tidak?” tanya Dito menghentikan makannya sejenak. Ia yang duduk di seberang memandangi Tony dan Renata bergantian.
“Boleh, dong. Dito mau nanya apa?” tanya Tony balik.
Dito menggaruk pelipis. Wajahnya serius sedang berpikir.
“Kenapa Ayah dan Bunda tidak tinggal bersama seperti teman-teman aku. Ayah dan bunda mereka tinggal serumah. Kenapa Ayah dan Bunda malah tinggalnya berjauhan?” tanya Dito kemudian.
Gerakan tangan Tony yang hendak menyuapkan makanan ke mulut terhenti seketika. Mendengar pertanyaan Dito itu tidak membuatnya terkejut. Sebab hal itulah yang ia harapkan selama ini.
Namun berbeda dengan Renata dan Bu Ningsih. Mereka cukup terkejut dengan pertanyaan Dito itu. Mereka bahkan tak menyangka Dito bisa berpikir seperti itu.
“Memangnya Dito mau Ayah dan Bunda tinggal bareng?” Dalam hatinya Tony merasa senang. Sebab jalannya akan terbuka lebar untuk bisa bersama Renata. Rupanya kesabarannya dalam penantian panjang selama empat tahun ini tidak akan sia-sia. Dito sudah memberi lampu hijau secara tak langsung.
“Mau sekali, Ayah. Aku juga mau seperti teman-teman aku. Setiap hari mereka diantar ayah bundanya ke sekolah. Trus mereka juga suka pergi liburan bareng ayah bundanya. Aku juga ingin seperti itu.”
Bu Ningsih memilih diam dan menyimak saja. Ia tak ingin ikut campur. Namun dalam hati dan doanya ia berharap, agar Dito diberi keluarga yang lengkap dan sosok seorang ayah yang baik seperti Tony.
“Dito ... Bunda hampir lupa, apa Dito ada PR dari sekolah? Udah dikerjain belum?” Renata mencoba mengalihkan pembicaraan. Ia tak ingin pertanyaan anak itu semakin aneh yang akan membuat susana terasa canggung. Padahal mereka tengah menikmati makan malam dengan perasaan senang.
Dito menggeleng. “Tidak ada, Bunda. Oh ya, Ayah ... kalau Ayah tinggal bareng Bunda, nanti kita tidurnya bisa bareng juga, kan? Aku pengen sekali tidur bareng Ayah dan Bunda,” tambahnya.
Renata salah tingkah. Benar kecemasannya, pertanyaan Dito akan semakin aneh saja. Jika sudah seperti ini, entah bagaimana ia harus menyikapinya.
Sementara Tony malah mengulum senyuman memandangi anak kecil itu.
“Benar Dito pengen Ayah dan Bunda tinggal bareng?” tanya Tony memastikan.
Dito mengangguk antusias. Sorot matanya sudah berbinar-binar. Perasaan senang terpancar dari wajah cerianya.
“Tentu saja pengen, Dong, Ayah. Nanti Ayah bacain aku cerita, ya?” pinta Dito polos.
Renata menelan ludah. Mendadak selera makannya menguap dan berganti dengan cemas. Cemas dengan tanggapan Tony terhadap permintaan aneh putranya itu.
“Baiklah. Kalau begitu Ayah minta ijin Dito untuk melamar Bunda,” ujar Tony.
Renata terkesiap. Ia sungguh terkejut mendengar keberanian Tony.
To be continued...
Lebih baik baik sangat dicintai, daripada mencintai sendirian. Sekal lagi jangan bertahu Mirza bahwa Dito anaknya
🐡🐡🐡🐡🐡🐡 untukmu thor