Memeluk Cinta

Memeluk Cinta

01 Awal Mula

Alena baru saja tiba di rumah saat ada dua orang polisi datang bertamu. Kebetulan ia hanya seorang diri.

"Selamat sore, apa benar ini rumah saudara Tegar Dirgantara?" tanya salah satu polisi begitu Alena membuka pintu.

"Iya, betul. Ada apa ya, Pak?" Alena menatap heran.

"Anda siapanya saudara Tegar?" Polisi tersebut bertanya lagi tanpa menjawab pertanyaan Alena.

"Saya adeknya. Kebetulan kami hanya tinggal berdua saja, Pak. Orang tua kami meninggal beberapa tahun yang lalu."

Kedua polisi tersebut minta dipersilakan masuk agar pembicaraannya lebih enak. Alena sampai gugup sebab lupa mempersilakan masuk. Begitu duduk di ruang tamu, polisi tersebut menyerahkan sebuah amplop coklat.

"Tadi siang, saudara Tegar Dirgantara kami tahan sebab terbukti melakukan penggelapan uang kantor. Penangkapan tersebut atas dasar bukti yang diberikan pelapor, yakni dari CEO. Sampai saat ini kakak Anda kami tahan di kantor polisi. Silakan datang ke kantor, untuk penanganan kasus lebih lanjut."

Belum hilang rasa terkejut Alena, polisi tersebut langsung undur diri sebab masih banyak urusan yang harus ditangani.

"Penggelapan uang?" gumam Alena tidak percaya. Tanpa basa-basi ia bergegas menuju kantor polisi. Tegar harus menjelaskan semuanya secara langsung.

*****

Alena menjatuhkan badannya di sofa ruang tamu. Baru saja ia kembali ke rumah setelah menemui kakaknya yang ditahan di kantor polisi.

Ia sangat mengenal tabiat kakaknya. Bahkan sangat yakin bahwa kakaknya memang dijebak. Sayangnya tidak ada bukti kuat untuk mengatakan itu.

Tegar dituntut untuk mengembalikan uang yang telah digelapkan sebanyak 125 juta dan juga baru bisa bebas setelah menebus dengan uang sejumlah 25 juta. Total 150 juta yang harus ia kumpulkan.

Badannya terasa lemas. Bahkan Alena hanya memiliki waktu dua hari saja. Sesuatu yang sangat mustahil. Perlahan air mata menetes basahi pipi.

"Kemana aku harus cari uang?" Isak Alena putus asa.

HP miliknya bergetar. Alena membaca layar notifikasi yang muncul. Pesan dari CEO tempat ia bekerja. Penasaran ia buka isi pesan. Sebagai asisten pribadi, ia harus cekatan merespon sang bos.

From: Bima

To: Alena

Besok kita ada meeting dengan klien Jepang. Siapkan presentasinya dan saya tidak mau gagal.

Jari-jari lentik Alena mengetik layar dengan cepat. Membalas pesan dengan kalimat singkat. Bunyi pesannya 'baik Pak akan saya siapkan'.

Mendadak Alena memiliki ide sesaat setelah mengirim pesan. "Barangkali besok aku bisa meminjam uang dari Pak Bima," gumam Alena.

*****

"Sumpah, Dek! Kakak dijebak. Itu semua bukan kerjaan Kakak. Laporannya beda dengan yang Kakak buat. Kamu harus percaya Kakak." Tegar mencoba meyakinkan Alena. Keduanya kini duduk berhadapan dipisahkan oleh meja besar.

Alena terisak sedih. Digenggamnya kedua tangan kakaknya. "Ale tahu, Kak. Mustahil banget Kakak berani melakukan hal buruk kayak gitu. Cuman Ale bingung harus gimana."

Brak! Seseorang menggebrak meja cukup keras. Membuyarkan lamunan Alena. Tanpa sadar gegara terbayang memori pertemuan dengan kakaknya kemarin di kantor polisi, membuatnya diam melamun.

Alena mendongak ke sumber suara. Tampak wajah galak Bima yang menatapnya tajam. "Kamu niat ke sini untuk kerja apa melamun? Saya panggil dari tadi diam saja. Bosan kerja di sini?"

Alena menggeleng cepat. "Maaf, Pak. Janji nggak melamun lagi. Ini bahan presentasinya, Pak." Gadis itu menyodorkan satu map warna hitam. Bima menerima dengan muka masam.

"Setengah jam lagi kita berangkat. Klien minta meeting di luar." Bima berlalu masuk ke ruangannya.

Mengingat rencananya semalam, gadis itu memanfaatkan waktu selagi belum berangkat meeting ketemu klien. Ia berjalan mendekat ke ruangan Bima. Mengetuk pintu dengan sopan.

