Kembali ke masa lalu, adalah sesuatu yang mustahil bagi Nara.
Tapi demi memenuhi keinginan terakhir sang putri, ia rela melakukan apapun bahkan jika harus berurusan kembali dengan keluarga Nalendra.
Naraya bersimpuh di hadapan Tama dengan deraian air mata. Ia memohon padanya untuk menemui putrinya dan membiarkan sang putri melihatnya setidaknya sekali dalam seumur hidup.
"Saya mohon temui Amara! Jika anda tidak ingin menemuinya sebagai putri anda, setidaknya berikan belas kasihan anda pada gadis mungil yang bertahan hidup dari leukimia"
"Sudah lebih dari lima menit, silakan anda keluar dari ruangan saya!"
Nara tertegun begitu mendengar ucapan Tama. Ia mendongak menatap suaminya dengan sorot tak percaya.
****
Amara, gadis berusia enam tahun yang sangat ingin bertemu dengan sang ayah.
Akankah kerinduannya tak tergapai di ujung usianya? Ataukah dia akan sembuh dari sakit dan berkumpul dengan keluarga yang lengkap?
Amara Stevani Nalendra
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengakuan mantan ART
Usai berucap, laki-laki itu keluar dari area kolam dengan langkah ringan menuju kamar.
Aldika yang masih terpaku di tempatnya duduk, menarik napas panjang, menahan sejenak sebelum kemudian menghembuskannya secara kasar.
Naraya, aku akan menghubunginya.
"Halo" Suara anak kecil terdengar menggemaskan membuat Aldika mengangkat sebelah alisnya.
"Nara?"
"Mommy sedang mandi, ini Daddy bukan?"
"D-daddy?"
"Iya daddy"
"A-pa ini Amara?"
"Iya, ini pasti Daddy kan?"
"A-aku temannya mommymu"
"Oohh, jadi bukan daddy ya" Suara yang tadinya terdengar penuh semangat, kini melemah persekian detik.
"Ara mau daddy ya?"
"Mau uncle. Om temannya daddy juga?"
Ragu-ragu Aldika memberikan jawaban, setelah hampir sepuluh detik terdiam, tiba-tiba telinganya mendengar suara wanita, Dika yakin itu suara Naraya.
"Siapa yang telfon nak?"
"Teman mommy"
"Teman mommy?" Aldika hanya diam sembari mendengarkan percakapan ibu dan anak di balik telfon.
"Iya"
"Bukan papa Emir atau papa Aksa?"
"Bukan mom"
"Papa Emir, papa Aksa?" Aldika membatin dengan sorot bingung, matanya sedikit menyipit mendengar perkataan Nara. "Ada berapa banyak papa dan daddy yang Ara miliki?"
Menelan ludah, Aldika di buat heran sekaligus penasaran, "Apa video itu memang asli, dan Naraya melakukannya dengan banyak pria? aahh tidak mungkin"
"Coba mommy lihat sayang"
"Ini" Gadis kecil itu tampaknya menyerahkan ponsel ke tangan sang mommy.
"Nomor baru?" Nara membatin sembari melirik Amara yang kini berjalan ke arah kamar dengan raut sedih.
"Hallo"
"H-halo Na"
"Iya, siapa ini?"
"Aku Aldika"
"Pak Aldi?" sahut Nara cepat.
"Boleh aku mengunjungi Amara Na?"
"Mengunjungi Amara?"
"Iya, apa boleh?"
"Boleh, tentu boleh"
"Nanti malam bisa? kita keluar untuk makan malam"
"Bertemu di luar?" tanya Nara memastikan. Melihat bagaimana kondisi Amara, Nara sedikit ragu dengan ajakan sepupu dari suaminya.
"Na?"
"I-iya pak Aldi?"
"Kita bertemu di luar. Kalau bisa aku akan menjemputmu selepas maghrib"
"Maaf pak Aldi, sepertinya tidak bisa" Tolak Naraya tak enak hati. "Kondisi Amara masih belum stabil, aku tidak mungkin membawanya keluar malam-malam"
"Begitu ya?"
"Kalau pak Aldi mau, pak Aldi bisa datang ke sini, kita makan malam di rumahku"
"Baiklah Na, aku akan datang"
"Ok nanti aku share lok alamat rumahku"
*****
Malam selepas maghrib, Aldika yang masih berada di rumah Tama menolak perintah Samina untuk makan malam. Tama yang sudah duduk di kursi makan menatap heran pada ARTnya yang datang tanpa Aldika.
"Maaf pak, pak Aldi bilang dia akan makan malam di rumah nona Nara"
Mendengar ucapan Samina, seketika mata Tama menajam. "Makan malam di rumah Nara?"
