"Aku menyukainya. Tapi kapan dia akan peka?" ー Asami
"Aku menyukaimu, tapi kurasa orang yang kamu sukai bukanlah aku" ー Mateo
"Aku menyukaimu, kamu menyukai dia, tapi dia menyukai orang lain. Meski begitu, akan aku buat kamu menyukaiku lagi!" ー Zayyan
.
.
.
Story © Dylan_Write
Character © Dylan_Write
Cover © Canva
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dylan_Write, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Langkah Kecil Menuju Hati
Hari perlombaan yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Suasana pagi yang cerah terasa sedikit menegangkan bagi Zayyan, tapi tidak ada yang lebih mendebarkan daripada rasa antusiasnya. Sejak subuh, ia sudah bersiap-siap, memeriksa ulang semua peralatan dan memastikan semuanya dalam keadaan sempurna.
Hari ini, ia akan mengikuti lomba kompetensi sekolah untuk bidang mesin bubut, sebuah ajang yang sudah ia latih berminggu-minggu. Namun, yang lebih penting, hari ini Asami akan menemaninya.
"Asami, kamu benar-benar nggak masuk sekolah hari ini, kan?" Zayyan bertanya, sedikit khawatir saat mereka tiba di depan sekolah yang menjadi tuan rumah lomba.
Asami menatap Zayyan dengan senyum lembut. "Iya, aku udah izin ke sekolah. Aku nggak akan biarin kamu lewatkan hari penting ini sendirian."
Mendengar kata-kata itu, Zayyan merasa hatinya sedikit lebih tenang. Kehadiran Asami di sisinya adalah dukungan terbesar yang bisa ia dapatkan. Meski lomba ini sepenuhnya tentang kemampuannya, ia merasa lebih kuat dan percaya diri dengan Asami yang selalu mendukungnya.
Setelah mereka tiba, suasana di sekolah yang menjadi lokasi lomba sudah ramai. Peserta dari berbagai sekolah kejuruan lain tampak hilir mudik, saling menyapa atau berlatih di menit-menit terakhir.
Zayyan menatap mereka sejenak, perutnya mulai terasa sedikit tegang. Namun, ia segera mengingat pesan Asami: untuk percaya pada diri sendiri.
"Asami, doain aku ya. Aku bakal melakukan yang terbaik," ucap Zayyan, suaranya sedikit bergetar.
Asami tersenyum dan menepuk pundaknya. "Kamu pasti bisa, Yan. Aku yakin kamu akan melakukan yang terbaik. Nggak perlu terlalu tegang. Lakukan saja seperti saat latihan, oke?"
Zayyan mengangguk pelan. Namun, saat mereka mendekati pintu masuk menuju ke kelas dimana area lomba berada, seorang panitia menghampiri mereka.
"Maaf. Untuk hari ini, hanya peserta yang boleh masuk ke area lomba," ujar panitia dengan sopan, melirik ke arah Asami.
Asami menatap Zayyan dengan ekspresi terkejut. "Aku nggak bisa ikut masuk?"
Zayyan tampak menyesal, menggaruk kepalanya. "Sepertinya kamu harus menunggu di luar. Maaf ya, aku nggak tau kalau aturan lombanya seketat ini."
Asami menghela napas, lalu tersenyum menenangkan.
"Nggak apa-apa, Yan. Aku bisa menunggu di kantin atau di tempat lain. Kamu fokus aja di dalam. Yang penting kamu bisa konsentrasi tanpa gangguan."
Zayyan merasa sedikit bersalah karena Asami sudah rela izin sekolah untuk menemaninya, tapi ternyata tidak bisa masuk ke area lomba. "Aku janji, habis lomba aku langsung cari kamu, Asa."
Asami mengangguk. Matanya celingukan mencari sesuatu, "guru jurusan mu mana?"
"Seharusnya udah di area lomba."
"Yaudah sana masuk, nanti telat."
Zayyan mengangguk. Wajahnya menampilkan kegelisahan dan Asami memanggilnya sekali lagi, "Iyan!"
Zayyan menoleh, terkejut mendengar Asami memanggilnya dengan nama panggilan semasa SMP. Ia mendapati Asami tersenyum hangat, mencoba memberikan semangat terakhir sebelum Zayyan masuk ke area kompetisi.
"Good luck. Tunjukkan kemampuan terbaikmu!"
Zayyan mengangguk penuh keyakinan dan melangkah masuk ke area lomba.
Asami pun berbalik, berjalan menuju kantin sekolah tersebut. Di sana, Asami duduk dengan tenang, mengalihkan kecemasannya dengan membaca buku, sambil berharap yang terbaik untuk Zayyan di dalam sana.
...ΩΩΩΩ...
