Alena harus melunasi hutang kakaknya dan juga membayar tebusan kakaknya yang dipenjara akibat fitnah. Akhirnya Alena meminjam uang pada bosnya, Bima si CEO. Ia diberi pinjaman dengan syarat nikah kontrak dan berikan keturunan laki-laki.
Celakanya Alena tidak tahu kalau Bima sudah menikah sebelumnya dan hanya membutuhkan anak darinya saja. Begitu anak lahir, Alena dipisahkan dari anaknya. Perawatan yang tidak maksimal membuat anaknya meninggal dunia.
Melihat keterpurukan Alena dan dendam membara membuat Bima membongkar bahwa semua hanya skenario keluarganya. Ia terpaksa mengikuti dan tidak pernah bermaksud menjebak Alena sebab ia benar2 mencintainya.
Akankah Alena memaafkan semua kesalahan Bima saat akhirnya laki-laki itu menceritakan semua fakta yang terjadi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Genta Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32 Ancaman untuk Sendy
Bima melacak keberadaan Sendy lewat anak buahnya. Begitu mendapatkan lokasinya, ia langsung meluncur kesana. Tentu saja tanpa sepengetahuan Alena.
Laki-laki itu diam-diam pergi selagi Alena masih sibuk mengurung dirinya di kamar. Setelah menyuruh Bibi Meri untuk membuatkan sarapan dan biarkan Alena makan di kamarnya, Bima meninggalkan rumah menuju hotel tempat Sendy menginap.
Pagi itu masih pukul delapan. Kota Blitar bukan wilayah padat penghuni. Belum ada macet di sini. Bima bisa meluncur tanpa hambatan. Butuh beberapa menit saja untuk tiba di hotel tempat Alena menginap.
Usai memarkir mobilnya, pria itu langsung masuk ke hotel menuju kamar Sendy. Orang suruhannya sudah memberikan informasi dengan sangat lengkap termasuk nomor kamar Sendy.
Tok Tok Tok
Beberapa kali Bima mengetuk pintu kamar. Butuh beberapa menit untuk menunggu. Akhirnya Sendy muncul dari balik pintu.
Seolah sudah bisa menebak kehadiran Bima, perempuan itu tersenyum manis menatap kedatangan suaminya.
"Masuk, Mas."
Enggan membuat keributan di depan kamar, Bima memutuskan melangkah masuk. Begitu pintu ditutup, Bima menarik tangan Sendy agar lebih mendekat ke arahnya.
Begitu tinggal dua langkah kaki, tanpa ragu ia layangkan tangannya ke arah pipi Sendy.
Plak! Cukur keras tamparan itu hingga membuat badan Sendy jatuh tersungkur ke samping.
Sendy tertunduk, ia hanya diam. Tamparan ini seolah sudah ia perkirakan juga.
"Perempuan macam apa kamu?" Bima membentak lantang.
Sendy menyentuh ujung bibirnya yang perih. Rupanya ada darah. Tamparan barusan benar-benar terasa panas dan perih.
"Aku tidak akan pernah tinggal diam dan menjadi penonton saja."
Bima tampak gusar. Nafasnya naik turun tidak karuan menahan amarah yang begitu besar.
Sebenarnya ia berencana mencairkan suasana secara perlahan dengan Alena. Ia ingin Alena bersedia melayaninya dengan ikhlas dan penuh kesadaran.
Cara semalam yang sudah dilancarkan oleh Sendy bukanlah strategi yang ia inginkan. Baginya, cara itu sangat norak dan pengecut.
Bima sudah pernah mengingatkan pada Sendy untuk tidak ikut campur. Ia ingin kali ini segala keputusan untuk meraih apa yang sudah disepakati berada di bawah keputusannya.
Sayangnya Sendy bukanlah perempuan penurut. Ia sangat keras kepala dan semaunya sendiri. Semua yang direncanakan Bima jadi kacau berkat Sendy.
Sendy bangkit berdiri menatap mata suaminya dengan tenang. Rupanya ia benar-benar sudah menyiapkan mental untuk menghadapi hal ini.
"Setidaknya dengan cara semalam, PR kamu sudah berkurang satu, Mas. Kalian berdua tinggal melanjutkan saja."
Bima tak habis pikir dengan sikap Sendy. Perempuan di luar sana tidak ada yang tahan bahkan rela bila suaminya menikah dengan perempuan lain, juga tidak mungkin ikhlas membiarkan sang suami tidur dengan perempuan lain.
Ini terjadi sebaliknya. Justru dalang dibalik proses malam pertama ada di tangan Sendy, sang istri.
"Kamu pikir aku tidak akan bisa membuat Alena takluk dan ikhlas tidur bersamaku? Kamu terlalu meremehkan aku, Sendy." Bima melotot tajam.
"Bisa saja, Mas. Sangat bisa. Sayangnya terlalu lama." Sendy balik menatap tajam.
Sendy berjalan menuju salah satu sudut kamar. Ada satu meja berisi makanan dengan dua kursi. Tak lupa ada wine di sana.