"Iya pak, dia sedang siap-siap di kamar tamu"
"Aku pergi dulu Tam, ada janji dengan Nara"
Tiba-tiba suara Aldika terdengar dari arah punggungnya.
"Mau ngapain kamu kesana?"
"Nara mengundangku makan malam di rumahnya, sekalian aku ingin menemui Amara"
"Untuk apa kamu menemuinya?"
"Aku hanya ingin bertemu dengan Amara, jika anak itu benar darah dagingmu, itu artinya aku pamannya, iya kan?"
Aldika langsung pergi ketika ucapannya tak mendapat respon dari Tama. Sementara Tama hanya bisa menatap punggung sepupunya hingga tak lagi terlihat.
Merasa penasaran, Tama akhirnya memutuskan untuk mengikuti Aldika secara diam-diam.
Dengan jarak agak jauh di belakang mobil Aldika, Tama terus menatap ke depan agar tak kehilangan jejaknya.
Hingga tiba-tiba mobil Dika berjalan melambat, lalu berbelok dan parkir di depan sebuah mini market.
"Apa ini rumah Naraya?" gumam Tama dengan tatapan penuh menyelidik. Ia menepikan mobilnya di pinggir jalan yang masih tampak ramai.
Selain minimarket dan rumah berlantai dua, sepasang netranya juga melihat pak Ramdan berada di dalam mini market sedang menata barang dagangan ke rak toko.
"Bapak?"
Ia terus memperhatikan Aldika yang kini tengah mengobrol dengan ayah mertuanya. Selang sekitar lima menit, pak Ramdan memanggil sosok Amara yang sedang duduk sambil melihat layar ponsel di balik meja kasir. Ada Daffa sedang melayani antrean pembayaran para pembeli.
"Ara, di panggil kakek sayang?" ucap Daffa di tengah-tengah kesibukannya. Gadis itu sedang fokus mendengarkan Asma'ul Husna yang sedang di putar di ponselnya.
Amara sedikit berlari menghampiri kakeknya dan Aldika.
"Ara, kenalin ini uncle Aldi"
"Halo uncle" sapa Amara seraya tersenyum, ia mendongak menatap pria yang berdiri menjulang tinggi. Sementara Aldika menunduk menatapnya tak berkedip.
"Apa uncle saudaranya daddy kek?"
Mendapat pertanyaan dari sang cucu, entah kenapa hati pak Ramdan berdesir, bagaimana bisa anak seusia Amara berfikir jika Aldika adalah saudara dari daddynya.
"Kaya uncle Daffa saudaranya mommy, berati uncle Aldi saudaranya daddy dong?"
Aldika mengerjap ketika mendengar perkataan Amara. Ia seakan tak percaya dengan sosoknya yang terlihat sangat mirip dengan Tama, kepintarannya yang juga menurun dari bos sekaligus sepupunya membuat Dika yakin jika Amara kemungkinan besar adalah anak kandung Tama.
"Pak Aldi sudah datang?" tanya Nara yang tahu-tahu muncul dari arah belakang mini market. Aldika, Amara serta pak Ramdan menoleh ke arah suara Naraya.
"Nara"
Tak hanya Aldika yang terkejut dengan kemunculan Nara, Tama yang masih memusatkan perhatiannya ke arah dalam mini market pun di buat berdesir.
Dalam waktu bersamaan ia melihat Amara dan Nara yang tengah tersenyum ke arah Aldika. Sekian detik kemudian ke empat orang itu keluar dari mini market melalui pintu belakang.
Daffa yang masih sibuk di bagian kasir, tidak ikut serta makan malam bersama karena harus melayani para pembeli dengan di temani beberapa pegawai yang berada di lantai dua dan lantai dasar.
Menghirup napas, Tama memilih pergi dari area rumah Nara.
Perlahan, ia melajukan mobilnya kembali dan mengarahkannya ke arah jalan menuju rumah pribadinya.
Tepat ketika berhenti karena terjebak lampu merah, Netra Tama menangkap seorang wanita yang tak asing baginya. Wanita itu tampak sangat letih tengah berjalan menyebrang dengan tangan membawa barang belanjaan.
"Seperti bik Sani, ada apa dengannya?" ekor mata Tama terus mengukuti kemana arah wanita itu melangkah. "kenapa raut wajahnya seperti menahan sedih?"
"Apa yang dia lakukan di malam hari seperti ini?"
"Belanja?"
Karena rasa penasarannya yang begitu tinggi, dan wanita itu pernah bekerja hampir sepuluh tahun di rumah orang tuanya, Tama berniat menemui mantan ARTnya.
