"Pergi kamu! Jangan pernah datang ke sini lagi! Bapak dan ibuku bukanlah bapak dan ibu kamu!" usir kakak sulungku yang ucapannya bagaikan belati menusuk hati, tapi tidak berdarah.
Kakak kandungku mengusir aku yang datang menemui bapak dan ibu kandungku, tapi bapak dan ibuku hanya diam tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Inilah kisahku. Kisah seorang gadis yang terjebak dalam konflik keluarga. Memaksa diriku yang masih kecil berpikir dewasa sebelum waktunya.
Aku berusaha menjalani hidup sebaik yang aku bisa dan melakukan apapun semampuku. Selalu berusaha berpikir positif dalam setiap masalah yang menderaku. Berjuang keras menahan semua penderitaan dalam hidupku. Berusaha tetap tegar meskipun semua yang aku hadapi tidak lah mudah.
Bagaimana caraku, menghadapi kemelut dalam keluargaku yang berpengaruh besar dalam hidupku?
Yuk, ikuti ceritaku!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32. Pelampiasan
Aku tertegun tanpa kata, aku tak menyangka Kak Lena mengusir aku di depan Kak Fauzan, Kak Seruni, Kak Atin, bahkan di depan kedua orang tua kandung kami sendiri.
Entah mengapa tiba-tiba Kak Lena bersikap seperti ini. Apa karena aku lebih memilih tinggal bersama nenek daripada tinggal bersama ibu dan bapak? Apakah karena itu Kak Lena mengatakan bahwa bapak dan ibu bukan orang tuaku? Aku benar-benar tak tahu apa alasan Kak Lena terlihat begitu marah dan membenci aku.
Kak Lena mengusir aku dengan suara lantang di depan kedua orang tua kandung kami. Kakak kandungku mengusir aku yang datang menemui bapak dan ibu kandungku, tapi mirisnya bapak dan ibuku hanya diam tanpa mengucapkan sepatah katapun. Bapak dan ibu sama sekali tidak menegur Kak Lena.
Salahkah jika aku berharap bapak atau ibu berkata, "Len, jangan seperti itu. Indah adalah adikmu," kata ini yang aku harapkan keluar dari mulut bapak atau ibuku untuk membelaku.
Namun nyatanya tidak ada. Itu hanya harapanku semata yang nggak mungkin menjadi nyata.
"Pak, Bu, aku pulang," ucapku beranjak menghampiri bapak dan ibuku, sedangkan Kak Lena langsung masuk ke dalam rumah.
Nyatanya aku masih berharap bapak dan ibu mencegah aku untuk pulang. Tapi tidak. Tidak ada kata yang terucap dari mulut bapak dan ibu saat aku pamit pulang. Bahkan mereka hanya diam saat aku menyalami dan mengecup punggung tangan mereka.
"Kami pamit, pulang Paman," Kak Fauzan, Kak Seruni dan Kak Atin juga pamit pulang. Mereka sepertinya juga syok dengan sikap Kak Lena barusan.
Sungguh menyedihkannya aku yang melangkah keluar dari rumah kedua orang tuaku ini. Karena aku masih berharap bapak dan ibu memanggil aku atau mengatakan sesuatu padaku.
Tapi sekali lagi tidak. Bahkan ibu dan bapak tidak mengantar kepergianku. Sungguh aku merasa benar-benar tidak diinginkan dan tidak berarti bagi bapak dan ibuku.
Aku bergegas meraih sepedaku dengan mata yang sudah berembun. Mati-matian aku menahan agar butiran kristal bening ini tidak jatuh dari pelupuk mataku.
"Ayo, Kak!" ucap ku pada Kak Atin. Aku sudah siap mengayuh sepedaku.
"Iya," sahut Kak Seruni bergegas naik ke boncengan sepedaku dan aku pun langsung mengayuh sepedaku.
"Sabar, In! Mungkin mereka hanya salah paham sama kamu. Jangan tanam kebencian di hati, kamu, ya?" ucap Kak Fauzan mengayuh sepeda di samping sepedaku.
"Biar bagaimanapun, mereka adalah bapak dan ibu kamu. Mereka adalah keluarga kandungmu," imbuh Kak Seruni.
"Sabar, In," ucap Kak Atin yang aku bonceng seraya mengusap punggungku.
"Iya," hanya satu kata itu yang keluar dari mulutku.
Namun air mataku menetes tanpa bisa aku bendung lagi. Ya, Allah...aku benar-benar sedih dan hatiku benar-benar hancur. Aku benar-benar tidak menyangka akan diusir oleh kakak kandungku dan kedua orang tuaku hanya diam menyaksikannya.
Mereka semua memperebutkan aku, seolah aku sangat berarti bagi mereka. Tapi nyatanya setelah itu mereka mengabaikan aku, tidak menganggap keberadaan ku.
Tidak ada lagi yang bisa aku harapkan dari mereka semua. Hanya Kak Fauzan dan Kak Seruni yang mengerti aku. Tapi, sayangnya aku juga nggak mungkin bergantung pada mereka yang masih tinggal bersama orang tua karena belum memiliki rumah sendiri.
Sekarang aku harus mengandalkan diriku sendiri. Aku ingin cepat lulus sekolah dan mencari pekerjaan, agar aku bisa menghidupi diriku sendiri tanpa bergantung pada siapapun.
*
"Kak, bisa potong rambut, 'kan?" tanyaku pada kakak kandung Kak Atin, yaitu kak Jia yang usianya lebih tua dari Kak Seruni.
"Bisa. Kamu mau merapikan rambut kamu?" tanya Kak Jia.
