NovelToon NovelToon
Saat Aku Bernafas Aku Berharap

Saat Aku Bernafas Aku Berharap

Status: tamat
Genre:Tamat / Mafia / Konflik etika / Mengubah Takdir / Romansa
Popularitas:10.4k
Nilai: 5
Nama Author: Rurri

Mengejar mimpi, mencari kebahagiaan untuk mendapatkan apa yang diinginkan, Raka harus menghadapi keadaan pahit atas dosa-dosa sosialnya, juga konflik kehidupan yang tak berkesudahan.

Meski ada luka dalam duka, ia harus tetap bersabar. Demi bertemu kemanfaatan juga kebahagiaannya yang jauh lebih besar dan panjang.

Raka rela mengulang kembali mimpi-mimpinya. Walaupun jalan yang akan dilaluinya semakin terjal. Mungkinkah semesta akan mengamini harapannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rurri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Menyerahkan Diri

Aku kembali melaju di jalan raya, menjemput tegar yang tertinggal. Lampu depan terus menerobos gelapnya malam. Satu dua mobil tersalip. Dinginnya angin malam telah memadamkan hati yang berkobar. Menahan luka dalam duka, terjebak di kesenangan sesaat. Kakiku terus menginjak pedal gas. Di persimpangan jalan, aku menjadi gelisah menentukan arah tujuan. Tangismu tak pasti, juga senyummu masih labil. Aku berhenti sejenak di persimpangan.

Jalan gelap yang telah aku pilih sangat terjal dan terlarang. Aku membulatkan tekad, berbalik ke kanan. Melaju mendatangi pusat Kantor Sektor Satu untuk menyerahkan diri pada hukum dunia-akhirat. Menceritakan semuanya tanpa rasa takut. Tak butuh waktu lama semua segera diamankan oleh pihak penegak hukum dengan cepat. Tempatnya, juga manusianya, juga alatnya, dan juga bahan-bahannya.

Pagi telah tiba. Membawa pesan dari pengadilan, yang bersaksi harus kuat tidak terbutakan ancaman dan nikmat sesaat. Setiap yang patah akan tumbuh, setiap yang hilang akan terganti. Karena cinta tak akan pernah mati.

Aku, Tegar, Pak Indra dan seluruh kelompoknya, kini berseragam sama. Sama-sama mengenakan baju berwarna oren. Di gelandang menuju tahanan Sektor Satu Bahari seiring dengan menaiknya matahari di atas kepala.

Kami di jebloskan ke dalam ruangan tahanan yang berukuran tiga kali empat meter persegi.

"Dasar pengkhianat!" berkata anak buahnya Pak Indra Kuncoro.

Aku mengerang bersamaan dengan mendaratnya sebuah kepalan tangan di perut. Disusul kaki-kaki besar yang menyasar ke pinggang, punggung, dada dan semua anggota tubuhku lainnya. Aku terjatuh di atas lantai tak berdaya. Merintih di hari pertama menjadi tahanan.

"Tunggu, jangan mati dulu," bisik salah satu anak buah lainnya.

"Ampun Bos ... ampun, saya juga korban seperti Pak Indra. Sumpah, saya nggak tahu apa-apa." Tegar merengek sambil duduk di pojok jeruji besi, memeluk kedua kaki.

Pak Indra Kuncoro masih berdiri di depan pintu jeruji. Sesekali berkomunikasi dengan petugas penjaga. "Aman, komandan," ucapnya sembari menjanjikan sesuatu yang tak bisa aku dengar.

"Jangan berisik, diatur yang tertib," ujarnya penjaga dan berlalu pergi lagi. "Awas, mukanya jangan sampai lebam," imbuhnya setelah tak terlihat.

Setelah mendapatkan teguran dari penjaga, tanganku diikat, mulutku di sumpal kain. Entah, sudah ke berapa kalinya, aku telah mendapatkan hadiah kepalan tangan dari para anak buahnya Pak Indra Kuncoro.

"Sudah pernah saya katakan. Jangan pernah bercerita kepada siapapun, kalau kita saling mengenal, dan jangan pernah membawa siapapun datang ke tempat saya. Rupanya kamu memilih untuk mati membusuk di sini," ucapnya Pak Indra Kuncoro geram.

