Cayenne, seorang wanita mandiri yang hidup hanya demi keluarganya mendapatkan tawaran yang mengejutkan dari bosnya.
"Aku ingin kamu menemaniku tidur!"
Stefan, seorang bos dingin yang mengidap insomnia dan hanya bisa tidur nyenyak di dekat Cayenne.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SuciptaYasha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30 Penyesalan seorang ayah
Stefan berdiri dengan perasaan ragu. Dia berharap mereka akan lebih bersahabat setelah menerima hadiah darinya, namun ternyata harapannya meleset jauh.
"Silahkan masuk." Stefan membuka pintu lebih lebar, mengisyaratkan agar mereka masuk. "Dia akan keluar sebentar lagi."
"Tidak bisakah kita bertemu dengannya sekarang? Saya ingin membawanya pulang. Tidak baik dia tinggal di sini bersamamu," ujar Kyle.
"Terima kasih untuk hadiahnya, tapi saya tidak ingin kakakku merasa berhutang budi padamu." Tambahnya dengan tegas.
"Saya sepakat dengan saudara saya. Kami sayang pada kakak kami dan meskipun berterima kasih atas hadiahmu, kami merasa ini bukan tempat yang tepat baginya," Luiz menambahkan.
Stefan menatap mereka dan menghela napas. "Biar kuambilkan minum dahulu? Kalian bisa menanyakannya apa saja."
"O-oke."
Stefan pergi ke dapur, sementara Kyle dan Luiz menjelajahi rumah itu dengan sedikit rasa kagum.
"Mereka tinggal bersama di sini?" tanya Luiz pelan.
"Kita akan tahu lebih lanjut nanti."
Tidak lama kemudian, Stefan kembali dengan nampan berisi jus dan kue. "Maaf, tidak banyak camilan yang tersedia."
"Tidak masalah," jawab Kyle sambil mengambil segelas jus. "Jadi, Anda ingin menahan kakakku di sini?"
"Uhm…Bukan begitu, ini keputusan bersama kami."
"Kakakku setuju untuk tinggal bersamamu?" tanya Luiz tak percaya. "Apa yang membuatnya rela tinggal?"
"Karena dia memperdulikanku."
"Apakah kakakku semacam simpanan?" Tanya Kyle tajam, namun itu membuat Stefan tersenyum kecil.
"Namaku Stefan Dumrique. Aku masih lajang dan tidak berniat menjadikan kakakmu sebagai simpanan."
"Stefan Dumrique? Pemilik banyak bisnis dan yang sering gonta-ganti pacar?" cegat Luiz, blak-blakan.
Stefan berdehem dan menempatkan kedua tangannya di lutut. "Aku serius dengan kakakmu. Memang, dulunya aku sering bermain-main, tapi kakakmu berbeda. Aku ingin dia tetap bersamaku."
"Belum lama ini kau berkencan dengan orang lain, bahkan memberinya ponsel," Kyle menambahkan, membuat Stefan sedikit malu. Itu adalah kebenaran yang sulit dia sangkal.
"Itu perlu untuk keamanan kakakmu. Aku ingin melindungi identitasnya agar kehidupannya tidak terganggu."
Cayenne, mendengar dari balik pintu, tahu itu alasan belaka. Namun, kebohongan tidak akan memperbaiki kebohongan lain. Dia memasuki ruangan dengan langkah lambat.
"Apa ini?" tanya Cayenne, matanya terbelalak. "Stefan, bukankah kau berjanji untuk tidak mengatakan yang tidak perlu dikatakan?"
"Ini perlu, Ayen. adikmu perlu tahu tentang kita." Stefan mendekatinya, memastikan dia tidak menekan kakinya yang bengkak.
Cayenne menggenggam tangan Stefan dan duduk di sofa ruang tamu menghadapi kedua adiknya.
"Tapi kita sudah membicarakan ini sebelumnya." Cayenne berargumen. "Aku tidak percaya kau mengungkapkan semua ini."
"Itu penting. Kita diskusikan nanti." Stefan menjawab mantap. Pembicaraan singkat ini sudah cukup bagi adik adiknya untuk tahu bahwa Cayenne memilih tinggal bersamanya.
"Kak, kau setuju tinggal di sini? Tidak ada paksaan?" Kyle bertanya serius.
"Aku setuju." jawab Cayenne tegas.
"Dan bukan sebagai simpanan?"
"Tidak. Stefan sangat baik padaku. Dia menjagaku."
"Kalau begitu, kenapa kamu jalan pincang?" Luiz bertanya, tampak waspada dan tidak puas.
"Mungkin efek jatuh kemarin. Stefan sudah menjagaku sejak itu."
"Kau tidak sedang membelanya?" Kyle menyelidik.
"Tidak," tegas Cayenne. "Itu kenyataannya."
"Sekadar memastikan. Kau tidak bekerja malam, hanya tinggal di sini. Atasanmu tidak memaksamu melakukan apapun sebagai balas jasa."
"Kedengarannya buruk jika kau yang mengatakannya, tapi itu benar."
"Maka, jangan salahkan dirimu." Stefan menambahkan untuk melindungi Cayenne.
Kyle dan Luiz mengangguk. "Ini masalah dewasa, kami tak ikut campur. Tapi jika kakak kami terluka, kau akan berhadapan dengan kami."
"Aku paham." jawab Stefan.
"Namun, kami akan membawanya sekarang," Luiz bersikeras. "Ada hal penting yang perlu dibicarakan."
