The World Where You Exist, Become More Pleasant
_______
"Suka mendadak gitu kalau bikin jadwal. Apa kalau jadi pejabat tuh memang harus selalu terburu-buru oleh waktu?"
- Kalila Adipramana
_______
Terus-terusan direcoki Papa agar bergabung mengurus perusahaan membuatku nekat merantau ke kabupaten dengan dalih merintis yayasan sosial yang berfokus pada pengembangan individu menjadi berguna bagi masa depannya. Lelah membujukku yang tidak mau berkontribusi langsung di perusahaan, Papa memintaku hadir menggantikannya di acara sang sahabat yang tinggal tempat yang sama. Di acara ini pula aku jadi mengenal dekat sosok pemimpin kabupaten ini secara pribadi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rsoemarno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
03.) Pertemuan
Chapter 3: Gathering
Konsep acara gathering ormas ini berbeda dari acara-acara serupa yang biasa kudatangi bersama Mama. Meski aktif mengikuti organisasi sewaktu masih kuliah, aku tidak pernah bersedia menghadiri undangan dari pemerintah yang masuk ke organisasi.Ada orang lain yang lebih kompeten mewakili organisasi dalam acara-acara tersebut. Karena itu aku cukup kaget dan canggung mendapati vibes acara yang berbeda dari biasanya.
Untung saja ada Renata yang terlihat cukup paham tentang bagaimana jalannya acara yang diselenggarakan pemerintah.
“Mbak Kalila belum pernah datang ke acaranya pemerintah ya?” komentar Renata sesaat setelah kami turun dari mobil.
Aku menggeleng. “Belum. Dulu selalu temanku yang mewakili kalau ada undangan-undangan begini. Emang kenapa?” tanyaku.
Renata terkikik. “Pantesan ga tau.” katanya. Ia mendekatkan dirinya kearahku. “Coba Mbak lihat tamu-tamu yang lain. Pada pakai batik.” bisiknya.
Mengikuti perkataan Renata, aku mengedarkan pandangan untuk mengamati tamu-tamu yang lain. Dan benar yang diucapkan Renata, hampir semua tamu memakai outfit bernuansa batik. bahkan Renata sendiri juga memakai dress full corak batik sogan.
Kembali kupandangi outfit semi formalku yang memadukan midi dress satin lengan seperdelapan berwarna hitam polos. Selendang hitam bermotif samar juga kusampirkan ke atas kepalaku. Dengan pikiran bahwa acara ini akan seperti open house lebaran khusus ormas dan pemerintah, aku berusaha tampil sopan mengikuti momen idul fitri yang masih hangat. Akan tetapi, sepertinya aku salah kostum kali ini.
“Ada DCnya?” tanyaku seraya mengingat-ingat isi undangan gathering ini.
“Engga ada, Mbak.” jawab Renata. “Tapi emang udah jadi kaya kesepakatan tak tertulis gitu, kalau ada undangan dari pemerintah yaa pada pakai batik.” tambahnya.
Mendengar perkataannya aku langsung membalikkan langkah menuju keluar ruangan.
“Mau kemana, Mbak?” cegah Renata.
“Pulang. Ganti baju.”
“Lah, telat ntar. Itu meja registrasi sudah di depan mata. Ngapain balik segala?”
“Ya kamu aja yang gantiin. Kayaknya juga aku ga packing baju batik kemarin.”
“Yaudah. Gausah pulang, Mbak. Pede aja kali, cantik gini kok.” bujuk Renata.
“Kenapa masih berdiri di sini?” tegur suara maskulin yang terasa familiar di belakang kami. “Ayo segera masuk. Acara akan segera dimulai.”
Serempak aku dan Renata membalikkan tubuh untuk mengetahui siapa yang berbicara kepada kami. Berdua kami terdiam speechless setelah melihat yang berdiri di belakang kami adalah sang Bupati. Tokoh utama acara ini sekaligus orang yang telah menegur kami, sepertinya.
“Mm… Pak Satya.” sapaku hampir memanggilnya Mas. Untung aku segera ingat bagaimana anak-anak YMB bergosip tadi siang.
Mas Satya menaikkan alisnya mendengar sapaanku yang berbeda dari kemarin. Aku yang menyadari kodenya berpura-pura tidak paham dengan mengalihkan pandangan ke arah lain.
“Mas Bupati…” sapa Renata ramah. “Ini lho, Mas. Mbak kalila geger minta balik soalnya merasa salah kostum. Ga pakai batik sendiri.” adu Renata sok akrab.
Mas Satya tersenyum jenaka mendengar aduan Renata. “Engga salah kostum kok, Mbak Kalila. Di undangan tidak ada aturan berpakaian kecuali aturan universal acara yaitu bebas, rapi, dan sopan.” kata Mas Satya mengikuti cara Renata memanggilku.
“Lagian saya juga ga pakai batik.” tambahnya.
Aku langsung memerhatikan outfit yang digunakan Mas Satya malam ini. Memadukan blazer berwarna hitam dengan kaos putih dan celana bahan berwarna hitam. Penampilan Mas Satya jadi terlihat lebih muda dan fresh, santai tanpa menghilangkan wibawa pemimpinnya.
“Waah iyaaa… Malah kayak jadi couple-an sama Mbak Kalila.” seru Renata yang membuat semua orang memusatkan perhatian ke kami.
“Naah, jadi ga perlu risau lagi ya Mbak Kalila…” sahut Mas Satya.
Salah seorang staf yang mengikuti Mas Satya membisikkan sesuatu yang membuat Mas Satya melirik arloji di pergelangan tangannya.
“Mari segera masuk, Mbak Kalila dan temannya. Biar acara segera dimulai, jadi tidak terlalu malam nanti selesainya.” ajak Mas Satya.