Mulutku masih tersumpal kain, menahan sakit. Tenggorokan menjadi kering meski air mata terus mengalir membanjiri pipi. Aku yakin air mata ini, bukan karena rasa takut di intimidasi, dihantam atau dicaci maki. Air mata ini, keluar begitu saja, tak terkendali saat terlintas bayangan sosok seorang ibu. Aku tidak punya kosakata bumi yang akan aku sampaikan ketika bertemu dengannya. Apa yang akan aku sampaikan nanti jika ibu tahu anaknya di penjara. Mantra-mantra langit tak berhenti dilafalkan dalam sanubari.

Sempat terbesit untuk menyalahkan riana. Seandainya dia tidak mematahkan harapanku dulu. Seandainya dia tidak membujukku pulang dari pesantren. Pasti aku masih di sana, tumbuh dan besar di dalam pesantren. Menghafalkan hijaiyah, dari i'rab ke bina, Juga mufrod ke jama'. Memahami kalamullah dengan baik dan benar untuk aku jadikan pedoman hidup. Api kembali menjalar, berkobar dalam hati. Mengandai-andai keras melebihi gemuruh ombak yang bergulung-gulung. Bukan, aku yakin ini, bukan salahnya riana. Aku yang memilih jalan yang terlarang dan aku yang memilih untuk menyerahkan diri pada hukum. Petaka terjadi karena salahku sendiri.

"Ampun - ampun, Bos. Raka tolongi aku. Ini bukan salahku." Jerit Tegar ketakutan.

Aku mengangguk-angguk, mencoba menghentikannya. Tapi, mulutku tak bisa bersuara. Aku merangkak menyeret tubuhku mendekat. Aku ingin mengatakan sesuatu pada Tegar, percuma saja mengharapkan pertolongan dari mereka.

Puluhan pasang kaki terus-menerus menghujani aku dan Tegar. Hantaman keras mengenai kepalaku. Kepalaku terbentur ke lantai, tak sadarkan diri. Gelap, tak terdengar lagi rintihannya Tegar, tak terdengar lagi suaranya Indra Kuncoro dan para anak buahnya.

Suasana menjadi gelap gulita, apa ini hanya sebuah mimpi, seperti yang pernah aku ceritakan kepada teman-temanku saat jam pelajaran sedang kosong. Tiba-tiba aku mendengar bel sekolahan. Melihat teman-teman sedang gaduh menunggu bapak guru yang belum datang. Suaranya marto, melengking, menegurku supaya jangan membuat onar di dalam kelas. Lalu menghilang.

Suasana kembali gelap, kemudian bayangannya riana muncul dengan seragam putih dan rok abu-abu, lima belas centimeter di atas lututnya. Kuning langsat warna kulitnya semakin bersinar terkena paparan sinar mentari. Wajahnya terlihat lembut, ikal hitam, dia punya rambut yang tergerai angin, tampak menggoda. Senyum tersipu manja sembari mengajarkan rumusan matematika. Lalu menghilang.

Tergantikan kilatan-kilatan cahaya yang menyambar dalam gelap, menampakan wajah-wajah teduh guru-guru pesantren yang bersahaja. Beliau menghampiriku, merasa iba dan berucap sesuatu. Tapi, aku tak dapat mendengarnya, hanya dapat merasakan belaiannya. Lalu mereka menghilang. Tergantikan oleh kehadirannya ibu yang sedang menggerutu kecewa, menyuruhku agar lekas belajar dan segera membantunya membereskan pekerjaan rumah. Semua terjadi begitu cepat, suasana kembali menghening gelap gulita. Semua gambar dan suara menghilang.

Seperti siaran televisi tempo dulu yang kehilangan sinyal saat tiang antenanya roboh terkena angin kencang. Kemudian, muncul kembali rintik-rintik hitam dan putih dengan suara-suara bising yang tak jelas.

"Cepat bangun, bangun!" seru Pak Indra Kuncoro yang masih geram.

Aku mengeluh juga mengumpat seiring tersiram air oleh anak buahnya Pak Indra Kuncoro.

Tegar sudah terikat berdiri di jeruji besi, memohon belas kasih tak henti-henti.

