Mentari merupakan seorang perempuan yang baik hati, lembut, dan penuh perhatian. Ia juga begitu mencintai sang suami yang telah mendampinginya selama 5 tahun ini. Biarpun kerap mendapatkan perlakuan kasar dan semena-mena dari mertua maupun iparnya , Mentari tetap bersikap baik dan tak pernah membalas setiap perlakuan buruk mereka.
Mertuanya juga menganggap dirinya tak lebih dari benalu yang hanya bisa menempel dan mengambil keuntungan dari anak lelakinya. Tapi Mentari tetap bersabar. Berharap kesabarannya berbuah manis dan keluarga sang suami perlahan menerimanya dengan tangan terbuka.
Hingga satu kejadian membuka matanya bahwa baik suami maupun mertuanya dan iparnya sama saja. Sang suami kedapatan selingkuh di belakangnya. Hanya karena pendidikannya tak tinggi dan belum juga dikaruniai seorang anak, mereka pun menusuknya dari belakang.
Tak terima perlakuan mereka, Mentari pun bertindak. Ia pun membungkam mulut mereka semua dan menunjukkan siapakah benalu sebenarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DUA
"Assalamu'alaikum," ucap Shandi saat telah berada di depan pintu masuk rumahnya.
Mentari yang tadi sedang menyetrika pakaian pun gegas berlari ke depan saat mendengar deru mobil sang suami. Saat melihat sang suami telah berada di depan pintu, ia segera menjawab salam dan menyalami sang suami dengan takdzim.
"Wa'alaikum salam, mas," sahut Mentari sumringah.
"Wah, udah cantik aja istri mas! Lagi apa, hm?" tanya Shandi seraya merangkul pundak Mentari masuk ke dalam rumah.
"Lagi nyetrika aja, Mas. Mas mau mandi air hangat atau biasa?" tanya Mentari lembut seraya menyandarkan kepalanya di pundak Shandi.
Beginilah mereka, selalu bersikap mesra karena itu Mentari tetap bertahan meskipun sikap ibu mertua dan adik iparnya kerap semena-mena, ia tak begitu mengambil hati. Baginya yang penting sikap Shandi selalu baik dan setia. Itu saja sudah cukup. Mereka juga sangat jarang bertengkar. Kalaupun mereka berselisih paham, itu tak bertahan lama. Dalam hitungan jam, mereka akan kembali berbaikan dan kembali bermesraan seperti tidak ada permasalahan sama sekali.
"Air biasa aja, kenapa? Mau ikut?" goda Shandi seraya menyeringai membuat Mentari berdecak. Kini mereka telah berada di kamar. Mentari segera meletakkan tas kerja Shandi dan membantu melepaskan jam tangan lalu kemejanya.
"Ck ... modus," ejek Mentari seraya mendorong punggung Shandi agar segera masuk ke kamar mandi.
"Sama istri sendiri juga, mau ya?"
Belum sempat Mentari beranjak dari depan kamar mandi, Shandi malah menarik pergelangan tangan Mentari agar ikut masuk dengannya.
"Mas," pekik Mentari terkejut.
Blammm ...
Pintu kamar mandi pun ditutup. Kegiatan mandi yang seharusnya selesai dalam hitungan menit itu kini justru berakhir lebih lama dari biasanya. Sebab mereka bukan hanya sekedar mandi, tapi juga mengarungi samudera kenikmatan di dalam sana.
***
"Sayang, lagi ngapain?" tanya Shandi seraya memeluk perut Mentari dari belakang. Diletakkannya dagunya di atas pundak Mentari seraya memperhatikan kegiatan Mentari yang sedang mengocok telur dan gula menjadi satu.
"Lagi mau buat kue, mas. Kan mama hari ini ulang tahun, aku mau buatin kue yang spesial untuk mama supaya mama makin sayang sama aku," ujar Mentari lembut dengan tangan tetap bergerak aktif mengocok adonan telur yang sudah mulai mengembang menggunakan mikser.
"Oh ya? Mas lupa. Kamu emang yang terbaik, sayang. Kita pergi habis makan siang aja, gimana ? Mumpung weekend," ujar Shandi seraya mengecup pipi Mentari.
"Oke, bos!" seru Mentari dengan senyum lebarnya. "Mas cuci muka dulu gih, terus gosok gigi, baru lanjut sarapan. Sebentar lagi aku buatin kopinya," ucap Mentari yang diangguki Shandi. Lu Shandi pun melepaskan pelukannya setelah terlebih dahulu mencuri ciuman dari bibir Mentari.
"Mas," pekik Mentari kaget karena Shandi sempat-sempatnya mencuri ciuman dan sedikit menyesapnya kuat membuatnya terpekik kaget.
Sesuai rencana, kini Shandi dan Mentari sudah dalam perjalanan menuju ke rumah Rohani, ibu Shandi. Sepanjang perjalanan mereka isi dengan canda tawa dan terkadang sambil bernyanyi bersama mengikuti lagu-lagu yang diputar Mentari.
Tak butuh waktu lama, mobil Shandi pun tiba di pelataran rumah sederhana milik Rohani. Setibanya mereka disana, mereka pun segera turun.
"Mas, kayaknya mama ada tamu deh?" ucap Mentari saat melihat sebuah mobil berwarna merah terparkir di depan rumah yang didominasi cat berwarna kuning tersebut.
