Mencari nafkah di kota Kabupaten dengan mengandalkan selembar ijazah SMA ternyata tidak semudah dibayangkan. Mumu, seorang pemuda yang datang dari kampung memberanikan diri merantau ke kota. Bukan pekerjaan yang ia dapatkan, tapi hinaan dan caci maki yang ia peroleh. Suka duka Mumu jalani demi sesuap nasi. Hingga sebuah 'kebetulan' yang akhirnya memutarbalikkan nasibnya yang penuh dengan cobaan. Apakah akhirnya Mumu akan membalas atas semua hinaan yang ia terima selama ini atau ia tetap menjadi pemuda yang rendah hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Ali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18.
Mumu duduk bersila di kamar kostnya. Nafasnya turun naik dengan teratur sesuai dengan metode pernafasan yang selama ini ia pelajari. Sudah satu jam ia meditasi dengan posisi seperti itu.
Hari ini ia lelah sekali.
Bagaimana ia tak lelah, pengobatan menggunakan jarum akupuntur membutuhkan konsentrasi yang sangat tinggi agar tidak terjadi kesalahan disaat menancapkan jarum ditubuh pasien. Begitu banyak titik-titik saraf di tubuh manusia yang saling berdekatan. Masing-masing titik itu melambangkan hal yang berbeda.
Ditambah lagi saat jari-jarinya dengan terpaksa menyentuh kulit Mala, membuat Mumu mengeluarkan tenaga dan fikiran yang lebih ekstra agar fokusnya tidak buyar.
Mumu akui ia masih sangat muda dan ia adalah pemuda yang normal.
Pengalaman tadi adalah suatu siksaan baginya. Walaupun tidak sampai menjurus ke hal-hal negatif. Tapi ya, tetap saja ia merasa tak nyaman jika harus mengobati kaum hawa.
Walau bagaimana pun Mumu bertekad agar bisa lebih mengendalikan diri dan fikirannya agar tidak kehilangan fokus dalam mengobati orang.
Tidak menutup kemungkinan juga bahwa di masa yang akan datang ia akan bertemu lagi dengan kejadian yang seperti ini. Jadi ia harus lebih menyiapkan mentalnya.
Mumu bersiap-siap karena sebentar lagi ia mau berangkat kerja.
Dalam pada itu di sebuah Coffee Shop yang terletak di jalan Merbau, Rahma sedang berduaan dengan pacarnya, Syaukani.
Syaukani seorang pria yang tampan. Berkulit putih dan berambut ikal. Penampilannya smart terus. Hal ini sesuai dengan tempat kerjanya di perbankan. Biasanya perbankan sangat menekankan pada penampilan karyawannya terutama yang bagian pelayanan nasabah.
Mereka sedang berbincang tentang masa depan hubungannya.
Sebenarnya bukan berbincang tapi lebih tepatnya Syaukani sedang berbicara sendiri sedangkan Rahma lebih banyak diam dan termenung.
"Rahma...rahma....!"
"Eh, iya, Mas. Ayo minum." Rahma meraih gelas dan minum dengan perlahan.
"Kamu kenapa sih? Mas dari tadi cerita terus tentang hubungan kita. Planning masa depan kita tapi kamu malah bengong.
Ada apa sih? Apa Mas ada salah sama kamu ya, sayang?"
Rahma menggelengkan kepalanya, "Tidak, Mas."
"Lalu apa? Apakah kamu sedang ada masalah? Coba ceritakan sama Mas. Mana tahu Mas bisa bantu." Ujar Syaukani dengan sabar.
"Benar, Mas. Aku tidak ada masalah apa-apa. Cuma fikiran sedikit tak fokus saja. Hanya itu. Mas tak usah khawatir ya." Pinta Rahma.
Syaukani terlalu baik kepadanya. Tak mungkin dia tega menambah masalah yang tak perlu kepada Syaukani.
"Muter-muter yuk, Mas! Suntuk. Setelah itu kita ke Mini market ya. Aku mau beli cemilan di rumah." Rahma menarik tangan Syaukani.
"Woiiii...kalau mau keluar tu lihat-lihat kiri-kanan." Mereka berdua baru saja keluar dari Coffee Shop ketika dari arah depan dua motor memasuki halaman Coffee Shop. Hampir saja terjadi tabrakan.
"Maaf, Bang. Tak sengaja." Ucap Syaukani dengan nada tulus.
"Maaf, maaf. Sana pergi kamu!" Salah seorang dari pengendara motor itu menendang stang. Syaukani dan Rahma hampir jatuh. Sedangkan Syaukani sudah pucat pasi. Tanpa disuruh dua kali, dia pun langsung melajukan motornya sedangkan Rahma melihat melihat pria yang menendang tadi dengan perasaan dongkol.
'Kalau saja dia ada di sini pasti para cecunguk itu dihajarnya dengan mudah.' Rahma kembali dalam angan-angannya.