Suara langkah sepatu penjaga terdengar mendekat. Membunyikan tongkat besi pada pintu jeruji.

"Pak, tolong saya. Saya sudah nggak kuat," ucapnya Tegar pada Petugas penjaga.

"Hari sudah malam, biarkan mereka beristirahat dulu," ungkapnya Petugas Penjaga pada Pak Indra Kuncoro dan ia berlalu pergi mengontrol ruangan sel lainnya.

Pak Indra Kuncoro menyahuti. "Iya."

Salah satu anak buah Pak Indra, melepaskan tali yang terikat pada tubuhnya Tegar bersamaan menginjak tubuhku yang masih tergeletak tepat di depannya Tegar berdiri seraya berkata. "Siapa yang menyuruh tiduran di sini."

Pak Indra Kuncoro dan anak buahnya tertawa.

Anak buah yang lainnya mendekat. "Cepat bangun." Menarik paksa, mendudukan aku di depannya.

Aku bergeming. Barangkali mungkin, ini harga yang harus aku bayar atas perbuatanku.

"Bos, izinkan saya beristirahat sebentar." Tegar memohon. "Ini semua bukan salah saya, sumpah saya nggak tahu apa-apa, kenapa kita tertangkap," ucapnya Tegar.

Kain yang menyumbat mulut terlepas. "Iya, betul, ini semua salahku," ucapku gemetar.

"Kenapa kamu melakukan ini," tanyanya Pak Indra Kuncoro padaku.

Aku bergeming.

"Dasar cepu ... ." Pak Indra Kuncoro meninju perutku.

"Apa yang kamu dapatkan, setelah mengadu dan sudah berhasil menangkap kami." Menjambak.

Aku tetap bergeming.

"Kita tunggu saja besok, seberapa kuat, kamu akan bertahan," ujarnya Pak Indra padaku.

"Berdiri ... " teriak salah satu anak buahnya Pak Indra Kuncoro yang berbadan paling kekar. "Kamu tahu. Gara-gara kamu, anak istri saya di rumah ke depannya jadi terlantar." Matanya melotot.

Kakiku hampir tak sanggup untuk berdiri.

"Jangan menyender di dinding," pekiknya.

Kakiku gemetar, rasa haus dan lapar mulai ikut menyerangku.

"Kita gantian berjaga," celetuknya anak buah yang berbadan kekar. "Jangan biarkan dia duduk, apalagi sampai tiduran di lantai," lanjutnya menunjuk mukaku.

Tegar tertidur pulas, meringkukkan badan di atas lantai. Sesekali mengigau, meminta maaf dan merintih, tak kuat aku mendengar dan melihat luka lebam di sekujur tubuhnya. Wajahnya pucat hampir membuatnya mati.

1
sean hayati
Setiap ketikan kata author sangat bagus,2 jempol untuk author ya
sean hayati
Saya mampir thour,salam kenal dari saya
sean hayati: terima kasih sudah mau membalas salam saya,saling dukung kita ya
Rurri: salam knl juga kak 😊
total 2 replies
tongky's team
Luar biasa
tongky's team
Lumayan
tongky's team
mantap saya suka kata katanya tentang senja dan sepasang merpati
tongky's team
lanjut seru /Good/
Santi Chyntia
Ceritanya mengalir ringan dan pesan moral nya jg dapet, keren kak/Good//Heart/
Choi Jaeyi
cieeee juga nih wkwkk
Amelia
👍👍👍👍👍👍❤️❤️
Rurri
makasih kak, atas pujiannya 😊

karya² kk juga sama bagus²🌷🌷🌷
Amelia
aku suka sekali cerita nya... seperti air mengalir dan tanpa karekter yg di paksa kan👍👍👍
Jecko
Aku tersentuh/Sob/
Amelia
😚😚😚😘😘😘😘
Amelia
mantap...👍👍👍👍
Amelia
🤭🤭🤭🤭🤭🤭🤭
Amelia
wkwkwk...
😅😅
Amelia
hahahaha...🤭🤭
Choi Jaeyi
selalu suka bgt sama kata tiap katanya author😭
Amelia
bagus Thor....👍👍👍👍❤️❤️❤️❤️
Amelia
memang itu lah realita kehidupan...yg kuat dia yg akan dpt banyak...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!