NovelToon NovelToon
Tempus Amoris

Tempus Amoris

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Keluarga / KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga)
Popularitas:4.9k
Nilai: 5
Nama Author: Uppa24

realita kehidupan seorang gadis yang dari kecil cacat akan kasih sayang yang sebenarnya

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uppa24, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

kenapa dia muncul!!

Aluna menarik napas dalam-dalam, seperti mencerna kata-kata itu. "Terkadang aku merasa seperti beban bagi orang lain," gumamnya, hampir tak terdengar.

Elvanzo menatapnya dengan serius. "Kau bukan beban. Kau hanya... belum menemukan orang yang tepat untuk berbagi semuanya."

Dalam hatinya, Elvanzo merasa sebuah langkah kecil telah tercapai. Dia tahu, mungkin tembok Aluna belum sepenuhnya runtuh, tetapi dari perubahan sikap yang mulai ia tunjukkan, ada tanda bahwa sedikit demi sedikit, gadis itu membuka hatinya. Dan itu sudah cukup baginya untuk merasa bahwa langkahnya tidak sia-sia.

“Terima kasih,” ucap Aluna tiba-tiba. Kata-kata yang begitu sederhana, tetapi mengandung banyak makna.

Elvanzo hanya mengangguk, tidak tahu harus berkata apa lagi. Namun, dalam diam, dia tahu bahwa apapun yang terjadi setelah ini, ia sudah mulai meruntuhkan sebagian dari tembok yang telah lama membekap Aluna. Seiring berjalannya waktu, Elvanzo merasa semakin yakin bahwa kepercayaannya kepada gadis itu akan terus tumbuh—demikian pula kebukaannya, seiring dengan perasaan yang semakin jelas antara mereka berdua.

...~||~...

Hari-hari berlalu setelah dinas luar kota, dan meskipun perjalanan itu membawa banyak perubahan dalam hubungan mereka, Elvanzo masih merasa ada celah antara dirinya dan Aluna—meskipun itu jauh lebih kecil dibandingkan sebelumnya.

Pada awalnya, Aluna masih menunjukkan sikap dingin, namun ada sesuatu yang berbeda. Kini, senyuman kecil sering terukir di wajahnya saat mereka berbincang, atau tatapannya terasa lebih terbuka daripada yang dulu, meskipun kadang terkesan masih enggan memperlihatkan kelemahan. Ada tawa ringan ketika Elvanzo membuat candaan, dan terkadang, dalam keheningan, Aluna akan memulai percakapan kecil tentang hal-hal yang tidak berhubungan langsung dengan pekerjaan. Sebuah tanda bahwa pelan-pelan, tembok yang terbentuk sejak lama mulai retak, bahkan jika hanya sedikit.

Namun, Elvanzo sadar bahwa meski ada banyak perbaikan, sesuatu masih tetap terasa ganjil. Sebuah jarak yang tak tampak dengan mata telanjang, tapi bisa ia rasakan di setiap interaksi, seperti ada dinding yang terbentuk begitu kokoh di antara mereka—tempat yang tak mudah untuk ia sentuh.

Pagi itu, saat mereka selesai bekerja dan duduk bersama di kantin, Elvanzo mengamati Aluna, yang kini lebih tenang, meskipun terkadang matanya terarah pada sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. Gadis itu selalu terlihat sangat terjaga—seperti menahan semua perasaan yang lebih dalam. Tapi, dari perubahan sikap kecil yang ia perlihatkan, Elvanzo tahu bahwa ia sudah semakin dekat, meskipun perjalanan itu jauh dan penuh dengan keraguan.

“Aluna,” ucap Elvanzo dengan nada lembut, untuk pertama kalinya mencoba membuka percakapan lebih dalam setelah sekian lama keheningan menjerat mereka.

Aluna menatapnya, sedikit terkejut dengan suara lembut itu. Namun, hanya ada kekosongan dalam tatapannya, seolah ia belum tahu apakah harus menjawab atau membiarkan kata-kata itu pergi begitu saja.

"Ada sesuatu yang ingin kau bicarakan? Atau… hanya ingin bicara tentang hal lain?" lanjut Elvanzo, berharap mendapat sedikit jawaban atau reaksinya.

Aluna mengerutkan keningnya, seolah mempertimbangkan sesuatu. Setelah beberapa detik hening yang terasa seperti berjam-jam, ia menjawab singkat, "Tidak ada. Hanya… sudah lebih baik."

Tanggapan yang dingin, tetapi Elvanzo bisa melihat sinyal kecil di dalam matanya—sebuah sedikit kelembutan yang selama ini sulit ia lihat. Itulah jawaban yang ia cari, meskipun ia tahu bahwa ini bukanlah akhir dari pertanyaan-pertanyaan dalam benaknya.

Seusai mereka selesai makan siang, suasana kembali cair meski ada kekakuan yang masih tersisa di dalam dialog mereka. Elvanzo tahu bahwa ia tidak akan bisa merobohkan jarak itu secepat mungkin. Namun, dengan setiap langkah kecil yang Aluna ambil, ia merasa ada sesuatu yang mulai menyatu di antara mereka. Kadang-kadang, itu cukup untuk memberinya harapan meskipun jalan mereka masih panjang.