Walau pun perasaanya terhadap Syaukani tidak berubah tapi dia juga tak bisa melupakan sosok pemuda yang telah menolongnya kala itu. Entah kapan dia bisa bertemu lagi dengan pemuda yang sederhana namun gagah itu.
Baju pemuda itu sampai sekarang tidak Rahma cuci tapi dia gantung di lemari pakaiannya biar tetap menjadi kenangan.
...****************...
Di salah satu ruangan karoke yang berada di jalan Kartini. Dua orang pria sedang memukuli seorang pemuda tanpa ampun.
"Rasakan ini bangs*t!!" Sebuah tinju kembali menghantam wajah pemuda itu yang memang sudah babak belur. Pemuda itu meringis tanpa suara.
"Kami tunggu hingga besok siang. Jika kamu tidak melunasi hutang-hutang itu tepat waktu kamu akan tahu akibatnya. Bos sudah bosan dengan segala janji-janji bohong mu itu."
Setelah menendangnya sekali lagi, mereka berdua langsung pergi tanpa menghiraukan nasib pemuda itu lagi.
Pemuda malang itu mengerang tanpa henti. Sekujur tubuhnya sakit-sakit semua. Nyeri. Wajahnya berdarah. Dengan susah payah dia mengeluarkan ponselnya dan mencari nama seseorang di kontak telpon. Setelah ketemu dia langsung memencet tombol panggil. Tak lama kemudian panggilannya tersambung.
"Bang jemput aku di tempat biasa. Kamar 109." Suaranya lemah. Jika Mumu ada di sini ia akan mengenali sosok pemuda ini.
Karena pemuda ini lah yang telah menghinanya di gerbang kantor Bupati sewaktu pertama kali Mumu datang ke kota Selatpanjang untuk mencari kerja. Pemuda ini bernama Roni anak seorang pejabat PUPR.
Saat ini tidak ada jejak kesombongan di wajahnya yang tertutup darah itu yang ada hanyalah raut kesakitan.
Di atas langit ada langit. Jika kita menghina seseorang kita pun bakalan dihina baik oleh orang yang pernah kita hina atau pun melalui orang lain.
Itulah hukum alam. Hukum sebab akibat.
Seorang pria tinggi besar dan berkulit hitam memasuki tempat karoke nomor 109.
Dia segera menolong Roni yang tergeletak tanpa daya di lantai.
Setelah mendudukkannya di kursi serta membersihkan darah di wajah Roni, pria yang bernama Heri itu bertanya, "Siapa yang menghajarmu hingga babak belur begini?"
Bukannya menjawab, Roni malah minta dihidupkan rokok untuknya.
Setelah tiga kali hisap barulah dia memandang wajah Heri dan berkata, "Aku telat bayar hutang sama Bang Mizan, entah bagaimana mereka tahu aku di sini sehingga Debt Collector itu datang menagih hutang. Karena aku tak mampu membayarnya, mereka akhirnya menghajarku," Ujar Roni dengan penuh dendam.
"Kamu suka mencari masalah. Sebaiknya kamu segera membayar hutang tersebut. Bang Mizan itu tak bisa kamu provokasi, Ron."
Roni mengepalkan tinjunya.
"Apakah kita tidak bisa membalasnya, Bang?" Sekujur tubuhnya memang sakit, tapi hatinya lebih sakit lagi. Dia yang terbiasa jumawa kini dihajar seperti anj*ng liar, siapa yang tak sakit hati.
"Sudah abang bilang, Bang Mizan tak bisa kamu provokasi. Ayahmu sendiri tak bisa berkutik di hadapan Bang Mizan, dia ada bekingan polisi."
Roni terdiam dengan wajah yang penuh dendam.
"Mari Abang antar ke Rumah Sakit. Luka mu parah." Sejujurnya Heri tak terlalu peduli dengan Roni. Dia hanya bekerja untuk ayah Roni. Jika bukan karena sering diberi uang oleh Roni, Heri tak akan menjawab panggilan telpon dari Roni tadi.
Heri memapah Roni keluar dari ruangan itu langsung menuju mobil.
Ini adalah mobil dinas Pak Ozy Fawash, ayahnya Roni.
Heri bekerja sebagai sopir yang merangkap pengawal pribadi pak Ozy.
Dia sangat dipercaya oleh Pak Ozy. Apa pun tugas yang diberi oleh Pak Ozy, selama ada uang, Heri akan selesaikan pekerjaan tersebut walaupun dengan cara kekerasan sekalipun.
Yang dia pedulikan hanyalah uang. Karena uang bisa mendapatkan segalanya.
Dalam pada itu, Mumu sedang tidur ketika ia dikejutkan oleh dering handphonenya.
'Siapa yang menelpon tengah malam begini' gumamnya.