“Bapak… selain mesum, juga nyebelin, ngeselin, rese, arogan dan sudah tua -- dewasa --. Pokoknya semua Bapak borong,” teriak Ajeng.
“Tambahkan, tampan dan membuat kamu jatuh cinta,” sahut Gentala.
Ajeng berada di dalam situasi disukai oleh rekan kerjanya yang playboy, berusaha seprofesional mungkin karena dia membutuhkan pekerjaan ini. Siapa sangka, Gentala – GM baru – yang membuat Ajeng kesal setengah hidup sejak pertama bertemu berhasil menolong gadis itu dari perangkap cinta sang playboy.
Namun, aksi heroik Gentala malah berubah menjadi bencana ...!
===
IG : dtyas_dtyas
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 32 ~ Pisau Atau Golok
Gentala
Menikah! Ini bukan pernikahanku yang pertama, tapi kali ini rasanya lebih mendebarkan dari pernikahanku bersama Yasmina. Ajeng, gadis ini sudah mengusikku sejak pertama melihatnya bahkan sampai kemarin aku masih ketar ketir khawatir dia membatalkan pernikahan kami.
Selain perbedaan umur kami sangat mencolok, ada Fabian yang masih mengharapkannya dan dia bisa mendapatkan pria yang seumuran dengannya atau beberapa tahun di atasnya. Bukan pria dewasa seperti aku.
Aku hampir tidak bisa lantang melantunkan ijab qabul, karena terlalu terpesona. Siapa sangka, gadis yang kesehariannya ceroboh dan banyak bicara bisa begitu cantik dan mempesona dengan balutan kebaya.
Bahkan saat dia merengek, “Pak Genta, pegel.” Rasanya ingin aku seret ke kamar dan ku ajak bermanja.
Sekian jam berdiri dan menyapa tamu cukup membuat lelah, apalagi dua minggu kemarin aku harus memantau persiapan dan mengawasi jalannya usaha pribadiku juga Go TV. Malam ini aku putuskan hanya tidur saja, toh masih ada malam-malam berikutnya.
Namun, sampai di kamar dan hanya berdua dengan Diajeng lelahku hilang. Aku meminta dia melepas gaunnya di hadapanku. Dia malu tapi mau, mau menuruti permintaanku.
Aku tak tahan dan memangsanya.
“Pak Genta ….”
Aku menyentuh area sensitifnya, bahkan cium4nku bukan hanya di bibirnya. Turun ke bawah, melewati dua gundukan dan akhirnya sampai di bawah perut. Dia mengeraang dan melenguuh.
Oke sudah saatnya.
Dia sempat menoleh ke arah tongkat sakti yang sudah menegang sempurna.
“Pak, aku takut. Pasti sakit.”
Aku merutuk dalam hati, menyadari kalau dia masih orisinil. Kubuat dia kembali melayang dengan sentuhan dan pagutan, dia mulai mende_sah dan aku berhasil menghentak masuk dan diam sesaat karena dia menjerit dan mencengkram punggungku.
Rasanya aku seperti pria brengs*k, yang menyakitinya hanya karena begitu bergair*h. Sudah kepalang tanggung, milikku sudah terbenam sempurna. Perlahan aku bergerak, dia gelisah dan perlahan menikmati. Dessahannya membuatku semakin semangat untuk memacu. Setelah sampai pada puncak kenikmatan surga dunia, aku mengulanginya lagi dan dia tidak menolak.
Aku masih sanggup tapi dia sudah begitu lelah, bahkan matanya sudah terpejam.
“Masih mau lanjut?” tanyaku dengan tubuh kami masih bersatu.
Dia hanya menggelengkan kepala dan memukul pelan agar aku bergeser. Tanganku terjulur untuk mengusap keringat di dahinya dan menarik selimut. Aku usap pipinya dan berbisik, “Aku mencintaimu, Diajeng.”
Entah dia menyadari atau tidak, sepertinya dia sudah terlelap dan hanya membalas dengan gumaman.
...***...
Aku mengerjapkan pelan mataku dan menyadari ini bukan kamarku. Saat beranjak bangun, aku terkejut karena tubuhku polos dan ada Ajeng di sampingku.
“Shittt, kami sudah menikah.”
Setelah sekian tahun aku merasakan pagi sendirian, kini ada Diajeng. Gadis yang berhasil aku jadikan wanita seutuhnya. Bibirku menyungging senyum, mengingat apa yang kami lakukan semalam. Lebih tepatnya aku yang membuat dia pasrah.
“Aku butuh berendam,” gumamku lalu turun dari ranjang.
Aku putuskan sarapan di kamar, Ajeng tidak mungkin bisa berjalan normal setelah apa yang kami lalui semalam.
“Ajeng, bangunlah!”
Tidak ada jawaban, aku pun duduk di sampingnya berbaring.
“Ajeng,” ujarku sambil menepuk pipinya
Dia hanya bergumam.
“Ajeng,” panggilku lalu menyibak selimut dan membuat tanda lain di ceruk lehernya. Ternyata berhasil, dia menggeliat dan ….
“Aaaa.”
Bruk.
“Shittt, Ajeng!” teriakku. Bagaimana mungkin perempuan mungil sepertinya bisa menendangku hingga tersungkur.
“Eh. Pak Genta. Maaf … aku refleks.” Dia menggaruk kepalanya dan tidak menyadari kalau tubuhnya polos dan selimut sudah merosot sejak tadi.
“Kamu sengaja menggodaku atau bagaimana?”
“Eh.”
“Percuma, aku sudah lihat semua,” ujarku ketika dia menarik selimut menutupi tubuh bagian depan. “Mandilah, setelah itu kita sarapan.”
“Ini jam berapa?”
Aku menunjuk jam dinding.
“Hahh. Udah siang banget, pantesan lapar.”
“Mau aku bantu? Aku bisa gendong kamu sampai toilet atau bantu kamu membersihkan ….” Aku menunjuk tubuhnya dengan dagu.
“Ck, aku bisa sendiri. Dibantu Pak Genta yang ada bukan mandi.”
Dia menurunkan kakinya dari ranjang dan …
“Auw. Kok sakit ya, perih gitu. Itunya Pak Genta, pisau atau apa sih. Kok rasanya kayak di iris.”
Hahh, aku memijat dahiku mendengar teriakannya dan apa dia bilang. Pisau?
“Ini bukan pisau, tapi golok.”
\=\=\=\= beberapa kata sengaja di plesetkan, menghindari sensor 😀
ato jangan-jangan .....