Naya seorang istri yang sedang hamil harus menerima takdir ditinggal suaminya karena kecelakaan. Pada saat sedang dalam perjalanan ke kampung halaman, suaminya yang bernama Ammar jatuh dari Bus antar kota yang ugal-ugalan.
Sebelum Ammar tewas, dia sempat ditolong oleh sahabatnya yang kebetulan mobilnya melintas di jalan tol. Tak disangka Ammar menitipkan amanah cinta kepada sahabatnya bernama Dikara yang berprofesi sebagai dokter.
Padahal saat itu Dikara sudah bertunangan dengan seorang wanita yang berprofesi sama dengannya.
Akahkah Dika menjalani amanah yang diberikan sahabatnya? Atau dia akan tetap menikahi tunangannya?
Apakah Naya bersedia menerima Dikara sebagai pengganti Ammar?
Cinta adalah amanah yang diberikan Allah SWT terhadap pasangan. Namun bagaimana jadinya jika amanah itu dinodai oleh pengkhianatan?
Yuk lah kita baca selengkapnya kisah ini!
Happy reading!💕
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon FR Nursy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8 Tindakan Buat Naya
Burung wallet berputar di atas area rumah sakit. Seolah ikut berkabung atas meninggalnya Ammar, menciptakan suasana yang murung dan menyedihkan.
Udara yang tadinya cerah dan hangat, kini terasa dingin dan menyakitkan. Bayangan burung wallet yang hitam dan menggelapkan langit, seolah menjadi simbol kesedihan dan kehilangan yang mendalam.
Naya tidak bisa menahan air mata ketika memikirkan Ammar yang telah pergi, meninggalkan kenangan indah dan luka yang terus terasa menyesakkan dada.
Naya menatap jasad suaminya yang sudah kaku. Air mata Naya kembali jatuh saat ia memandang wajah suaminya yang sudah tidak bernyawa. Ia merasa sedih dan kehilangan yang sangat mendalam.
Naya mengulurkan tangannya dengan bergetar dan menyentuh wajah suaminya dengan lembut, seolah-olah ingin mengucapkan selamat tinggal kepada orang yang paling dicintainya.
Naya menangis dengan keras, merasa seperti hatinya telah hancur menjadi serpihan-serpihan kecil. Ia merasa kehilangan yang sangat besar, karena suaminya yang telah menjadi teman, sahabat, dan cinta sejatinya telah pergi untuk selamanya. Naya memeluk jasad suaminya dengan erat, seolah-olah tidak ingin melepaskannya.
"Mas Ammar... Mas Ammar... jangan pergi, aku tidak bisa hidup tanpamu...Bagaimana nasibku dan bayi kita kalau tidak ada kamu, Mas..." Naya berbicara dengan suara yang terputus-putus, sambil menangis dengan keras.
Bu Nia mendekati Naya dan memeluknya dari belakang, mencoba menenangkan gadis muda yang sedang berduka.
"Neng, aku ada di sini untukmu. Aku akan membantu kamu melewati masa sulit ini. Jangan khawatir, kamu tidak sendirian." Bu Nia berbicara dengan suara yang lembut dan penuh empati, mencoba membantu Naya mengatasi kesedihannya.
Naya merasa sedikit tenang dengan kehadiran Bu Nia. Ia masih menangis, tapi tidak sekeras sebelumnya. Ia merasa bahwa ada seseorang yang peduli dan mendukungnya dalam masa sulit ini.
Naya membalikkan badannya dan memeluk Bu Nia dengan erat, merasa sangat berterima kasih atas kebaikan dan dukungan yang diberikan oleh Bu Nia.
Bu Nia membalas pelukan Naya dengan erat, memberikan kehangatan dan dukungan yang sangat dibutuhkan oleh Naya saat itu.
"Neng, kamu pasti kuat. Kamu pasti bisa melewati ini. Aku akan selalu ada di sini untukmu," Bu Nia berbicara dengan suara yang lembut dan penuh empati, mencoba membantu Naya yang merasa lebih kuat dan percaya diri.
Naya merasa sedikit lebih tenang dan kuat setelah mendengar kata-kata Bu Nia. Ia merasa bahwa ada seseorang yang percaya padanya dan mendukungnya dalam masa sulit ini. Naya memundurkan dirinya dari pelukan Bu Nia dan memandangnya dengan mata yang berair.
"Terima kasih, Bu Nia. Aku sangat berterima kasih atas kebaikan dan dukungan Ibu."
Bu Nia tersenyum lembut dan mengusap air mata Naya dengan lembut.
"Tidak perlu berterima kasih, Neng. Aku hanya melakukan apa yang seharusnya aku lakukan sebagai manusia. Sekarang, mari kita fokus pada kesehatanmu dan bayimu. Kita harus memastikan bahwa kamu dan bayimu baik-baik saja."
Naya mengangguk dan tersenyum lembut, merasa sangat berterima kasih atas kepedulian dan perhatian Bu Nia.