“Baik Mas Bupati. Saya Renata.” sahut Renata memperkenalkan dirinya. “Mas Bupati duluan masuk saja. Saya dan Mbak Kalila mau ke meja registrasi dahulu.”
“Okee… Habis ini langsung ke meja registrasi dan segera masuk yaa.”
Mas Satya dan rombongannya berjalan memasuki aula tempat acara berlangsung. Setelah semua masuk ke aula, Renata menarik tanganku menuju meja registrasi. Aku membiarkan Renata yang mengurus pendaftaran kehadiran acara ini.
Selesai mengisi data diri, kami diantar salah satu panitia masuk ke dalam ruangan, karena hanya tinggal kami berdua yang masih di luar. Panitia tersebut mengarahkan kami duduk di bangku yang masih kosong, paling belakang dan pojok. Tidak strategis menurut Renata, tapi aku senang mendapat tempat ini sehingga bisa menghindari sorotan.
Susunan acara yang dibacakan mengisyaratkan jika acara ini akan berlangsung secara formal. Para pejabat pemangku pemerintahan daerah yang hadir memberikan sambutan sepatah-dua kata di awal. Beberapa juga menyampaikan harapan agar semua organisasi yang ada di kabupaten dapat bersinergi secara positif dengan pemerintah. Tak ketinggalan Mas Satya selaku Bupati turut serta menyumbangkan aspirasinya.
“Oh yaa.. Nanti waktu sesi ramah tamah jangan pada mengerumuni saya yaa. Biar saya saja yang mendatangi meja kalian satu-satu. Jadi bisa adil semua bisa menyampaikan aspirasinya.” pesan Mas Satya sebelum menutup sambutannya.
Acara ramah tamah pun segera dimulai setelah Mas Satya turun dari panggung. Artis daerah yang sengaja diundang berganti naik panggung untuk memeriahkan suasana. Seperti janjinya tadi, Mas Satya segera menghampiri meja terdepan untuk memulai sesi ramah tamah versinya. Sementara itu pramusaji mulai menyajikan hidangan ke setiap meja.
“Ini set peralatan makannya emang ga lengkap begini ya?” bisikku pada Renata.
“Ga lengkap gimana, Mbak? Ini ada sendok, garpu, gelas.” tanya Renata bingung.
“Ini konsepnya fine dining kan?”
Renata melotot kaget. “Bukaan, Mbak. Ini konsepnya piring terbang. Tau ga?”
Aku menggeleng.
“Bentar aku searching dulu, biar mudah jelasinnya.” Renata segera sibuk mengutak-atik ponselnya.
“Nih dari wikipedia. Tradisi piring terbang adalah tata cara menghidangkan makanan dengan menggunakan pramusaji kepada tamu undangan.” jelas Renata seraya menunjukkan layar gawainya. “Dan untuk peralatan makan yang digunakan pun sesuai dengan apa yang diantarkan, Mbak. Jadi ga perlu bingung mau pakai sendok yang mana kaya table manner.”
Aku mengganggukan kepala paham. “Oh begituu…” gumamku.
Entah pembicaraan kami berdua yang terlalu panjang, atau Mas Satya yang cuma sebentar mampir-mampir di meja yang lain. Tiba-tiba saja beliau dan asistennya sudah sampai di meja kami.
Oh iya, meja yang tersedia ini berbentuk bulat dengan 8 kursi. Jadi seharusnya ada 4 organisasi dalam satu meja, karena satu undangan berlaku untuk 2 orang. Akan tetapi karena ada satu organisasi yang tidak hadir, di meja kami hanya terisi 6 orang saja.
“Waah, akhirnya ada tempat duduk juga yang bisa saya tempati.” sapa Mas Satya. Tanpa permisi ia langsung menduduki bangku kosong yang kebetulan tepat berada di sampingku.
“Ini dari organisasi mana saja?”
Bergantian kami memperkenalkan diri ke Mas Satya. Berlanjut saling mengungkapkan aspirasi masing-masing kepada Mas Satya secara langsung. Sementara dariku hanya memperkenalkan organisasi YMB yang baru berdiri serta harapanku agar dapat bersinergi dengan pemerintah.
Yang membuatku salut, Mas Satya tidak membiarkan aspirasi tersebut sia-sia. Sejak awal beliau mengkode asistennya untuk mencatat semua perkataan lawan bicaranya.
“Saya makan disini saja sekalian, gapapa kan? Riweuh banget kalau harus kembali ke depan, mumpung ada bangku kosong.” ijin Mas Satya.
Semua yang ada di meja ini mengangguk setuju. Asisten Mas Satya pun segera bergerak untuk mewujudkan keinginan bosnya tersebut.
Disaat yang lain sibuk berbincang satu sama lain. Mas Satya mendekatkan dirinya kepadaku.
“Saya ga suka lho, Mbak Kalila… Kalau dipanggil terlalu formal begitu.” bisiknya.
“Saya juga ga suka dipanggil Mbak, padahal jelas-jelas lebih tuaan bapak.” balasku.
“Loh! Saya kan cuma mengikuti cara Mbak Kalila memanggil saya. Kalau formal gitu ya lazimnya disini dipanggil Mbak, biar sopan”
Aku meliriknya sebal. “Tapi kenapa saya merasa sapaan Mbak dari Mas Satya itu terdengar seperti olokan yaa?” gerutuku.
Mas Satya tersenyum senang mendengarku kelepasan memanggilnya Mas. “Nah, kalau gini kan saya suka, Kalila. Jangan diganti lagi yaa.”
“Nanti pulangnya bareng saya saja, Kalila. Kamu kan pendatang, dan sepertinya acara ini selesai cukup larut. Biar aman.”