Citra adalah seorang gadis culun yang dijodohkan oleh kakeknya pada pria tampan dan kaya raya.
Dan dia juga sengaja menyembunyikan identitasnya pada semua keluarganya, tidak terkecuali pada suaminya sendiri.
Karena dia ingin melihat, apakah suaminya benar-benar mencintainya atau tidak.
Apakah Citra dan Rifki bisa bersama lagi? setelah Citra mengetahui kalau Rifki dan Syasi sudah punya anak.
Sedangkan Syasi adalah adik tirinya Citra sendiri.
Bagaimana kisahnya? yuk intip terus perjalanan kisah cinta antara Rifki dan Citra di Rahasia Menantu Culun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon riski iki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rahasia Menantu Culun Bab 32
Rahasia Menantu Culun Bab 32
Namun disaat kedua sahabat itu sedang memikirkan bagaimana langkah selanjutnya tentang Brenda yang tiba-tiba meminta warisan.
Tiba-tiba dari luar terdengar suara seseorang mengetuk pintu, dan hal itu mampu membuat Citra dan Robin saling melirik satu sama lain.
Sebab, mereka berdua takut kalau itu adalah Brenda. Karena perempuan seperti Brenda tidak akan mudah mundur, jika keinginannya belum terpenuhi.
Hal itu pulalah yang membuat Citra was-was, kalau perempuan itu kembali berulah.
"Bagaimana ini? apa yang harus aku lakukan? apakah aku akan membiarkan Brenda menguasai semua harta yang aku miliki, padahal selama ini aku sudah bersusah-payah untuk berada di posisi seperti sekarang," Citra bergumam sambil mengetuk-ngetukkan pulpen yang dia pegang di atas meja.
Robin pun menenangkan Citra, dengan mengatakan kalau semuanya akan baik-baik saja. Lalu dia menanyakan pada Citra, apakah dia diperbolehkan untuk membuka pintu.
Tok...tok...tok.
Suara pintu kembali terdengar, dan kali ini suaranya terdengar cukup kencang. Hingga membuat Citra menoleh seketika ke arah pintu.
Kemudian dia mengangguk setuju.
"Silahkan buka pintunya Robin, dan jika itu Brenda aku harus memberikan pelajaran padanya," ujar Citra sambil berdiri dari tempat duduk.
Robin tersenyum.
"Nah, gitu dong harus berani, kalau perlu jebloskan saja ke dalam jeruji besi. Sebab, kita 'kan sudah mengantongi satu bukti kejahatannya," jawab Robin lalu dia melangkah perlahan menuju pintu.
Sedangkan Citra, dia menarik nafas dalam. Karena sebenarnya dia tidak tega menyakiti Brenda. Sebab, bagaimanapun wanita itu pernah menjadi ibu sambungnya.
"A-Angga," ucap Robin begitu melihat sosok yang berdiri di hadapannya.
Angga hanya menyunggingkan senyuman, lalu dia menanyakan apakah Citra berada di dalam.
"A-ada, silahkan masuk," jawab Robin.
Sebenarnya Robin begitu tersentak saat melihat kedatangan Angga, padahal hari ini Angga sama sekali tidak mempunyai janji dengan Citra. Untuk apa gerangan laki-laki tampan nan terkenal pleboy seperti Angga datang menemui Citra?
"Citra," panggil Angga begitu melihat sosok wanita yang lama ia rindukan.
Citra menoleh, kemudian dia tersenyum tipis.
"Angga, silahkan duduk," ucap Citra merasa lega karena ia pikir tadi orang yang mengetuk pintu itu adalah Brenda.
Untuk sekedar berbasa-basi, kemudian Citra menanyakan untuk apa Angga datang menemui dirinya, padahal mereka berdua tidak mempunyai janji.
Angga lagi-lagi menyunggingkan senyuman, lalu dia menatap wajah Citra dengan dalam.
"Memangnya kalau aku ingin bertemu denganmu harus ada janji," ucap Angga sambil mendudukkan bokongnya tepat di atas sofa.
"B-bukan seperti itu," jawab Citra terbata kemudian dia duduk di dekat Angga.
Angga terkekeh, saat melihat reaksi yang Citra tunjukan. Lalu dia mengutarakan maksud dan tujuannya datang ke kantor hanya untuk mengajak Citra makan siang di luar.
Citra terdiam sejenak, lalu dia mengatakan kalau dirinya tidak bisa menemani Angga, karena pekerjaannya saat ini masih menumpuk.
Angga terus saja membujuk Citra, hingga mau tidak mau akhirnya wanita itu menyetujui ajakan Angga.
"Baiklah, tapi hanya sebentar," ujar Citra.
Angga tersenyum, rupanya ia tidak sia-sia mengeluarkan rayuan maut, agar Citra mau menyetujui ajakannya.
"Baiklah, itu tidak masalah, asal kamu bersedia menemaniku hatiku sudah merasa bahagia," ujar Angga disertai senyuman.
