Marsha Aulia mengira, ia tidak akan pernah bertemu kembali dengan sang mantan kekasih. Namun, takdir berkata lain. Pria yang mengkhianatinya itu, justru kini menjadi atasan di tempatnya bekerja. Gadis berusia 27 tahun itu ingin kembali lari, menjauh seperti yang ia lakukan lima tahun lalu. Namun apa daya, ia terikat dengan kontrak kerja yang tak boleh di langgarnya. Apa yang harus Marsha lakukan? Berpura-pura tidak mengenal pria itu? Atau justru kembali menjalin hubungan saat pria yang telah beristri itu mengatakan jika masih sangat mencintainya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Five Vee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Akan Memberitahunya Nanti.
Rafael menuruni anak tangga sudah siap untuk pergi ke kantor. Pagi ini, ia ada rapat penting dengan para Manager di perusahaannya.
“Paapaa.” Teriakan Safa membuat langkah Rafael terhenti. Pria muda itu kemudian menekuk satu lulut, dan membuka kedua tangan. Safa pun menghambur kedalam dekapan sang papa.
“Selamat pagi, papa.” Ucap Safa sembari mengecup pipi sang papa.
Sandra pun mengikuti dari belakang dengan kursi rodanya.
“Tumben kamu bangun pagi?” Tanya Rafael sembari menggendong Safa menuju ruang makan.
“Kata mama aku mau sekolah. Jadi halus bisa bangun pagi.” Ucap Safa. Ia melingkarkan kedua tangan pada leher Rafael.
“Anak pintar. Kamu harus rajin bangun pagi.” Rafael mendudukkan sang putri di atas kursi khusus untuk balita.
“Oke papa.”
“Tolong siapkan sarapannya, bi.” Pinta Rafael pada bibi Rita. Wanita paruh baya itu pun melakukannya.
“Biar aku saja, bi.” Tangan Sandra terulur hendak meraih piring.
“Biarkan bibi saja. Kamu bisa menuangkan air untukku dan Safa.” Perintah Rafael.
Sandra pun mengangguk patuh. Ia tidak ingin membuat pria itu kesal. Kehadiran Safa di tengah mereka pagi ini membuat suasana sedikit mencair.
“Kamu juga ikut makan.” Rafael kembali berbicara saat bibi menyerahkan sepiring nasi goreng pada pria itu.
“Iya, Raf.”
Keluarga kecil itu pun menikmati sarapannya dengan tenang. Sesekali terdengar celotehan Safa, yang sedang menikmati semangkuk sereal.
“Mau ikut papa kelja.” Ucap gadis itu saat Rafael berpamitan untuk pergi.
“Tidak hari ini, sayang. Papa ada rapat.” Rafael meraih tubuh sang putri. Menggendongnya kemudian berjalan keluar dari ruang makan.
Sandra kembali mengekori. Ia tak banyak berbicara. Wanita itu juga tak membahas tentang lilin ulang tahun yang ditemukan di ruang kerja sang suami.
Ia sudah lelah meributkan mantan kekasih Rafael, yang entah berada dimana.
“Mau ikut.” Safa mulai merengek. Gadis itu selalu ikut Rafael ke kantor di hari Sabtu karena pria itu hanya bekerja setengah hari.
“Bukan hari ini. Ini masih hari Selasa.” Rafael memberikan pengertian. “Kamu di rumah bersama mama. Hari Sabtu nanti papa akan membawamu.” Rafael mengecup pipi Safa. Gadis itu pun membalasnya.
“Aku pergi dulu.” Ucapnya di depan kursi roda Sandra sembari menurunkan Safa.
“Hati-hati, Raf.” Pesan wanita itu.
“Hmm.”
\~\~\~
Setelah mengetahui Marsha bekerja di restoran hotel, di jam makan siang Aldo pun memilih makan di tempat itu.
Hal yang tidak biasa, membuat para pekerja di restoran menjadi sedikit tegang, karena sang asisten General Manager sedang duduk santai menunggu pesanan makanannya tiba.
“Tumben pak Aldo makan sendirian disini. Biasanya kalau sedang menjamu klien saja.” Ucap salah seorang pramusaji, berbisik kepada bartender yang sedang meracik minuman.
“Iya. Mungkin sedang menunggu klien.” Jawab bartender yang seorang pria itu.
Kepala pramusaji itu menggeleng pelan. “No. Pak Aldo sendiri, dia cuma memesan satu porsi makanan.”
Sementara, Aldo tak menanggapi bisik-bisik bawahannya. Ia tahu mereka sedang membicarakannya, karena saat mengobrol, sesekali dua orang itu melihat ke arahnya.
Aldo fokus menatap ke arah dapur. Restoran itu mengusung konsep ‘Open Kitchen’—konsep dapur di dalam sebuah restoran yang sengaja ditata secara terbuka sehingga pengunjung bisa melihat secara langsung bagaimana proses memasak makanan.
