Putri Kirana
Terbiasa hidup dalam kesederhanaan dan menjadi tulang punggung keluarga, membuatnya menjadi sosok gadis yang mandiri dan dewasa. Tak ada waktu untuk cinta. Ia harus fokus membantu ibu. Ada tiga adiknya yang masih sekolah dan butuh perhatiannya.
"Put, aku gak bisa menunggumu tanpa kepastian." Satu persatu pria yang menyukainya menyerah karena Puput tidak jua membuka hati. Hingga hadirnya sosok pria yang perlahan merubah hari dan suasana hati. Kesal, benci, sebal, dan entah rasa apa lagi yang hinggap.
Rama Adyatama
Ia gamang untuk melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan mengingat sikap tunangannya yang manja dan childish. Sangat jauh dari kriteria calon istri yang didambakannya. Menjadi mantap untuk mengakhiri hubungan usai bertemu gadis cuek yang membuat hati dan pikirannya terpaut. Dan ia akan berjuang untuk menyentuh hati gadis itu.
Kala Cinta Menggoda
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Nia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. Fakta Mengejutkan (2)
Ratna masuk ke dalam kamar. Membawa segelas minuman sari jahe permintaan suaminya. Setelah sarapan bersama, Krisna pamit pergi ke kamar dari kumpulan keluarga. Dengan alasan tidak enak badan, masuk angin.
"Papi serius kan tadi bicara depan Ibu?" Ratna menyimpan gelas di nakas. Duduk di sisi sang suami yang sedang menatap layar ipad.
"Yang mana?!" Menyahut tanpa mengalihkan tatapannya dari layar, mengecek email yang masuk.
"Bakalan sering nengokin Ibu, seperti dulu lagi. Dulu kita bisa pulkam dua bulan sekali. Tapi udah hampir 7 tahun kita mudik jadi gak tentu. Malah makin ke sini jadi mudik pas mau lebaran aja. Apalagi mudik ke keluarga Papi di Surabaya, gak pernah lagi. " Seperti mendapatkan sebuah jalan, Ratna mencurahkan unek-uneknya. Ia bukannya tak pernah mengajak, tapi selalu saja kata sibuk menjadi alasan.
Krisna menyimpan ipadnya. Beralih mengusap-ngusap bahu sang istri. "Iya, sekarang kapanpun Mami mau mudik tinggal bilang aja. Tapi situasional ya! Jangan ditarget dua bulan sekali."
"Ke Surabaya mau ke siapa? kan orangtua udah meninggal. Keluarga kebanyakan tinggal di Jakarta juga. Sering ketemu kan?!" Lanjut Krisna.
"Ya kan kita bisa ziarah ke makam beliau. Terus masih ada keluarga Pakde juga."
"Kalau pas kerjaan ke Surabaya, Papi suka mampir kok. Sudahlah, yang paling penting sekarang turuti keinginan Ibu," pungkas Krisna tak ingin berlarut-larut membahas.
"Baiklah...." Ratna tersenyum lebar. Sudah senang permintaannya dikabulkan. "Diminum dulu, Pi....mumpung hangat," ia mengambil lagi gelas yang ada di nakas. Menyerahkannya pada sang suami.
"Rama protes. Kenapa Zara diajak ke sini." Ratna memperhatikan wajah Krisna. Usia kepala lima tidak menyurutkan ketampanannya. Ditambah kacamata baca yang bertengger di hidung mancungnya, menambah kesan wibawa dan matang.
"Biar mereka makin deket, Mi. Karena Rama masih butuh waktu buat bisa menerima Zara," Krisna beralasan.
Ratna menghela nafas panjang. "Rama tidak menyukai Zara. Mami sudah coba bujuk Rama dengan halus, tapi gak berhasil. Sebaiknya biarkan dia mencari jodohnya sendiri, Pi. Jangan kita atur," ujarnya mencoba membujuk sang suami yang menjadi inisiator perjodohan ini.
"Mami lupa? Anak kita udah dikhianati Karen, wanita pilihannya. Padahal mereka akan segera menikah begitu Rama pulang dari Amerika."
"Milih sendiri gagal. Makanya Papi pilihkan dia jodoh aja. Zara anak tunggal dari keluarga baik-baik. Wajarlah kalau sifatnya manja nanti juga kalau sudah menikah pola pikirnya akan berubah. Asal Rama nya bisa sabar."
Ratna terdiam. Suaminya begitu keukeuh memaksakan pilihan. Sampai rela dijauhi anaknya sulungnya sendiri. Sementara ia memperhatikan Rama yang nampak tidak bahagia dengan pertunangan itu. Lagi, hanya bisa menghela nafas panjang. Dilema.