*****
Di kediaman keluarga Bagaskara
Akhir-akhir ini Rifki seringkali mengurung diri di dalam kamar, ia merasa menyesal karena dulu telah menyakiti perasaan Citra.
Dan sekarang bagaimanapun dia berusaha memperbaiki hubungannya dengan Citra, wanita itu tetap tidak mau menerimanya kembali.
Seperti dua hari yang lalu, masih membekas di ingatan Rifki kalau wanita yang dia cintai itu kembali menyodorkan berkas surat cerai padanya.
Namun karena dia belum siap untuk bercerai dengan Citra, ia terpaksa harus pura-pura pingsan demi menghindar dari desakan Citra untuk menandatangani surat cerai mereka.
"Apa yang harus aku lakukan agar Citra mau menerima ku kembali, apakah aku harus mengancam atau menculiknya," begitu banyak ide-ide gila yang muncul di dalam pikiran Rifki saat ini.
Namun walaupun demikian, Ia harus berpikir jernih, jika tidak ingin Citra semakin jauh darinya.
"Akh…!" teriaknya frustasi sambil menjambak rambutnya sendiri.
Dalam waktu yang bersamaan, Syasi tiba-tiba masuk ke dalam kamar, keningnya berkerut saat mendengar suara teriakan suaminya.
"Mas, kamu kenapa? apa kamu sakit?" tanya Syasi kemudian dia menempelkan punggung tangannya di kening Rifki.
Rifki menatap tajam ke arah Syasi, lalu dia menepis tangan Syasi dari keningnya dengan cukup kasar.
"Kau tidak perlu sok-soan perhatian padaku, dan sekarang lebih baik kamu pergi dan tinggalkan aku sendiri," usir Rifki pada Syasi.
"Mas, aku hanya…!" ucap Syasi terpotong karena Rifki menatapnya dengan tajam.
"Hanya apa hah…! ini semua gara-gara kamu, coba kalau dulu kamu bisa bersabar sedikit dan mau mendengarkan aku, Citra tidak akan pernah keluar dari rumah ini, dan aku masih bisa bersama dengannya," bentak Rifki.
Syasi yang mendengar ocehan suaminya, dirinya mulai tersulut emosi, apalagi Rifki membicarakan soal Citra darahnya seketika mendidih.
"Bukannya dulu kamu tidak mencintainya, bahkan kamu dengan tega menyiksa dirinya setiap hari. Dan sekarang setelah dia pergi kamu malah menyalahkan aku," Syasi menggelengkan kepala saat Rifki menyalahkan dirinya.
Sebenarnya Syasi sangat emosi, kala Rifki membicarakan soal Citra dihadapannya, tapi mengingat akhir-akhir ini Rifki selalu mengurung diri di dalam kamar akhirnya dia pun mengalah, dan memilih pergi meninggalkan Rifki sendiri di dalam kamar.
Brak…
Syasi membanting pintu kamar itu dengan sangat kencang, hingga membuat Rifki sampai terperanjat.
Namun walaupun begitu, ia lebih memilih bungkam dan kembali memenangkan pikiran, karena tadi sempat tersulut api emosi. Dan bodohnya, ia malah menyalahkan Syasi atas kepergian Citra dari rumahnya.
Meskipun itu memang kenyataan, tapi tidak seharusnya ia menyalahkan Syasi seorang diri.
Karena akar dari semua masalah ini adalah dirinya sendiri.
Rifki menarik nafas dalam, kemudian dia memilih merebahkan tubuh di atas ranjang dan perlahan dia mencoba memejamkan mata. Berharap agar secepatnya ia masuk ke alam mimpi.
Namun, sekuat apapun dia mencoba memejamkan mata, tapi tetap saja bola matanya tidak mau terpejam.
Hingga akhirnya dia memilih pergi ke kamar mandi untuk berendam air hangat, berharap kegelisahan dan kegundahan hatinya akan sirna.
****
Syasi yang tidak terima Rifki menyalahkan dirinya atas kepergian Citra, kemudian dia berjalan tergesa menuju kamar mertuanya. Dan memilih mengadukan semua apa yang barusan dikatakan oleh Rifki kepada dirinya.
Tok...tok...tok.
Siska yang sedang bersiap-siap pergi ke Mall, begitu terhenyak mendengar suara ketukan pintu. Dan dirinya juga cukup kesal karena telah mengganggu aktivitasnya.
"Masuk, pintunya tidak di kunci," ucap Siska akhirnya.
Syasi yang mendengar suara ibu mertuanya menyuruhnya untuk masuk, iapun langsung mendorong pintu kamar itu dengan kasar.
Siska menoleh, begitu mendengar suara pintu itu didorong kasar oleh seseorang.
"Syasi," panggilnya dengan kening berkerut kemudian dia mengarahkan pandangannya pada wajah Syasi.
aneh
hnya dlm novel perempuan itu bego dlm cinta.tp dlm nyata perempuan itu rooaarrr