Ia mengamati pergerakan Marsha. Gadis itu nampak lincah, berpindah dari satu sisi dapur ke sisi lainnya. Ia juga membantu menata makanan di atas piring, kemudian menyerahkan kepada para pramusaji, untuk di hidangkan ke meja tamu.
“Aku tidak bisa bayangkan bagaimana reaksi Rafael kalau tahu kamu disini.” Aldo menyunggingkan sudut bibirnya.
Selama ini, ia tahu bagaimana menggilanya Rafael. Kepergian Marsha membuat sikapnya berubah drastis.
Sementara itu, di dalam dapur yang terbuka. Seorang koki menyadari tatapan Aldo yang terus saja tertuju ke arah tempatnya bekerja.
“Pak Aldo sepertinya memperhatikan kita. Apa jangan-jangan dia di tugaskan untuk memantau kita disini?” Monolognya, namun di dengar oleh Marsha yang sedang mencicipi saos barbeque di belakang koki pria itu.
“Ada yang salah, pak?” Tanya Marsha dengan sopan. Meski jabatannya lebih tinggi, namun usia koki itu lebih tua darinya.
“Itu, Chef. Pria muda yang duduk di table 8.” Koki itu menunjuk dengan dagu. Karena kedua tangan sedang sibuk memegang wajan dan spatula.
Marsha melihat ke arah pandang koki itu. Ia mendapati asisten General Manager sedang menatap ke arah mereka.
“Pak Revaldo?” Gumamnya.
Koki pria itu mengangguk. Lalu menuangkan tumisan sayur rebus ke atas piring. Kemudian seorang koki lain datang membawa potongan daging sapi yang telah di panggang, dan meletakan di atas tumisan sayur itu.
Marsha menuangkan saos barbeque ke dalam mangkok kecil. Lalu menyajikan di samping potongan daging tadi.
“Sepertinya gerak gerik kita sedang di awasi, Chef. Karena dia tidak pernah makan disini sendirian. Biasanya kalau sedang menjamu klien atau bersama General Manager.”
Marsha kembali melihat ke arah meja Aldo. Pria itu terlihat menyunggingkan sudut bibirnya.
“Silahkan, pak. Selamat menikmati makan siangnya.” Pramusaji yang tadi bisik-bisik dengan rekan kerjanya datang membawa pesanan makanan pria itu.
Aldo mengangguk sembari mengucapkan kata terimakasih.
Baru memakan satu potong daging, ponsel pria itu bergetar. Menampakkan nama sang atasan di layarnya. Aldo pun menjawab panggilan itu.
“Ya, bos?” Tanyanya. Satu tangannya bergerak menusuk tumisan sayur dengan garfu, kemudian melahapnya.
“Kamu dimana?” Tanya Rafael.
“Aku sedang makan siang di restoran hotel. Ada yang bisa aku bantu?” Tanya Aldo lagi. Sesekali pria itu kembali menatap ke arah dapur.
“Restoran hotel? Tidak biasanya. Apa kamu bersama klien?” Suara Rafael terdengar tak percaya.
“Tidak. Hanya saja, aku sedang enggan pergi keluar. Jadi, tidak ada salahnya makan disini. Lagi pula, makanan kita tak kalah enaknya dengan restoran bintang lima.” Tatapan Aldo berpindah pada potongan daging sapi di atas piring. Sungguh panggilan telepon dari Rafael sangat menganggu makan siangnya.
Rafael terdengar berdecih. “Aku dengar Staff dari cabang Bali sudah datang. Apa kamu sudah melihat mereka?”
Aldo mengangguk, namun kemudian ia berdecak karena Rafael tak mungkin melihatnya.
‘Apa Rafael tidak melihat nama-nama Staff dari Bali?’
“Mereka sudah mulai bekerja sejak kemarin, bos. Karena itu, hari ini aku ingin melihat secara langsung kinerja mereka.” Aldo memberikan sebuah alasan.
“Mereka sudah berpengalaman bukan? Kenapa harus kamu awasi? Yang datang selalu para Staff senior. Bukan pekerja magang.”
Aldo menggaruk keningnya. Ternyata alasan yang ia berikan tak serta merta membuat Rafael percaya.
“Ya. Tetapi beberapa dari mereka, ada yang baru pertama bekerja disini. Siapa tahu belum bisa beradaptasi.” Ia kembali berkilah.
“Apa jangan—
“Bos. Maaf. Aku mau melanjutkan makan siangku dulu. Jika lebih lama, makan daging wagyu ini aku menjadi alot.” Aldo memotong ucapan sang atasan. Ia tahu, Rafael sekarang pasti sedang mengumpatnya.
“Baiklah. Lanjutkan makan mu.”
Aldo membuang nafas kasar. Kemudian meletakkan ponselnya di atas meja.
“Aku akan memberitahunya nanti. Marsha ada disini. Dan dia pasti akan semakin menggila.”
mungkin itu jg yg membuat banyak orang tidak bisa hidup damai, karena sakit hati harus dibalas dengan sakit hati jg.. 🤦🏻♂️
.
cerita nya bagus, keren 👍
secangkir kopi buat author ☕