"Daripada marah-marah terus, lebih enak kalau sekarang kira rayakan keberhasilan kita menuju kesuksesan rencana," ujar Alena dengan senyum kemenangan.
Ia tuangkan wine ke dalam dua gelas. Satu untuk dirinya dan satu lagi untuk Bima. Ia raih salah satu gelas. Diangkatnya ke udara dengan tangan kanan mengarah ke Bima. Mengajak untuk tos kemenangan.
"Kita rayakan satu tahap dari target rencana kita. Berhasil menaklukkan Alena."
Bima diam tidak bereaksi. Sedikitpun tidak mendekat ke meja Sendy berada. Tidak mendapatkan respon yang baik, Sendy tertawa kecil.
"Baiklah, kemenangan ini sepertinya hanya untuk aku," ujar Sendy lalu meneguk wine ditangannya dalam sekali teguk hingga tandas.
Getir rasa wine membuatnya sedikit mengernyitkan alis.
"Aku tahu, Mas. Sepertinya kamu mulai main dengan hati. Kamu mulai tertarik dengan Alena, betul?"
Kali ini Bima tertawa sinis. "Aku sama sekali tidak tertarik dengan gadis udik itu."
"Minum..." Sendy menatap tegas suaminya.
Bima berjalan mendekat. Ia raih gelas berisi wine itu. Digoyangkannya beberapa kali untuk mengeluarkan aroma dan ras yang lebih tajam.
Ditatapnya wajah sang istri yang terlihat kesal sebab mengira suaminya telah berpaling hati. Padahal jelas-jelas dia yang meminta untuk mencari perempuan lain yang bisa melahirkan anak laki-laki untuknya.
"Aku tidak bersedia merayakan kemenangan apapun denganmu, Sendy." Bima menatap tajam penuh amarah.
Wine yang masih belum ia cicipi itu dengan penuh kesadaran ia siramkan ke atas kepala Sendy. Membasahi rambut perempuan itu.
"Apa-apaan kamu, Mas!" teriak Sendy kaget. Ia tidak menyangka akan mendapatkan perlakuan seperti itu.
Tanpa rasa bersalah, pria itu menatap tajam pada perempuan yang menjadi istrinya itu.
Mengingat kejadian semalam membuatnya benar-benar kehilangan rasa sabar menghadapi sikap istrinya.
"Masih bagus hanya wine yang aku siramkan ke kepala kamu. Harusnya air keras. Biar otak kamu lebih waras. Ingat, Sendy. Kamu sedang berhadapan dengan Bima Narendra."
Sendy menatap geram suaminya. Ia merasa direndahkan harga dirinya.
"Salah aku dimana? Lagipula, selama ini kamu juga sudah berkali-kali menikmati perempuan liar di luar sana dengan cara yang aku berikan. Salahnya dimana?"
"Salahnya itu bukan atas dasar perintahku!"
"Aku tidak peduli! Lagipula aku juga berhak menentukan keputusan di sini!"
"Ingat Sendy, aku ini suami kamu! Hormati setiap keputusanku!"
Sendy tertawa keras. Ia muak dengan kalimat 'menghormati'. Saat ia menatap botol wine di atas meja, tanpa pikir panjang Sendy mengambil botol itu, membukanya dan menyiram badan Bima.
Spontan Bima rebut botol wine itu, mendorong Sendy hingga kembali terduduk.
"Perempuan tidak tahu diri!" Bima teriak lantang.
Bima hendak melayangkan kembali tamparan ke pipi Sendy, tapi ia tahan sebab HP miliknya bergetar. Ada panggilan masuk.
"Ada apa, Bi?" jawab Bima begitu menekan tombol hijau. Telfon dari Bibi Meri.
"Nona Alena tidak mau keluar kamar, saya tidak diijinkan masuk, Tuan. Bibi harus bagaimana? Daritadi hanya terdengar suara tangisan saja. Bibi khawatir."
Bima menghela nafas gusar mendengar perkataan Bibi Meri di telfon. Mengingat bagaimana karakter Alena yang sangat lugu, hal ini tidak membuat Bima terkejut.
"Sebentar lagi saya pulang. Tunggu di rumah. Siapkan saja makanannya."
Bima mematikan telfon, memasukkannya ke dalam saku celana. Ia kembali fokus pada Sendy.
"Ini peringatanku yang terakhir. Sekali lagi kamu bergerak sesuka hati tanpa persetujuan dari saya...itu artinya kamu menantang saya, Sendy."
"Kalau aku melanggar kenapa?" tantang Sendy tidak kenal takut.
"Jangan salahkan siapapun kalau pada akhirnya...kamu akan menerima konsekuensi yang pasti akan membuat kamu menyesal seumur hidup."
"Aku tidak takut!"
"Coba saja kalau berani." Bima meletakkan botol wine di atas meja. Ia berjalan keluar kamar, meninggalkan Sendy begitu saja.
Bima berjalan cepat menuju mobil, melakukan kendaraannya kembali ke rumah.
malasjuga ngandung benih kamu
udah tau keles
jangan lupa mampir juga di karyaku