Di kantin yang cukup sepi, ia duduk sambil fokus membaca buku yang dibawanya, sesekali melirik jam yang seakan bergerak begitu lambat. Sudah beberapa jam berlalu sejak Zayyan memasuki area lomba, tapi belum ada kabar apa pun darinya.
Untungnya, Asami tidak sendirian. Bu Retno, wali kelas Zayyan, yang ternyata juga ikut menemani siswanya berlomba, datang menghampirinya di kantin.
Awalnya, Asami sedikit terkejut melihat Bu Retno berada di sana, tapi kemudian ia merasa lega karena setidaknya ada seseorang yang bisa diajak bicara.
"Kamu sudah lama di sini, Asami?" tanya Bu Retno sambil duduk di sampingnya.
"Iya, Bu. Sudah beberapa jam. Tapi Zayyan belum keluar juga. Katanya lomba ini memang butuh waktu lama," jawab Asami sambil tersenyum tipis.
Bu Retno mengangguk. "Lomba kompetensi teknik memang sering begitu. Apalagi mesin bubut, kan butuh ketelitian dan presisi tinggi. Biasanya prosesnya memang bisa makan waktu seharian."
Asami mengangguk, meski tidak sepenuhnya memahami seluk-beluk mesin bubut. Ia tahu lomba ini penting bagi Zayyan, dan itulah yang membuatnya rela menunggu selama apa pun.
Bu Retno kenal Asami karena Asami sering mampir ke gedung mesin menemani Zayyan latihan. Bu Retno juga salah satu guru yang akrab dengan Zayyan, jadi tidak heran jika Asami yang sering bersama Zayyan mengenal Bu Retno.
Obrolan mereka berlanjut dari hal-hal ringan seputar sekolah hingga cerita-cerita menarik tentang masa sekolah Bu Retno dulu. Asami merasa senang karena percakapan itu sedikit mengalihkan perhatiannya dari kekhawatiran soal Zayyan.
Tak terasa, waktu terus bergulir dan matahari mulai tenggelam, menandakan sore yang hampir berakhir. Sekitar pukul lima sore, seorang guru jurusan teknik datang menghampiri mereka dengan wajah lelah namun tetap tersenyum. Ia langsung berbicara kepada Bu Retno.
"Bu, perlombaan sepertinya akan selesai sekitar pukul sepuluh malam. Masih ada beberapa peserta yang belum menyelesaikan pekerjaannya," katanya dengan nada sopan.
Mendengar itu, Asami langsung merasa cemas. Ia tidak menyangka bahwa perlombaan akan berlangsung selama itu. Menunggu sampai malam bukanlah masalah besar baginya, tapi ia tahu besok ia masih harus masuk sekolah, dan tentu saja orang tuanya tidak akan suka jika ia pulang terlalu malam.
Asami menghela napas pelan. "Bu, saya akan tetap di sini sampai lomba selesai."
Namun, Bu Retno menggeleng dengan tegas. "Nggak bisa, Asami. Ini udah terlalu sore, dan lombanya baru selesai malam nanti. Saya tahu kamu ingin mendukung Zayyan, tapi besok kamu masih harus sekolah. Saya rasa lebih baik kamu pulang sekarang."
Asami membuka mulut, ingin membantah, tapi ia tahu Bu Retno benar. Ia sendiri pun merasa tubuhnya sudah sedikit lelah setelah menunggu berjam-jam. Namun, rasa tanggung jawab untuk tetap ada di sana bagi Zayyan membuatnya ragu-ragu.
"Tapi, Bu, saya ingin menunggu Zayyan sampai selesai. Dia pasti akan mencari saya setelah lomba," kata Asami pelan, matanya menunjukkan keinginan yang kuat.
Bu Retno tersenyum lembut, lalu meletakkan tangannya di bahu Asami. "Saya ngerti, Nak. Tapi, Zayyan juga pasti mengerti kalau kamu harus pulang dulu. Tugasmu sebagai siswi adalah tetap menjaga kesehatan dan tanggung jawab di sekolah. Nanti biar saya sampaikan ke Zayyan kalau kamu udah pulang lebih dulu."
Asami menunduk, berusaha menerima kenyataan itu meskipun hatinya ingin terus berada di sana. Akhirnya, ia hanya bisa menurut.
"Baik, Bu. Saya ikut pulang sekarang," jawab Asami dengan nada pasrah.
Bu Retno mengangguk puas. "Bagus. Ayo, biar saya antar kamu pulang."
Dengan perasaan campur aduk, Asami mengambil tasnya dan berjalan mengikuti Bu Retno ke mobil. Saat mereka melaju meninggalkan area sekolah, Asami menatap keluar jendela, berharap Zayyan baik-baik saja dan bisa menyelesaikan perlombaan dengan sukses.
