Demi kehidupan keluarganya yang layak, Vania menerima permintaan sang Ayah untuk bersedia menikah dengan putra dari bosnya.
David, pria matang berusia 32 tahun terpaksa menyetujui permintaan sang Ibunda untuk menikah kedua kalinya dengan wanita pilihan Ibunda-Larissa.
Tak ada sedikit cinta dari David untuk Vania. Hingga suatu saat Vania mengetahui fakta mengejutkan dan mengancam rumah tangga mereka berdua. Dan disaat bersamaan, David juga mengetahui kebenaran yang membuatnya sakit hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PutrieRose, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8 DUA WANITA
"Kamu ingin kita satu kamar? Satu ranjang? Dan ...."
David menjeda Ucapannya sebentar. "Satu selimut?" tanyanya sembari berjalan ke arah istrinya.
"Iya?" Ia terus mendekati istrinya, sampai langkah Vania terhenti membentur tembok. Tatapan suaminya semakin menyeramkan.
"Bu-bukankah suami istri seperti itu," ujar Vania terbata. Nafasnya tersengal-sengal seperti habis dikejar hantu. Dagunya disentuh oleh suaminya membuat darahnya berdesir hebat.
"Baiklah, aku akan mengabulkannya," kata David dan berlalu pergi begitu saja. Dan pintu ditutup dengan kerasnya. Ia ingin sekali mengejarnya tapi bodyguard yang ada di depan kamarnya selalu menghalangi.
Vania belum mendengar jawaban atas pertanyaan yang ia katakan tadi, ia masih menuntut sebuah jawaban.
Bau harum parfum yang masih tertinggal, membuat Vania tersenyum. Hanya sebentar saja ia melihat wajah suaminya, tapi ia merasa bahagia. Walaupun ia merasa dikurung, tapi ia dimanjakan seperti seorang ratu. Bahkan segala makanan yang ia minta selalu dituruti.
"Aku ingin nasi sapi lada hitam dan salad buah."
Tak berapa lama pelayan membawa pesanannya. Ia lekas memakannya dengan lahap.
"Aku mau bolu pandan dengan toping meses."
Dan permintaannya terkabul. Ia bahkan pernah asal-asalan meminta sesuatu yang menurutnya sulit tapi pelayan bisa menurutinya.
"Aku ingin makanan khas dari daerah X. Apakah bisa dibuatkan?"
"Saya akan tanyakan pada pelayan lain, Nyonya. Kalau pun tidak ada yang bisa, nanti kita pesankan di restoran yang terdapat menu itu."
Vania tertawa. "Tidak. Tidak. Aku hanya bercanda."
Sebahagia itu ternyata diperhatikan dan dipedulikan. Ia tak pernah merasakan seperti ini sebelumnya. Saat di rumah pun ia selalu dituntut mandiri. Tapi ia merasakan perbedaan dengan Sissy-adiknya, ia sepertinya lebih dimanja. Mungkin karna anak terakhir.
"Selamat malam, Nyonya Vania. Lama kita tak berjumpa." Reno tiba-tiba datang. Asisten suaminya itu selalu menampakkan wajahnya yang sumringah.
"Malam." Vania langsung berdiri saat Reno masuk ke dalam kamarnya. Para pelayan pun langsung berdiri di depan pintu.
"Saya membawa kabar baik untuk Nyonya." Ia menyembunyikan sesuatu di belakang. Lalu perlahan ia mengeluarkan tangannya yang memegang dua tiket. "Ini hadiah dari nyonya Larissa. Tiket bulan madu untuk Anda dan tuan David. Yeay, selamat berbulan madu," soraknya dengan gembira. Bahkan ia melihat wajahnya yang lebih bahagia dari pasangan yang baru saja menikah itu.
Vania tersenyum malu, ia menerima tiket itu dengan perasaan yang campur aduk. Ada rasa malu, bahagia dan kesal.
"Selamat berlibur, Nyonya," teriak Reno lagi. Dia bahkan melompat kegirangan membuat tawa Vania seketika pecah.
"Haha ... Haha ..." Vania tak bisa menahan tawanya.
Reno terdiam sejenak memandangi Vania yang tertawa lepas seperti itu. Wajahnya sampai memerah karna tertawa serenyah itu.
"Nyonya menertawakan saya?" tanya Reno masih tak mengalihkan pandangannya pada istri kedua bosnya itu.
"Kamu lucu ...." Vania sampai terduduk tak kuat dengan tawanya sendiri. "Kenapa kamu yang begitu bahagia dibanding aku?"
Reno tersenyum. "Bagaimana saya tidak bahagia, Nyonya. Jika tuan pergi bulan madu dengan Anda itu artinya ada hari bebas untuk saya. Tuan David tidak memerintah saya sebebasnya nanti. Hahaha ....." Reno gantian tertawa. Karna ia bisa merasakan kehidupan yang seperti manusia lainnya rasakan.
"Ohh, begitu ...."