"Permisi, Pak. Saya ada keperluan penting untuk saya utarakan ke Bapak. Boleh luangkan waktu sebentar, Pak?" tutur Alena sesopan mungkin begitu mendapat perintah boleh masuk ruangan.

"Duduk sini!" perintah Bima dingin.

Gadis itu melangkah mendekati meja Bima, duduk di kursi yang tepat berhadapan dengan bosnya itu.

"Apa yang ingin kamu utarakan ke saya?" Bima bertanya tanpa basa-basi.

"Kalau boleh, saya mau pinjam uang. Nanti cara membayarnya saya cicil dengan uang gaji saya, Pak."

"Pinjam berapa?"

"Se..ser...seratus lima puluh, Pak."

Alena menjawab dengan sedikit terbata.

"Seratus lima puluh ribu?"

Alena menggeleng lemah. "Seratus lima puluh juta, Pak."

Mendengar jawaban Alena, membuat Bima yang semula terus fokus pada lembar dokumen di meja miliknya langsung beralih ke gadis itu.

"Saya nggak bisa. Terlalu besar," jawab Bima dingin. Ia kembali memeriksa dokumen.

"Saya mohon, Pak. Saya janji akan bayar dengan cara apapun. Saya benar-benar butuh uang itu," mohon Alena dengan muka melas.

Mendengar kalimat barusan, Bima tersenyum kecut. "Saya tidak akan beri syarat yang ringan, Alena. Kamu pasti tidak sanggup."

"Saya pasti sanggup. Saya akan usaha." Alena menatap yakin atasannya itu. Gadis itu sudah frustasi sebab tidak ada jalan untuk mencari uang sebanyak itu dalam waktu singkat.

Melihat sikap Alena yang sungguh-sungguh, Bima meletakkan dokumennya. "Saya beri kamu pinjaman asalkan kamu bersedia menjalani syarat yang saya minta."

Seolah mendapat setetes air di padang gersang, Alena tersenyum lega. Ia mengangguk setuju. "Baik, Pak."

"Kamu butuh uangnya kapan?"

"Paling lambat besok, Pak."

Bima bangkit berdiri dari kursinya, berjalan mendekati Alena. Sedikit membungkuk, ia bisikkan satu kalimat tepat di telinga Alena sebelum beranjak keluar ruangan. "Tepati janjimu."

Alena hanya mematung. Entah kenapa tiba-tiba ia memiliki firasat buruk. Menyesal juga kenapa tidak ia tanyakan dulu syaratnya sebelum mengiyakan.

"Besok jam 7 malam saya tunggu kedatangan kamu di apartemen. Jangan telat." Bima menutup pintu ruangan begitu menyelesaikan ucapannya. Derap sepatunya perlahan terdengar semakin menjauh dan hilang.

"Hufft... Setidaknya aku sudah dapat pinjaman untuk bebasin Kak Tegar. Aku nggak mau kakak terlalu lama mendekam di penjara. Apalagi dia tidak bersalah."

Alena bangkit berdiri, berjalan keluar ruangan dan kembali ke meja kerja. Ia harus menuntaskan beberapa dokumen sebelum menuju ruang meeting.

"Selesai," gumam Alena lega setelah lima menit ia selesaikan tugasnya.

"Alena!" panggil Bima yang entah sejak kapan tiba-tiba sudah berdiri di depan meja kerja gadis itu. "Ayo berangkat, klien sudah menunggu."

Alena hanya mengangguk patuh, bergegas bangkit. Keduanya berjalan keluar kantor menuju basement. Siang ini ada satu meeting dengan klien dari Jepang di luar kantor.

*****

"Kakak jangan khawatir. Ale besok pasti dapat uang pinjaman untuk selesaikan masalah kakak. " Gadis itu menahan isak tangisnya. Lembut ia usap foto milik kakaknya.

HP miliknya bergetar, tanda ada pesan masuk. Rupanya dari Bima.

From: Bima

To: Alena

Besok kamu off. Kita langsung bertemu di apartemen. Jangan terlambat.

Alena mengetik satu kalimat pendek.

From: Alena

To: Bima

Baik, Pak. Saya pasti tepat waktu.

"Semoga syarat yang diajukan tidak berat. Mending aku sholat dulu, deh. Biar tenang." Alena bangkit dari tempat tidur menuju ruang sholat.

Sementara di seberang sana, Bima tersenyum tenang. "Pucuk dicinta, ulam pun tiba," ujar Bima pelan.

Terpopuler

Comments

🎀

🎀

semangat thor, jangan lupa mampir ya 🤗

2024-05-06

1

Bilqies

Bilqies

hai kak aku mampir niih /Smile/

2024-04-26

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!