Meskipun tidak bisa menunggu hingga akhir, dalam hatinya ia berdoa agar Zayyan bisa meraih hasil terbaik. Besok, saat bertemu Zayyan di sekolah, ia akan memastikan untuk memberi dukungan penuh.
...ΩΩΩΩ...
Keesokan paginya, Asami duduk di bangku taman sekolah, matanya terus mengawasi setiap orang yang berlalu lalang. Seharusnya Zayyan sudah tiba. Biasanya, dia selalu datang lebih awal, terutama setelah lomba kemarin. Namun, hingga bel masuk hampir berbunyi, sosok Zayyan belum juga terlihat.
Perlahan, kecemasan mulai merayap dalam hati Asami.
Apa Zayyan baik-baik saja?, pikirnya.
Mungkin lomba semalam terlalu menguras tenaganya. Atau mungkin ada sesuatu yang terjadi setelah Asami pulang lebih dulu. Pikiran-pikiran itu berputar di kepalanya, membuatnya semakin resah.
Namun, ketenangan yang sedikit tersisa segera terganggu oleh suara langkah kaki yang mendekat. Asami melirik, berharap itu Zayyan, tetapi yang muncul malah seseorang yang ingin dihindarinya—Mateo.
"Hei, Asami," sapa Mateo dengan nada meledek sambil duduk tanpa izin di sampingnya.
Asami menghela napas dalam-dalam, berusaha menahan rasa kesalnya. Mateo memang suka mengganggu dan bertindak seolah-olah tahu segalanya. Pagi itu, dia tampak lebih menyebalkan dari biasanya.
"Cowokmu mana? Tumben nggak kelihatan," tanya Mateo sambil melirik sekeliling, seolah sedang mencari sesuatu yang menarik. Senyum kecil yang terukir di bibirnya jelas-jelas menunjukkan niatnya untuk mengusik Asami.
Asami menegakkan punggungnya, berusaha tidak terpancing. "Nggak tahu. Mungkin masih istirahat setelah lomba," jawabnya datar, meski dalam hati ia sebenarnya sangat khawatir.
Mateo terkekeh, "Oh, dia ikut lomba LKS ya? Lucu juga. Biasanya kan dia selalu berusaha tampil hebat."
Asami mendengus dalam hati. Mateo memang selalu punya cara untuk membuat situasi semakin tidak nyaman. Ia tidak ingin membalas ledekan Mateo, tidak ingin menyulut api di pagi hari.
Mateo melanjutkan, "Oh iya, kamu tau kan? Hari ini ada rapat OSIS. Sebagai wakil sekretaris, kamu wajib hadir. Jangan sampai nggak muncul, Asami."
Asami hanya mengangguk tanpa minat. Rapat OSIS adalah hal terakhir yang ingin ia pikirkan saat ini, terutama dengan kekhawatirannya tentang Zayyan yang belum datang.
"Iya, Mateo. Aku tau," jawabnya singkat, berharap percakapan itu cepat berakhir.
Merasa puas dengan reaksinya, Mateo berdiri dan bersiap pergi. "Jangan telat, ya," ucapnya sebelum berlalu begitu saja, meninggalkan Asami sendirian lagi di taman.
Asami menghela napas panjang setelah Mateo menghilang dari pandangannya. Kekhawatirannya tentang Zayyan semakin kuat. Namun Asami terpaksa harus bangkit dari duduknya dan pergi ke kelas kala el masuk berbunyi dan Zayyan tidak kunjung terlihat batang hidungnya.
...ΩΩΩΩ...
Saat istirahat, Asami kembali terlelap di kelas. Hembusan angin sejuk yang menyapu wajahnya membuatnya semakin terlelap, hingga suara tawa kecil terdengar samar-samar di telinganya.
"Asami, bangun! Ada yang mau ngobrol sama kamu," suara Rara membuyarkan tidur siang singkatnya.
Dengan mata masih setengah terbuka, Asami melihat Liena, Rara, dan Maya berdiri di hadapannya, tersenyum penuh penasaran.
"Asami, aku denger kamu pacaran sama Zayyan ya?" tanya Liena dengan nada antusias sambil duduk di sebelahnya.
Asami, yang masih berusaha mengumpulkan kesadarannya, hanya bisa mengerjap bingung. "Pacaran? Siapa yang bilang begitu?"
Liena terkekeh, "Ya, kita semua denger desas-desusnya. Tapi kamu kan biasanya nggak tertarik sama hal-hal kayak gitu, makanya aku penasaran!"
Asami akhirnya duduk tegak, mengusap matanya yang masih sedikit mengantuk. "Oh, itu. Sebenarnya bukan pacaran beneran. Aku dan Zayyan cuma coba 'trial pacaran' selama tiga bulan. Bukan sesuatu yang serius."
Mendengar itu, Liena tertawa terbahak-bahak. "Trial pacaran? Kamu ini lucu banget, Asami! Siapa juga yang bikin ide sekonyol itu?"