"Baik, Bu Nia. Aku akan melakukan apa yang Ibu sarankan. Terima kasih lagi atas kebaikan Ibu." Naya berbicara dengan suara yang lembut dan sopan, merasa sangat bersyukur telah bertemu dengan Bu Nia.
Bu Nia tersenyum kembali dan memeluk Naya dengan erat.
"Aku senang bisa membantu kamu, Neng. Sekarang kita kembali ke kamar lagi ya! Kamu harus istirahat. Kamu harus kuat, tidak boleh stres," Bu Nia berbicara dengan suara yang lembut dan penuh empati, sambil membantu Naya duduk kembali di kursi roda hendak menuju kamar.
Naya menangis dengan keras, merasa sakit dan lemah. "Bu Nia...Aaauuuww...Aaaa aku tidak kuat... sakitnya terlalu hebat..." Naya berbicara dengan suara yang terputus-putus, sambil memegang perutnya yang sakit.
Bu Nia segera memeluk Naya dan membantunya berbaring di tempat tidur.
"Neng, jangan khawatir. Aku ada di sini untukmu. Aku akan memanggil dokter sekarang juga." Bu Nia berbicara dengan suara yang tenang dan meyakinkan, sambil segera memanggil dokter untuk membantu Naya.
Bu Nia berteriak ketakutan saat melihat Naya pingsan. "Neng! Naya! Bangun, Neng!" Bu Nia berusaha membangunkan Naya, tapi Naya tidak merespons. Bu Nia segera memanggil dokter dan perawat untuk membantu Naya.
Dokter dan perawat segera datang dan membawa Naya ke ruang gawat darurat. Mereka segera melakukan pemeriksaan dan memberikan perawatan darurat kepada Naya.
Bu Nia menunggu di luar ruangan, berdoa agar Naya segera sadar dan baik-baik saja.
Setelah beberapa saat menunggu, dokter keluar dari ruang gawat darurat dan mendekati Bu Nia.
"Bu Nia, Bu Naya sedang dalam keadaan tidak stabil, sehingga kami harus melakukan tindakan operasi cesar secepatnya,"
Bu Nia mengangguk, seraya terkejut dan khawatir ketika mendengar dokter memberikan penjelasan yang membuatnya memundurkan kakinya.
"Operasi? Apa yang terjadi, Dokter? Apakah Naya dan bayinya dalam bahaya?" Bu Nia bertanya dengan suara yang terputus-putus dan penuh kekhawatiran.
Dokter mengangguk dan menjelaskan dengan suara yang tenang dan profesional.
"Bu Nia, Bu Naya mengalami pendarahan internal yang cukup parah akibat kejutan emosional yang dialaminya. Kami harus melakukan operasi untuk menghentikan pendarahan dan memastikan keselamatan Naya dan bayinya," dokter berhenti sejenak, lalu melanjutkan, "Kami akan melakukan yang terbaik untuk menyelamatkan Naya dan bayinya, tapi kami membutuhkan izin Anda untuk melakukan operasi tersebut."
Bu Nia terlihat sangat khawatir dan cemas, tapi ia mengangguk dengan cepat tanpa memikirkan biaya yang harus dikeluarkan.
"Ya, ya, silakan lakukan operasi. Tolong selamatkan Naya dan bayinya," Bu Nia berbicara dengan suara yang terputus-putus dan penuh emosi. Dokter mengangguk dan tersenyum lembut,
"Baik, Bu Nia. Kami akan segera melakukan operasi. Silakan Ibu urus administrasinya di ruang pendaftaran, sementara kami akan mempersiapkan segala sesuatu untuk operasi. Kami akan segera memanggil Ibu ketika semua sudah siap," Bu Nia mengangguk, seraya segera beranjak menuju bagian pendaftaran.
Bu Nia merasa dadanya sesak ketika melihat jumlah biaya operasi yang harus dibayarkan. Ia tahu bahwa biaya itu sangat besar dan tidak mampu dibayarkan dengan gaji suaminya yang pas-pasan.
Ia merasa cemas dan khawatir tentang bagaimana cara membayar biaya operasi tersebut.
"Mbak apakah tidak ada keringanan untuk istri korban kecelakaan pak Ammar? Tolong lah Mbak kasihan bu Naya. Dia harus melahirkan dengan operasi karena jiwanya tertekan oleh situasi," ujar Bu Nia memohon pada petugas kesehatan bagian pendaftaran.
Petugas kesehatan bagian pendaftaran, Mbak Diana, menatap Bu Nia dengan wajah yang penuh empati. Ia mengambil napas dalam-dalam sebelum menjawab,
"Baik, Bu. Saya akan mencoba membantu Anda. Tapi saya harus meminta izin dari atasan saya terlebih dahulu. Silakan menunggu sebentar, ya!" Mbak Diana kemudian mengangkat telepon dan mulai berbicara dengan seseorang.
Bu Nia menunggu dengan hati yang berdebar, berharap bahwa ada jalan keluar untuk membantu Naya.