"Aku ingin memotong rambutku. Kakak bisa memotong rambut model cowok, nggak?" tanyaku seraya membuka kunciran di rambutku.
"Hah? Potongan model cowok?" tanya Kak Jia nampak terkejut.
"Iya, Kak," sahutku tanpa ragu.
"Kamu yakin?" tanya Kak Jia nampak belum percaya.
"Yakin, Kak," ucap ku serius.
Pasalnya dia sangat tahu, kalau dari kecil sampai SD kelas 6 rambutku selalu di potong Bob. Dan sejak SMP kelas satu sampai sekarang, aku hanya memotong rambut untuk diratakan doang. Rambutku sejak SMP kelas 9 sudah panjang sepinggang.
Tahu, "kan, rambut model Bob?
Potongan rambut bob adalah sebuah model potongan rambut pendek hingga sedang, di mana rambut biasanya dipotong lurus di sekitar kepala dengan tinggi setara rahang, sering kali dengan sebuah pinggiran (atau "poni") di depan.
"Nggak sayang, nih,? Rambut kamu sudah panjang banget, loh! Diratakan juga udah bagus, meskipun agak merah. Orang harus beli pewarna rambut agar rambut mereka jadi merah atau pirang. Lah, rambut kamu udah kemerahan alami tanpa diwarnai," celetuk Kak Jia terkekeh kecil.
"Yakin, Kak. Potong aja kayak potongan cowok," ucapku tetap dengan pendirianku.
"Ya, sudah. Kak potong beneran, ya? Jangan nyesel, loh!" ucap Kak Jia mulai menyiapkan peralatan untuk memotong rambutku.
"Nggak bakal, Kak," ucap ku yakin.
Beberapa menit kemudian rambut ku sudah pendek kayak cowok. Dari panjang sepinggang, lalu dipotong kayak cowok, kepalaku auto jadi enteng dan leherku jadi dingin.
"Sudah selesai. Ini bakal lama buat panjangin lagi, In," ucap Kak Jia.
"Nggak apa-apa, Kak," sahutku menghela napas panjang.
Sebenarnya aku memotong rambutku untuk melampiaskan rasa frustrasi ku karena masalah yang akhir-akhir ini menderaku. Namun aku yakin tidak ada yang tahu tentang hal ini kecuali Kak Fauzan dan Kak Seruni. Karena hanya mereka yang peduli padaku.
Setelah kejadian itu, aku dengar orang tuaku pindah rumah lagi dan kali ini aku dengar mereka pindah cukup jauh, sekitar dua jam perjalanan jika di tempuh menggunakan bus.
Aku tidak ingin memikirkan hal itu lagi. Aku memilih lebih fokus pada sekolahku agar bisa lulus dan segera mencari pekerjaan, supaya aku bisa menghidupi diriku sendiri tanpa harus bergantung pada siapapun.
*
Zayn mengajak geng kami untuk belajar bersama. Tentu saja aku langsung setuju, demikian pula dengan Khaira, Yoga dan Cempaka. Namun ada satu tambahan orang dalam geng kami, yaitu Ari.
Kami berenam pergi ke alun-alun kota di bagian yang sepi dari kunjungan orang-orang. Tempat yang tidak terlalu jauh dari sekolah kami. Zayn memberikan meja belajar yang bisa di lipat pada kami semua agar mudah dibawa dan nyaman saat dipakai untuk belajar di mana saja. Zayn juga membelikan cemilan untuk kami semua. Teman kami yang satu ini memang sangat tampan, dermawan dan baik hati.
Yoga nampak menatap ke arah sekitar tempat kami berada, lalu duduk bersebelahan dengan Ari menghadap mejanya dan bersiap untuk belajar. Aku duduk bersebelahan dengan Cempaka. Dan Zayn, tentu saja ia duduk di sebelah Khaira. Bahkan sepasang kekasih itu duduk saling menempel.
Aku, Yoga dan Cempaka sudah mengetahui tentang hubungan mereka berdua, jadi kami sudah tidak merasa heran lagi. Bahkan kami sudah sering melihat kemesraan sepasang kekasih itu.
Namun tidak dengan Ari yang belum mengetahui bahwa Zayn dan Khaira sudah resmi berpacaran. Ari mengernyitkan keningnya menatap keduanya, mungkin Ari tahunya Khaira pacaran dengan seorang pemuda tampan yang pernah di hebohkan oleh teman-teman sekelas kami.
"Aku sudah mengumpulkan soal-soal ujian yang kemungkinan akan keluar dalam ujian tahun ini. Aku sudah mengirimnya ke Ari dan Cempaka," ucap Zayn yang sudah membuka laptopnya. Demikian pula dengan Ari dan Cempaka. Laptop kami hanya ada tiga. Zayn dengan Khaira, Ari dengan Yoga dan aku bersama Cempaka.
"Terus, sistem belajarnya gimana, Zayn?" tanya Khaira yang sebenarnya juga ingin aku tanyakan dan mungkin juga ingin ditanyakan Cempaka, Yoga dan Ari.
"Sistemnya, kita mengerjakan lima puluh soal dalam satu mata pelajaran, lalu kita koreksi jawaban kita dengan kunci jawaban yang aku miliki," jelas Zayn.
Setelah mendengar penjelasan Zayn, kami pun mulai mengerjakan soal yang sudah diberikan Zayn.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
trus kabarbindah yg dijodohkan dan udah nikah bagaimana ??
apa akan di lanjutkan di cerita indah yg sudah dewasa nanti ??
terimakasih author.ditunggu karya berikutnya