"Pergelangan kakinya masih sakit. Dia butuh istirahat," keluh Stefan. "Bisakah kalian beri waktu untuk pemulihan?"
"Istirahat di sini?" tanya Kyle dan Luiz bersamaan. Stefan mengangguk tegas.
"Kami tidak izinkan."
"Ayen, kau akan kembali malam ini?" Stefan mencari dukungan Cayenne.
Cayenne menatap Stefan, "Apakah kau akan menjemputku lagi?"
"Kau mengizinkannya? Kau yakin?" Luiz dan Kyle saling pandang kemudian menatap Cayenne dan Stefan. "Baiklah, untuk saat ini kami tidak akan membawanya. Tapi kami perlu berbicara di sini. Hanya dengan kakakku saja."
"Baik." Stefan mundur ke atas. "Jika ada yang ingin ditanyakan, jangan sungkan menghubungi."
Ketiganya duduk berhadapan, Cayenne menunggu reaksi dari adik adiknya, siap menghadapi apapun bahkan jika dirinya dimarahi.
Yang sebenarnya terjadi malah kedua adiknya itu tertawa pelan. "Aku tidak tahu kalau aktingku sebagus itu," kata Kyle sambil tertawa kecil.
"Saat lihat wajahnya di pintu, ingin sekali tertawa. Dia kelihatan ketakutan," tambah Luiz sambil berbisik.
"Aku keren, kan tadi?" Kyle menyeringai dan menepuk dadanya.
"Sungguh, dia serius menghadapi kita berdua?" Lanjut Luiz dengan geli.
Cayenne melihat dengan bingung, tampak mereka berdua hanya bermain-main dengan Stefan. Hanya satu hal yang pasti: mereka serius dengan peringatan mereka, dan Stefan tahu itu.
Stefan sedang duduk di tempat tidur mereka. Dia bisa mendengar tawa samar-samar dari ruang tamu, tetapi dia tidak bisa mendengar kata-kata mereka.
Dia tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Di tengah kesibukan, teleponnya berdering di sakunya. Saat dia mengeluarkannya dan melihat pesan itu, wajahnya mengerut dan matanya berkaca-kaca.
Ia tahu itu akan terjadi cepat atau lambat, tetapi ia juga berdoa agar mereka membiarkannya sendiri. Ia tidak akan pernah menikahi siapa pun yang kedua orang tuanya pilih untuknya.
Ia bahkan tidak akan mengambil alih perusahaan yang dimaksudkan untuk saudaranya, Alexander. Ia tidak akan pernah menuruti kata-kata mereka.
Stefan menghapus pesan yang diterimanya dan berpura-pura tidak melihat apa pun. Dalam benaknya, ia memutuskan bahwa tak seorangpun dapat menghentikannya untuk tetap bersama Cayenne.
Ia tidak akan pernah membiarkan siapa pun memisahkan mereka. Bahkan keluarganya pun tidak dapat menghentikannya.
Magnus menaruh teleponnya di meja belajar, merasakan dinginnya permukaan kayu yang keras dan tidak bersahabat. Seperti hatinya saat ini. Dia telah berusaha menghubungi Stefan, putranya, namun tanpa hasil.
Frustrasi, ia meminta seseorang menyelidiki kehidupan putranya—dan seperti itulah ia mendengar tentang Cayenne.
Pesan yang dikirimkannya kepada Stefan berbunyi dingin dan penuh peringatan,
"Tinggalkan wanita yang kau jaga. Dia tidak pantas dengan statusmu."
Namun, Stefan tetap tak tergerak. Ia tidak menelepon ataupun menanggapi pesan ayahnya. Ketidakpedulian ini membakar Magnus.
Sebagai ayah, Magnus merasa terasing lebih dari sebelumnya. Namun, ia tahu bahwa jika ia memaksa lebih jauh, ia bisa kehilangan Stefan selamanya.
Magnus kembali teringat masa lalu—masa-masa dimana semua perhatiannya dicurahkan kepada Alexander, putra sulungnya.
Setiap ulang tahun, setiap perayaan besar, semuanya terasa dan diatur khusus untuk Alexander. Stefan, putra bungsunya, hanya kebagian puing-puing perhatian yang tercecer.
Kini, dengan Alexander yang telah tiada, ia terpaksa menatap ulang tahunnya sebagai pengingat suram dari kehilangan. Dan Clara, istrinya, semakin membencinya karena itu semua.
Di meja, foto kedua putranya menatap balik padanya. Dalam foto itu, mereka tampak bahagia, tertawa satu sama lain. Namun, Magnus sadar, di balik senyum Stefan di foto itu, tersembunyi kemarahan yang mendekam.
Magnus tahu bahwa Stefan menyimpan kebencian terhadapnya. Ia bisa melihat itu dalam setiap gerak-gerik, dalam cara Stefan berbicara kepadanya.
Magnus sadar, semua ini bermula dari kesalahannya di masa lalu. Ia menyakiti Clara, istri sahnya. Perselingkuhannya menyebabkan kematian seorang wanita saat melahirkan, dan hadirnya Stefan membawa luka yang lebih dalam.
Jika semua itu tidak terjadi, mungkin Alexander masih hidup, dan hubungan mereka akan lebih baik.
Air mata lambat laun jatuh di atas punggung tangannya. Rasa penyesalannya bercampur dengan interior ruangan itu, pekat dan mencekik.
Dadanya terasa sesak, dan ketika tenggorokannya menyempit, ia buru-buru mencari obatnya di laci. Setelah menelan beberapa pil dengan air dingin yang disediakan pembantunya, ia merasa sedikit lega.