KESHI SANCHEZ tidak pernah tahu apa pekerjaan yang ayahnya lakukan. Sejak kecil hidupnya sudah bergelimang harta sampai waktunya di mana ia mendapatkan kehidupan yang buruk. Tiba-tiba saja sang ayah menyuruhnya untuk tinggal di sebuah rumah kecil yang di sekelilingnya di tumbuhi hutan belukar dengan hanya satu orang bodyguard saja yang menjaganya.
Pria yang menjadi bodyguardnya bernama LUCA LUCIANO, dan Keshi seperti merasa familiar dengan pria itu, seperti pernah bertemu tetapi ia tidak ingat apa pun.
Jadi siapakah pria itu?
Apakah Keshi akan bisa bertahan hidup berduaan saja bersama Luca di rumah kecil tersebut?
***
“Kamu menyakitiku, Luca! Pergi! Aku membencimu!” Keshi berteriak nyaring sambil terus berlari memasuki sebuah hutan yang terlihat menyeramkan.
“Maafkan aku. Tolong jangan tinggalkan aku.” Luca terus mengejar gadis itu sampai dapat, tidak akan pernah melepaskan Keshi.
Hai, ini karya pertamaku. Semoga kalian suka dan jangan lupa untuk selalu tinggalkan jejak🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fasyhamor, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di Peluk Oleh Keshi
Dante masuk ke dalam jeruji besi sambil membawa seember air dingin, kemudian menuang air tersebut keatas kepala dua orang berkepala plontos itu.
“Bangun.” titah Dante.
Di atas satu telinganya terselip sebatang rokok, saat Dante selesai menyiram keduanya dengan air, Dante meraih rokok itu dan menaruhnya di bibirnya.
Kedua pria berkepala plontos itu terbangun mendadak dan mengerang sakit karena seluruh tubuhnya penuh luka, di tambah dengan siraman air dingin membuat lukanya semakin terasa ngilu.
“Ini saatnya kita berbicara lagi.” ucap Dante, ia meraih kursi besi di belakang tubuhnya dan menyeretnya kehadapan dua musuh itu lalu duduk di kursi tersebut.
Sebut saja ‘musuh A’ dan ‘musuh B’
Musuh A terlihat berdecih dengan tatapan nyalang pada pria iblis di hadapannya yang sedang menyeringai. “kami tidak akan menjawab semua pertanyaanmu.”
Dante semakin melebarkan seringainya, tangannya memutar-mutar batang rokoknya. “Benarkah? Kenapa kamu percaya diri sekali kalau kamu tidak akan menjawab pertanyaanku?”
Musuh B ikut menyahut. “Karena kami sudah bersumpah pada pemimpin kami untuk tidak mengatakan apa pun pada orang-orang iblis seperti kalian.”
Dante terkekeh pelan kemudian tertawa terbahak-bahak, seolah-olah ia baru saja mendengar lawakan.
“Apa bedanya kami dengan kalian? Kalian juga sama iblisnya, berusaha melukai seorang gadis muda yang tidak tahu apa pun.” jawab Dante.
“Oh benar, rekan kami hampir berhasil membunuh putri tersayang dari pamanmu itu.” musuh A berucap dengan nada mengejek.
Dante mengetatkan rahangnya menahan amarah, satu tangannya terkepal erat. Sedetik kemudian pria itu tertawa terbahak-bahak lagi.
“Benar, bukankah itu berarti kita sama-sama iblis? Jangan merasa kalian sok suci jika mengatakan bahwa kami adalah iblis.” Dante beranjak berdiri sambil menunjuk-nunjuk dada si musuh A.
“Dante.” Rio masuk ke dalam ruangan temaram itu, memanggil nama keponakannya.
Dante menoleh, ia menegapkan tubuhnya dengan satu tangan masuk ke dalam saku celananya.
“Apa mereka masih tidak menjawab?” tanya Rio.
“Seperti yang paman lihat.” pria 28 tahun itu mengedikkan bahunya dan menendang kursi besi yang sempat ia duduki. “Dua pria sialan ini masih berlagak sok kuat.”
Pria paruh baya itu berdecak lidah, tatapan tajam tertuju pada dua pria berkepala plontos di depan sana yang sedang menundukkan kepalanya.
“Santai saja, waktu kita masih banyak. Kita masih bisa melukai mereka sampai mereka menjawab pertanyaannya.” pamannya berusaha menenangkan amarah yang memuncak dari keponakannya.
Jika sampai Rio tidak mengatakan itu, Dante bisa saja masih tersulut amarah dan malah menghilangkan nyawa kedua musuh itu, yang di mana nantinya Rio tidak akan mendapatkan jawaban siapa dalang utama yang berusaha melukai putrinya.
“Aku harus pergi untuk menenangkan diriku sendiri.” ucap Dante, berjalan melewati pamannya menuju lantai atas.
Rio membiarkan Dante menenangkan dirinya sendiri. Dante dan Nikolai (ayah Dante) sama-sama memiliki kebiasan buruk, sulit menahan amarah dan bisa saja menghancurkan sekitarnya dengan mudah. Pencegahan yang paling akurat adalah membiarkan pria itu mencari ruang sendiri untuk menenangkan amarahnya.