"Mami kalau mau sama Ibu dulu gak papa. Papi di sini aja, mau istirahat dulu."
Ratna mengangguk setuju. Beranjak keluar dari kamar dan menutupkan pintu rapat-rapat.
Krisna menghembuskan napas kasar sepeninggalnya sang istri. Sebenarnya ia tidak benar-benar kurang enak badan. Hanya alasan saja untuk mengurangi intensitas obrolan dengan sang mertua.
Maafkan aku, Ratna...
Maafkan aku, Ibu...
Diusapnya wajah dengan kasar. Mendadak kepalanya berdenyut karena memikirkan sesuatu.
.
.
"Sayang....bosen!" Zara merajuk. Rama anteng sendiri dengan laptopnya. Begitu juga Cia yang berkutat dengan laptop, memilih sambil telungkup di karpet mendekap bantal sofa. Ia sendiri sudah bosan memainkan ponsel, update status, hunting barang online, tak ada lagi yang bisa dikerjakan karena tidak punya pekerjaan. Mengandalkan orangtua yang selalu mencukupi apapun keinginannya.
"Sayang...jalan-jalan yuk!" Karena Rama tak juga merespon, Zara beralih duduk mendekat rapat dan merangkum bahu Rama.
Rama terpaksa menghentikan ketikannya. Bergeser duduk memberi jarak agar Zara tak menempel lagi.
"Aku lagi kerja, Zara. Plis jangan ganggu!" Bahkan Rama meminta tunangannya itu pindah lagi duduknya.
"Tapi aku bosen, sayang." Lagi, Zara merajuk. Bukannya pindah, malah menyandarkan kepala di bahu Rama.
Dengan halus Rama menegakkan bahu Zara agar tak lagi menempel padanya. Untung saja masih punya stok kesabaran menghadapi gadis manja itu. Entah sampai kapan.
"Harusnya kamu gak ikut. Aku di sini untuk kerja, gak bisa nemenin jalan-jalan." Rama menahan kekesalan yang mulai menyeruak. Baru pertama kali, menjalani sebuah hubungan malah merasa tertekan bukannya bahagia.
"Aku kan care sama Cia, plus kangen kamu juga." Zara tersenyum manja. Namun senyumnya memudar saat melihat jari manis Rama tanpa cincin.
"Sayang...cincinnya mana? Kenapa gak dipake?" Bibirnya cemberut. Sudah kali ke berapa ia melihat jari manis Rama tanpa cincin. Membuatnya tidak suka dan cemburu. Tunangannya yang tampan itu bisa menjadi bahan lirikan kaum perempuan di luar.
"Lupa. Ketinggalan di Jakarta." Rama mematikan laptopnya. Sudah tidak mood untuk melanjutkan pekerjaan karena Zara tak berhenti bicara. Memilih bangkit dan meninggalkan ruang keluarga. Butuh minuman dingin untuk menyegarkan tenggorokan dan pikirannya.
"Kak Zara!" Cia memanggil. Menahan langkah Zara yang akan menyusul Rama. Melambaikan tangan agar mendekat padanya.
Cia beralih duduk sila saat Zara mendekatinya.
"Kak, saran aku ya. Ngadepin Kak Rama itu harus tahu watak. Dia itu moody, jadi kalau dia bilang jangan ganggu, ya jangan ganggu apalagi maksa. Harusnya Kak Zara belajar gimana cara ambil hatinya Kak Rama."
"Maaf ya Kak, bukannya mendikte. Aku gerah liat kalian gak pernah klik." Pungkas Cia yang dari tadi merasa terganggu dengan tingkah Zara yang berisik dan lebay.
"Iya deh." Zara menjawab singkat. Ia sendiri paling anti dinasehati dan diatur. Kalau di rumah pasti akan menjadi uring-uringan dan siapapun akan kena semprot sebagai pelampiasan. Tapi karena Cia adiknya Rama, ia terpaksa mengalah meski gondok.
Suara notif pesan terdengar. Rama mengeluarkan ponsel dari saku celana pendeknya. Beralih duduk di bangku halaman belakang menghadap tanaman aneka sayuran. Sekilas tadi melewati mushola, terlihat Enin sedang melaksanakan shalat Duha. Soft drink yang baru diteguknya disimpan di sisinya.
Keningnya mengkerut. Damar mengirimkan foto tanpa tulisan. Membuatnya sedikit lambat memahami maknanya. Foto aktifitas karyawan dan pengunjung di lantai satu. Barulah matanya membelalak saat fokus melihat sosok wanita dengan rambut terurai sedang berdiri tersenyum menunjuk display keramik.