Asami tersenyum malu, tapi ikut terkekeh. "Yah, aku cuma mau liat aja, dia gimana kalau pacaran. Kalau nggak cocok ya udah, selesai aja. Nggak ada yang rugi, kan?"
Maya dan Rara juga ikut tertawa mendengar penjelasan itu. "Ya ampun, Asami. Kamu bener-bener unik deh. Tapi gimana, udah berapa lama? Masih bertahan?" tanya Maya, penasaran.
Sebelum Asami bisa menjawab, tiba-tiba ada sosok yang muncul dari belakang mereka. "Ngomongin aku ya?"
Asami terkejut dan menoleh cepat. Zayyan berdiri di sana dengan senyum khasnya. Semua mata langsung tertuju padanya.
"Zayyan! Kamu bikin kaget!" seru Asami, tapi wajahnya tampak lega melihat Zayyan akhirnya datang.
Tanpa basa-basi, Asami langsung menyerbu Zayyan dengan pertanyaan. "Gimana lomba kemarin? Kamu belum cerita sama sekali! Aku khawatir banget."
Zayyan tersenyum tipis dan duduk di sebelah Asami. "Hasilnya belum keluar, baru sebulan lagi diumumin. Tapi ada kejadian nggak enak pas lomba."
Asami mengernyitkan dahi. "Kejadian nggak enak? Maksudnya apa?"
Zayyan menarik napas panjang. "Ada beberapa peserta yang main curang. Mereka ngambil bahan material lebih dari yang seharusnya, terus ada yang sengaja rusakin mesin lawan. Parah banget. Aku juga hampir kena kalau nggak hati-hati."
Mendengar itu, Rara, Liena, dan Maya langsung bereaksi. "Apa? Serius? Kok bisa ada yang berani curang di kompetisi kayak gitu?" seru Rara.
Maya menambahkan, "Itu udah keterlaluan! Harusnya pihak panitia lebih ketat lagi."
Liena mengangguk setuju, "Iya, lomba kan harusnya adil. Mereka yang curang kayak gitu harusnya langsung didiskualifikasi."
Zayyan mengangguk setuju. "Iya, tapi aku nggak bisa ngelakuin banyak. Cuma fokus aja ke tugas sendiri. Syukurlah mesinnya nggak rusak parah."
Asami menatap Zayyan dengan penuh empati. "Yan, aku yakin kamu pasti tetap tampil baik. Dan aku percaya, setidaknya kamu bakal masuk tiga besar."
Zayyan tersenyum kecil, lalu menatap Asami dengan penuh syukur. "Makasih, Asami. Dukungan kamu benar-benar bikin aku lebih tenang."
Asami tersenyum, hatinya lega setelah mengetahui Zayyan baik-baik saja. Meski ada kejadian yang tidak menyenangkan selama lomba, Asami tetap yakin bahwa Zayyan telah melakukan yang terbaik.
Dukungan dari teman-teman lainnya juga membantu mencairkan suasana, membuat Zayyan merasa tidak sendirian menghadapi masalah ini.
"Couple goals banget kalo diliat-liat~" Ujar Liena dengan nada jahil.
Asami gelagapan, wajahnya memerah mendengarnya, "A-apa sih, Lin..."
Sementara Zayyan justru tersenyum senang, "Doain ya jadi couple beneran."
Asami menyikut Zayyan, "kamu juga apa sih..." Zayyan tidak menjawab, hanya nyengir menunjukkan gigi-giginya.
Maya, Rara dan Liena tertawa geli melihat Asami yang tiba-tiba jadi bisa akrab dengan cowok lain padahal mereka bertiga tau, satu-satunya cowok yang Asami sukai hanyalah Mateo. Namun mereka bertiga pun salut dengan effort Zayyan sampai bisa meluluhkan hati beku Asami.
Saat bel tanda akhir istirahat berbunyi, Zayyan dan Liena pun pergi ke kelas masing-masing. Namun sebelum benar-benar meninggalkan kelas Asami, Zayyan berhenti sejenak seraya menatap Asami dari ambang pintu kelas.
"Suatu hari, aku bisa benar-benar jadi couple mu kan, Asami?"
...******...
Semangat ya🙂
pasti dia ngerasain hal itu tapi tetep berusaha buat nahan rasa sakitnya tanpa harus di luapkan.
Tak bisa berbicara juga tak ingin merasa sakit/Scowl/
semangat Zayyan kamu pasti bisa membuat Asami jatuh hati sama kamu. . .
masih jauh...saling support yaa
Ini karya pertamaku di sini. Hope this book can make all of you enjoy reading!
Masih banyak kekurangan dalam buku ini, tapi aku selalu berusaha memperbaikinya hari demi hari.
Mohon dukungannya~!
smgt thor💪