Rio tahu jelas Dante bukan marah karena para musuh itu tidak mau mengatakan siapa dalang yang sudah menyerang Dante, tetapi pria itu marah karena para musuh berani mencoba melukai Keshi. Rio tahu Dante sangat menyayangi putrinya dan berusaha keras untuk melindungi putrinya. Rio sangat bersyukur sekali ada orang selain dirinya yang menyayangi Keshi.
...\~\~\~...
Keshi terbangun dengan mendadak, ia bermimpi buruk. Sudah lama dirinya tidak bermimpi buruk, dan sekarang kembali merasakan hal itu.
Gadis itu mengusap wajahnya dengan telapak tangan, matanya melirik jam di dinding, pukul 3 pagi. Langit di luar sana masih gelap.
Keshi berbaring dan mencoba untuk tidur kembali, tetapi ia tidak bisa pergi ke alam mimpi. Kini kedua matanya terbuka lebar dengan perasaan kesal yang menggebu-gebu.
Ini bukan sekali dua kali gadis itu terbangun dari tidurnya dan tidak bisa untuk tidur kembali. Salah satu hal yang akan Keshi lakukan saat tidak bisa tidur adalah keluar dari rumah dan berjalan menuju halaman belakang. Tubuh mungilnya terbalut oleh selimut tebal, di balik selimut itu ada gaun tidur tipisnya yang berwarna abu-abu.
Matanya memandang datar pada lapangan golf dan juga hutan di depan sana. Rambutnya yang berwarna cokelat, beterbangan tertiup angin malam.
“Nona Keshi.”
Dia menoleh, mendapati sosok Luca dengan kaos hitam yang ketat. Di salah satu tangannya terselip sebatang rokok, sama seperti beberapa hari lalu.
“Hai, Luca.” Keshi menyapanya dengan seulas senyum manis.
Luca membuang putung rokok itu ke tempat sampah lalu berjalan mendekati Keshi dan berdiri di sebelah tubuh pendek gadis itu.
“Apa yang kamu lakukan di sini pagi-pagi?”
“Aku terbangun dari tidur dan tidak bisa tidur lagi.” jawab Keshi tanpa menatap Luca. Matanya terlihat kosong menatap hutan di depan sana.
Luca mengangguk, ia ikut menatap lurus ke depan. Keduanya terdiam menikmati hawa dingin di pagi hari dengan pikiran yang berbeda-beda. Luca menoleh saat melihat rambut panjang Keshi beterbangan mengudara, tangannya terasa gatal dan tanpa sadar malah terulur untuk menyelipkan helaian rambut Keshi di belakang telinga gadis itu.
“Maaf.” Luca tersadar dari gerakan impulsifnya dan segera menarik kembali tangannya.
Gadis itu menoleh dengan raut wajah datar, sedetik kemudian Luca menegang kaku saat Keshi malah memeluk tubuhnya dengan erat.
“Nona Keshi?” Luca bertanya dengan nada takut, pelukan itu semakin erat dan Luca tidak bisa melakukan apa-apa selain diam, membiarkan Keshi memeluknya erat dan membenamkan wajahnya pada dada bidangnya.
Luca menelan saliva. Matanya melirik sekitarnya untuk memastikan tidak ada yang melihatnya. Tangan pria itu berada di punggung Keshi dan mengelusnya dengan lembut.
Suara dengkuran halus dari Keshi membuat Luca menarik napas lega. Gadis itu tertidur sambil memeluknya, itu berarti memang Keshi melakukan hal tersebut tanpa di sadari dan mungkin nanti siang gadis itu akan melupakan pelukan di pagi hari ini.
Melihat gadis itu yang tidak terganggu sedikitpun karena tertidur dengan posisi berdiri membuat Luca segera menyelipkan tangannya pada tubuh Keshi, mengangkatnya dan menggendongnya dengan mudah.
Luca berjalan sepelan mungkin supaya Keshi tidak terbangun, ia mengetuk pintu bagian dapur kotor lalu masuk ke dalam mansion.
Untungnya, di tengah perjalanan menuju undakan tangga, Luca berpapasan dengan seorang pelayan yang segera mendekatinya dengan wajah khawatir.
“Ada apa dengan Nona Keshi?” pelayan wanita itu menatap panik pada wajah tertidur majikannya.
Luca mengisyaratkan untuk mengecilkan suara lalu menjawab, “Nona Keshi berada di halaman belakang untuk mencari angin, dan tanpa sadar dia sudah tertidur. Jadi saya membawanya masuk.”
Pelayan itu mengangguk dan menggeser tubuhnya. “Kamar Nona Keshi ada di lantai dua, kamu bisa langsung menemukan kamarnya saat melihat pintu yang ada namanya.”
Luca mengangguk, ia pamit permisi kepada pelayan itu. Kakinya benar-benar berusaha untuk menapak dengan pelan. Ketika ia sudah berada di lantai dua, matanya langsung mendapati kamar milik Keshi.
Pria itu menarik kenop dan mendorong pintu kamar Keshi menggunakan kakinya, ia melangkah masuk dan segera merebahkan tubuh mungil gadis itu di atas kasurnya.
Sebelum pergi, Luca menyingkirkan helaian rambut Keshi yang menutupi wajahnya dan juga menyelimuti tubuhnya. Wajahnya pun memerah karena baru menyadari gaun tidur tipis yang Keshi gunakan. Secepat mungkin Luca berjalan keluar dari kamar majikannya dengan wajah yang masih terasa hangat.