Seiring malam semakin larut, dan mereka kembali ke klinik, Elvanzo hanya bisa menghela napas panjang. “Jarak itu,” pikirnya. “Mungkin tak ada cara cepat untuk menghapusnya. Namun, kita pasti bisa melalui ini bersama.” Dengan itu, ia mempersiapkan dirinya untuk lebih banyak sabar, menunggu tembok itu benar-benar runtuh, langkah demi langkah.Keeseokan harinya, kampus kembali ramai dengan kesibukan mahasiswa yang datang dan pergi. Aluna berjalan perlahan menyusuri koridor setelah kelas berakhir. Namun, ada sesuatu yang tidak beres. Seakan perasaan yang mendalam itu kembali menghinggapi dirinya. Ketika ia melangkah lebih jauh menuju taman, sesosok bayangan tampak mendekat dengan langkah yang tak pernah ingin ia dengar lagi.

Keesokan harinya di kampus setelah kelas aluna memilih berjalan keluar sendiri tanpa menunggu mery dan tiba-tiba Kekalutan seketika kembali melanda dalam diri Aluna. Suara langkahnya yang semakin dekat membuat detak jantungnya semakin cepat, dan sesak yang sempat terkubur dalam-dalam itu kini muncul lagi, menyesakkan dada. Tanpa ia sadari, kakinya terhenti sejenak, menunggu apa yang akan terjadi.

Jeksen berdiri di depannya, wajahnya tampak dingin dan penuh dengan kemarahan yang disembunyikan. Ia mendekat, mendekati Aluna perlahan, tak memberi ruang baginya untuk pergi.

“T-tidak…” suara Aluna nyaris tertelan dalam perasaannya yang kian penuh sesak. Ia ingin bergerak, berlari jauh dari pria itu, tetapi kakinya terasa begitu kaku.

Jeksen menahan dagunya, menarik wajah Aluna lebih dekat dengan paksa. “Apa kamu kira dengan kabur dua tahun yang lalu semuanya akan selesai, Aluna?” Tanyanya, suaranya seperti racun yang menggerogoti setiap kata yang keluar. Wajahnya tampak penuh obsesi, dengan pandangan yang mengguncang.

“Lalu kau datang kembali, berpikir aku sudah tamat, kan?” lanjut Jeksen, senyumannya kian mengerikan, seolah hanya dirinya yang boleh memiliki Aluna. “Hahaha, tidak akan pernah ada akhir untuk kita. Selama kau hidup, kau tetap milikku, Aluna. Tidak peduli berapa kali kau pergi. Tanda di tubuhmu itu—tidak akan pernah hilang.”

Jeksen dengan tangan kasar menahan dagu Aluna, seperti ingin memastikan bahwa tidak ada tempat lagi baginya untuk lari. Segala yang ada di dirinya—niat, ancaman, dan obsesi—terpancar jelas dari tatapannya yang penuh api kebencian. Semakin mendekat, Aluna bisa merasakan hawa panas itu.

“Jangan sentuh aku!” ucap Aluna lirih, namun bergetar dalam cemas. “Kau tidak berhak…”

Namun, Jeksen hanya tertawa kecil dan tidak bergeming. Pandangannya hanya semakin intens, seolah berharap untuk melihat lebih banyak rasa ketakutan di mata Aluna. Segalanya seakan terkendali oleh tangan pria itu yang begitu memaksakan kekuasaannya.

Di hadapan mereka, terasa seolah dunia berhenti berputar. Aluna ingin sekali melepaskan diri, namun ia seolah terhimpit dalam ikatan masa lalu yang tak bisa dilepaskan, yang tak kunjung hilang.

Akhirnya, dalam keheningan yang menekan itu, Aluna mencoba mengalihkan pandangannya, menghindari tatapan Jeksen yang membuat dadanya makin sesak. Perlahan, ia menarik napas dalam-dalam, berusaha tenang, meskipun jantungnya seperti mau keluar dari rongga dada.

“Kenapa kamu masih di sini?” tanya Aluna, berusaha mengendalikan emosinya yang mulai goyah. “Jangan kira semuanya akan sama, Jeksen. Kau salah jika pikir kau bisa mengatur hidupku.”

Namun, tatapan pria itu justru semakin tajam, mata yang penuh dengan amarah dan keterikatan yang tak terungkapkan, seolah mencoba meruntuhkan semangat Aluna. “Kau tidak bisa kabur dariku, Aluna.” Sebuah suara rendah dan penuh ancaman bergema dalam kesunyian yang mencekam.

Aluna mencoba menarik diri, namun Jeksen lebih kuat, tetap mendekatkan wajahnya ke wajah Aluna.

Tidak ada yang bisa dilihat oleh Aluna selain tatapan pria itu yang kini mulai membuat segala kekuatan dan keberanian yang ia miliki mulai retak sedikit demi sedikit.

Namun saat itu juga, untuk pertama kalinya, Aluna memberanikan diri untuk berbicara lagi, dengan tekad yang jelas. “Aku tidak akan kembali lagi. Lepaskan aku, Jeksen!” ujar Aluna, berusaha melepaskan diri.

Begitu penuh dengan kebencian, dan juga kekuatan baru dalam dirinya, suara Aluna kali ini berbeda. Ia siap untuk menghadapi masa lalunya, meskipun entah berapa kali ia harus melakukannya.

1
Lilovely
Mangat thor/Applaud/
Anonymous
semangat
Anonymous
aku suka banget ceritanya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!