"Hm. Tidak. Tidak. Tidak begitu, Nyonya. Saya bahagia kalau tuan dan Nyonya bahagia," ralatnya kemudian. "Saya permisi, Nyonya." Reno pun pamit pergi.
Saat baru saja Reno menghilang dari pandangannya, ia baru sadar akan sesuatu.
"Seharusnya aku menanyakan pertanyaan itu pada Reno saja. Ahh, aku telat!"
Lembaran tiket itu ia pegang, lantas membayangkan akan apa yang terjadi nanti.
"Apa dengan ini David akan melihatku sebagai seorang istri?" Vania sepertinya tertarik dengan David dari sejak awal pandangan pertama mereka bertemu. Ia telah jatuh hati pada sosok dinginnya itu.
***
Gerak tangan memainkan sebuah pulpen tak berhenti sejak tadi. Pikirannya terasa berkecamuk dengan apa yang sedang dipikirkan. Banyak sekali hal-hal yang masuk ke dalam pikirannya. Sesekali ia mendesah dan menghembuskan nafasnya seakan lelah.
"Tuan, masih aman, kan?" tanya Reno seperti menyindir. "Apa saya perlu siapkan obat untuk Anda nanti?"
"Sialan!!!!" Ia melemparkan pulpen tepat mengenai tubuh asistennya. David paham arah dari pertanyaan asistennya tersebut.
"Eitsss. Kenapa marah, Tuan? Saya hanya peduli dengan Anda. Takut Anda tidak kuat jika harus meladeni dua wanita sekaligus." Kini tawa Reno tak bisa ditahan. Ia tertawa terbahak-bahak dan David sudah siap-siap melemparkan pukulan.
"Beib! Are you okay?" Karina langsung menarik David. "Ada apa?" tanyanya khawatir karna tak biasanya David terpancing emosi seperti itu.
"Nyonya, tidak apa-apa. Kita hanya bercanda," ujar Reno sembari mengibaskan tangannya.
"Tak peduli hubungan kalian sebagai atasan dan bawahan atau pun sebagai seorang teman, tapi jika sudah main fisik itu gak dibenarkan. Dan beib! Tahan emosi kamu, bicarakan baik-baik kalau Reno memang salah." Ucapan Karina begitu dewasa, Reno sampai terpana mendengarnya. Ternyata dibalik kegalakannya, Karina adalah wanita yang dewasa.
"Sayang, aku hanya bercanda dengan Reno. Kenapa kamu malah belain dia." David tiba-tiba kesal dan memilih masuk ke dalam kamar pribadinya.
"Maaf, Nyonya." Reno meminta maaf sembari menunduk.
"Hemm ..." Karina langsung menghampiri David. Ia lihat suaminya berbaring dengan wajah ditutupi bantal. "Beib. Jangan seperti ini. Aku tadi melihat kamu sepertinya emosi banget, makanya aku pisahin. Sorry, aku gak tau kalau kamu sedang bercanda."
David merasakan sesuatu yang kenyal diarea perutnya, dia paham apa yang berada di atas perutnya itu. "Sayang ...." Ia mengerang, jika sudah seperti itu David tak bisa menahan.
Bantal untuk menutupi wajahnya tadi langsung ia buang ke lantai. Dan langsung menindihi Karina, kini posisi mereka berbalik. David di atas dan Karina di bawah.
"Kamu selalu membuatku—" David tak bisa menahan betapa menggodanya bibir milik istrinya yang semerah buah naga. Ia melahap habis bibir milik istrinya yang juga pandai memainkan lidahnya.
Mereka menghabiskan jam kantor hanya untuk bercinta. "Beib, pekerjaanmu gimana?"
David tak mau menjawab, ia melanjutkan aksinya untuk menuntaskan hasratnya. Tak peduli akan sebanyak apa pekerjaannya dan juga permasalahan soal keluarganya.
Saat mereka sudah sama-sama puas, Karina lebih dulu terlelap. Sedangkan David masih terjaga.
"Bagaimana rasanya nanti bermain ranjang dengan Vania?"
Tiba-tiba terlintas pikiran kotor itu. Entah kenapa ia jadi membayangkan soal Vania.
"Tidak. Tidak. Kamu tidak boleh melanggar janjimu sendiri. Karina lah wanitamu."
Tapi memang benar sedari tadi yang ia pikirkan adalah soal bulan madu bersama Vania. Itu atas permintaan Larissa, tentu ia tak bisa menolak. Apalagi hubungan mereka masih tidak baik. Jika dia mengakali untuk tidak berbulan madu pasti akan ketahuan juga. Dan ia tak mau menambah masalah lagi dengan Mamanya. Ia sedang cari cara untuk menyembunyikan rencana bulan madu dengan Vania tanpa Karina tahu. Ia tak boleh ceroboh.
"Beib, kamu tidak sedang memikirkan istri keduamu, kan?" Karina tiba-tiba terbangun dan merangkul pinggangnya.