"Iya, siapa ya? Mungkin temen mama. Ayo, kita masuk!" ajak Shandi.
"Assalamu'alaikum," ucap mereka berdua bersamaan seraya melangkahkan kaki masuk ke rumah Rohani.
"Wa'alaikum salam," jawab orang-orang yang ada di dalam sana.
Melihat kedatangan putranya, Rohani pun segera menyongsong Shandi masuk dan memperkenalkannya dengan tamunya.
"Eh, Shandi, kebetulan banget kamu datang. Sini nak, kenalan sama temen mama dulu. Ini Bu Asma, temen arisan mama dan ini putrinya, Erna," ujar Rohani seraya meminta Shandi menyalami kedua tamunya itu.
Dengan ramah Shandi pun berkenalan dan bersalaman dengan mereka.
"Shandi," ujar Shandi seraya bersalaman dengan Asma lalu Erna.
"Wah, anakmu ganteng tenan, Jeng!" puji Asma membuat Rohani tersenyum lebar.
"Bener kan kataku, jeng. Aku nggak bohong kalo putraku itu ganteng. Kerjanya bagus juga. Dia kerja di MTR Furniture. Perusahaan penghasil perabot yang terkenal itu. Beruntung Shandi bisa kerja di sana. Katanya sekarang nggak mudah mau masukin lamaran pekerjaan di sana. Anakku memang benar-benar beruntung," sahut Rohani semangat penuh mata puji-pujian pada sang putra kesayangan.
"Erna," ucap Erna malu-malu sambil mengulurkan tangannya yang disambut Shandi cepat. Tak ingin berlama-lama. Ia tak ingin membuat Mentari makin merasa tersisih karena sikap orang tuanya.
"Anak Tante Asma cantikkan? Dia kerja sebagai manajer di showroom lho, Shan. Hebat ya! Udah cantik, pintar, punya kerjaan bagus, nggak kayak ... " Rohani melirik Mentari sinis.
"Ma," sergah Shandi yang tahu kemana arah pembicaraan sang ibu.
"Kenapa, Shan? Emang benar kan istrimu itu cuma benalu. Nggak guna. Pendidikan rendah, pekerjaan nggak ada, punya anak juga nggak bisa, apaan itu coba," ketus Rohani seraya memandang sinis ke arah Mentari yang mematung di depan pintu. Ia meremas tali paper bag yang di dalamnya berisi kue buatannya dengan hati memanas.
Selalu saja seperti itu. Tak pandang tempat maupun waktu, selalu saja menghinanya dengan berbagai kalimat menyakitkan. Tanpa mempedulikan perasaannya sama sekali.
"Ma, tolong jangan bilang begitu! Bagaimana pun dia itu istri Shandi," sergah Shandi setengah kesal melihat sikap sang mama yang terus-menerus memojokkan Mentari di setiap kesempatan.
"Belain terus, ya belain aja! Kamu emang udah nggak sayang lagi sama mama. Kamu ... hiks ... hiks ... " Rohani terisak seraya memijit dadanya.
"Ma," desah Shandi serba salah.
"Kakak juga kenapa, sih belain dia terus-terusan. Kalau mama sampai sakit, awas aja ya kak!" ketus Septi yang duduk di sebelah Erna.
"Tante, Tante nggak papa? Tante tenang ya, entar darah tingginya kumat lho," bujuk Erna ramah seraya mengusap punggung Rohani.
Rohani pun tersenyum ke arah Erna. Senyum yang tak pernah ia berikan pada menantunya sendiri, Mentari.
"Coba aja kamu yang jadi menantu Tante, Na, pasti Tante sudah menimang cucu saat ini," ucap Rohani tanpa mempedulikan keberadaan Mentari sama sekali.
Mendengar perkataan tersebut, terang saja Mentari shock. Jantungnya tiba-tiba berdebar hebat. Matanya memanas. Tangannya sampai bergetar dan berkeringat dingin.
"Udah dong, Tan. Erna kan nggak enak sama menantu Tante, siapa namanya? Eh, maaf kita belum kenalan," ucap Erna seraya berdiri lalu menyalami Mentari ramah.
"Erna," ucapnya.
"Mentari," sambut Mentari ramah.
Sekuat tenaga ia menahan rasa perih di dadanya. Ia tak mau menunjukkan kelemahannya. Ia sudah ditempa sedemikian rupa oleh hidupnya yang keras jadi ia takkan mudah untuk menunjukkan kelemahannya. Mentari sangat paham dengan arti ucapan mama mertuanya itu. Ia berharap suaminya berjodoh dengan Erna yang dianggapnya lebih segalanya dari dirinya.
Dalam hati, Mentari tersenyum sinis. Mertuanya itu ternyata benar-benar tak punya hati. Karena itu, hingga sekarang ia tak ingin mengungkapkan jati dirinya sebenarnya. Ia pikir, waktu 5 tahun bisa mengubah perangai sang ibu mertua agar dapat menerima dirinya dengan tangan terbuka, namun ternyata tidak. Ia bahkan terang-terangan mengharapkan perempuan lain menjadi menantunya.
"Maafin ucapan Tante Ani tadi ya, mbak."
"Nggak masalah. Udah biasa kok. Hatiku udah kebal," jawab Mentari seraya tersenyum lebar membuat Rohani dan Septi berdecih sinis.
...***...
...HAPPY READING 🥰🥰🥰...