"Puput kan?!" Lirih Rama masih tak yakin. Di zoom lagi untuk meyakinkan penglihatannya.
Puput lagi beli keramik?!
Rama mendesah kecewa. Andainya hari ini datang ke RPA pasti bisa ketemu dan mungkin bisa mengajaknya makan siang. Tiba-tiba bahagia menyeruak bisa melihat Puput meski lewat foto.
Panggilan kepada Damar sudah terhubung namun belum dijawab. Rama menempelkan ponsel lekat di telinga sambil berjalan bolak balik.
"Hallo---"
"Bro, itu Puput kan?!" Rama langsung menyambar dengan penuh antusias. Rasa kesal terhadap Zara menguap seketika berganti semangat.
"Iya, ternyata dia-----"
"Kasih diskon 30%, bro. Untuk semua belanjaan Puput. Cepet bilangin ke manajer agar diurus, keburu Puput ke kasir." Rama memotong ucapan Damar.
"Kemarin dia gak mau nerima duit hadiah dari gue. Jadi sekarang gantinya gue kasih diskon belanja. Gak apa-apa bilangin aja gie ownernya. Biar jadi surprise buat Puput." Ujar Rama begitu menggebu.
Hening.
Damar di sebrang sana tidak bersuara.
"Mar, lo denger?!" Rama meninggikan suaranya.
"Ha ha ha----" Bukannya menjawab malah terdengar Damar tertawa lepas.
"Heh, lo malah ketawa. Apanya yang lucu?" Hardik Rama.
Terdengar Damar berusaha mengerem tawanya. Sampai benar-benar berhenti barulah ia bersuara.
"Lo lagi di mana sekarang?!" Tanya Damar.
"Di belakang rumah Enin. Gak kemana-mana. Kenapa emang? Itu buruan keburu Puput berea milihnya." Rama mendecak tidak sabar.
"Pastikan lo pegangan yang kuat ya. Gue gak tanggung jawab kalau lo anfal. Ha ha ha---" Damar tertawa lagi. Mentertawakan ketidak pekaan Rama.
"Maksud lo apa?! Hei, buruan ngomong yang jelas, Mar!" Rama sudah tidak sabar. Merasa Damar mempermainkannya.
"Pasang kuping baik-baik ya.... Puput itu nama lengkapnya Putri Kirana." Damar berbicara perlahan.
"Putri Kirana itu account officer yang Tuan Rama skorsing menjadi staf admin. Foto tadi, Puput lagi diminta pengunjung yang galau untuk pilihin keramik yang cocok buat dinding dapur."
"Faham lo ye....kena mental lo yee...!" Pungkas Damar di sebrang sana.
Rama terkesiap. Tubuhnya seolah terpaku tak bergerak di tempatnya berdiri. Praduganya salah. Rencana memberi surprise diskon malah dia yang super terkejut.
"Astaga!" Rama meremas rambutnya dengan tangan kiri yang bebas. "Bro, ini serius? Puput kerja di RPA?!" Ia ingin meyakinkan lagi.
"Iya. Awalnya Pak Hendra ke ruangan gue. Ngelobi agar stafnya gak jadi diskor. Karena alasannya logis, abis nolongin dulu perempuan yang akan diper kosa. Aku curiga kok kejadiannya sama dengan yang menimpa Cia. Akhirnya gue liat staf admin itu, eh beneran Puput."
Rama menggigit bibir mendengar penjelasan Damar. Merasa panik.
"Aduh gimana ini?! Gue lagi mau pedekate...bisa-bisa dia malah ilfeel." Rama berjalam mondar mandir. Beralih memindahkan ponsel ke telinga kiri dengan raut gusar.
"Pikirin aja dulu. Dah ya...lagi banyak kerjaan." Damar menutup sepihak tanpa menunggu jawaban lagi.
Rama mendecak. Menatap layar ponsel yang sudah hitam lagi.
"Arghh---gimana ini." Rama menyugar rambutnya. Pusing sendiri. Ia harus memikirkan trik. Ia takut Puput nya marah dan membencinya.
...***...
Dari Author
Bismillah,
Jum'at, 8 april adalah hari aku dilahirkan 🤗. Alhamdulillah...8 april tahun ini juga tepat hari jum"at. 😊
Redears tersayang, aku tidak meminta kado. Tapi memohon do'akan aku dengan tulus sepenuh hati.
Jazakumullah khairan katsiran 😍❤
Jum'at 8 April 2022
Me Nia