Begitu lampu berubah hijau, Pria itu melepaskan rem tangan dan menjalankan mobilnya pelan mengikuti langkah Sani, tak lupa membuka penuh kaca pintu di sebelah kiri agar dia bisa menyapanya.
"Bik Sani kan?" tanyanya setelah mobil yang ia kendarai berada di samping kanan wanita itu.
Merasa ada yang menyebut namanya, wanita itu pun menghentikan langkahnya.
"Tuan Tama?"
"Iya itu saya bik" sahutnya seraya mematikan mesin, selang dua detik Tama keluar dan berjalan memutar melewati depan mobilnya.
"Apa kabar bik?"
"Saya baik tuan, kabar tuan dan keluarga bagaimana?"
"Baik juga"
"Bik Sani mau kemana malam-malam begini jalan sendirian?"
"Ini tuan, saya habis belanja, tapi dopet saya di copet, jadi terpaksa saya jalan kaki"
"Mari saya antar bik"
"Tidak usah tuan"
"Tidak apa-apa bi, rumah bik Sani di mana?"
"Sudah dekat dari sini tuan, cuma jalan sekitar lima ratus meter lagi sudah sampai"
"Tidak apa-apa bik, mari saya antar" ujarnya sambil membuka pintu mobil bagian penumpang di sisi kursi kemudi.
"Ayo bik masuk, saya antar sampai rumah"
Sempat ragu, akhirnya wanita itupun menerima tawarannya lalu memasuki mobil mantan majikannya.
"Bagimana kabar nona Nara tuan?" tanyanya, dia sama sekali tidak tahu perihal masalah yang menimpa tuan mudanya. "Anak tuan Tama pasti sudah besar ya sekarang? laki-laki atau perempuan tuan?"
"Anak?" tanya Tama sekilas menoleh ke samping kiri.
"Iya, nona Nara tidak menggugurkan kandungannya sesuai perintah nyonya Rania kan tuan?"
Ciiiitttt,,, decitan ban karena rem mendadak, membuat Sani terkejut.
"Ada apa tuan?" tanyanya bingung.
"Bibik bilang apa?" tanya Tama lalu menelan ludahnya dengan setengah mati. "Bunda menyuruh Nara untuk menggugurkan kandungannya?"
"I-iya tuan, maaf, dulu saya tidak sengaja mendengar percakapan nona dan nyonya ketika nona datang ke rumah besar untuk memberitahukan kehamilannya" pungkas Sani takut-takut.
"Bukannya bahagia, nyonya Rania justru menyuruh nona untuk menggugurkannya tuan, setelah itu, terjadi perdebatan kecil dan nyonya Rania akhirnya mengusir nona"
"Apa?" kagetnya dengan sorot serius. "Benarkah yang bik Sani ucapkan?"
"B-benar tuan" sahutnya mantap. "Saya juga sempat melihat nona Nara menyerahkan sebuah alat tes kehamilan ke nyonya"
Tama tercengang mendengar pengakuan mantan ARTnya. Ia lalu mengusap tengkuknya sedikit kasar.
"Sehari setelah itu, saya mendapat telfon dari anak saya dan menyuruh saya pulang karena anak saya mau melahirkan, jadi saya berhenti bekerja tuan"
"Jadi Naraya hamil dan sempat datang ke rumah?"
Sekelebat Tama mengingat tentang ucapan Nara tempo hari. "Banyak hal yang tidak ku ketahui tentang bunda? apa ini salah satunya?" Aku harus temui bunda dan menanyakannya"
"Tuan!" panggilan Sani menyadarkan Tama dari lamunan. "Tuan tidak apa-apa?"
"T-tidak apa-apa bik, kita jalan lagi"
"Tuan belum menjawab pertanyaan saya. Anak tuan laki-laki atau perempuan?"
"Perempuan bik" jawabnya dengan sorot sepenuhnya ke arah jalanan.
"Pasti cantik dan sekarang sudah sekolah, iya kan tuan?"
"Iya"
"Salam buat nona Nara dan putrinya"
"Nanti aku sampaikan bik"
"Namanya siapa tuan?"
"Amara"
"Namanya cantik, semoga saya bisa bertemu dengan nona Nara di lain kesempatan"
Tak terasa, mobil sudah sampai di depan rumah Sani, Tama bahkan langsung berpamitan dan menolak untuk singgah ke rumahnya.
Bunda, kenapa kamu menyembunyikan kehamilan Nara?
Bersambung
suka banget sama karya2mu..
semoga sehat selalu dan tetap semangat dalam berkarya.. 😘🥰😍🤩💪🏻