~Karya Original~
[Kolaborasi dari dua Author/BigMan and BaldMan]
[Update setiap hari]
Sebuah ramalan kuno mulai berbisik di antara mereka yang masih berani berharap. Ramalan yang menyebutkan bahwa di masa depan, akan lahir seorang pendekar dengan kekuatan yang tak pernah ada sebelumnya—seseorang yang mampu melampaui batas ketiga klan, menyatukan kekuatan mereka, dan mengakhiri kekuasaan Anzai Sang Tirani.
Anzai, yang tidak mengabaikan firasat buruk sekecil apa pun, mengerahkan pasukannya untuk memburu setiap anak berbakat, memastikan ramalan itu tak pernah menjadi kenyataan. Desa-desa terbakar, keluarga-keluarga hancur, dan darah terus mengalir di tanah yang telah lama ternodai oleh peperangan.
Di tengah kekacauan itu, seorang anak lelaki terlahir dengan kemampuan yang unik. Ia tumbuh dalam bayang-bayang kehancuran, tanpa mengetahui takdir besar yang menantinya. Namun, saat dunia menjerumuskan dirinya ke dalam jurang keputusasaan, ia harus memilih: tetap bersembunyi/melawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BigMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 30 - Kegaduhan di Desa: Bagian 2
Malam panjang itu akhirnya berlalu. Ketika matahari pertama mulai muncul di ufuk timur, desa masih diliputi ketenangan yang menyesakkan. Tidak ada tanda-tanda bahaya—tidak ada jejak orang asing, tidak ada suara pergerakan mencurigakan.
Namun, bagi Abirama, ketenangan ini justru lebih mencurigakan.
Setelah memastikan Sora masih tertidur, ia keluar rumah dan berdiri di halaman.
Langkah kaki mendekat.
"Kau tidak tidur?" suara Kouji terdengar dari samping.
Abirama hanya menggeleng pelan. Kouji mendekat, menyesuaikan diri dengan hawa dingin pagi yang masih terasa menusuk. Ia membawa sebotol sake kecil di tangannya, mungkin untuk mengusir dingin.
"Semalam sunyi," ujar Kouji, duduk di sebuah batang kayu. "Terlalu sunyi untuk sesuatu yang terasa seperti ancaman."
"Ya," jawab Abirama singkat. "Kalau mereka benar-benar tertarik pada desa ini, mereka tidak akan pergi begitu saja."
Kouji mengangguk, menyesap sedikit sake dari botolnya. "Aku sudah berbicara dengan beberapa penduduk desa. Mereka tidak melihat apa pun yang aneh. Sepertinya, hanya Sora yang menyadari kehadiran orang asing itu."
"Itu lebih buruk," gumam Abirama.
Kouji meliriknya. "Kau berpikir mereka masih di sekitar sini?"
Abirama hanya diam. Angin pagi berembus pelan, membawa aroma tanah basah dan kayu yang masih dipenuhi embun.
Kouji menarik napas dalam. "Aku tidak pernah mengerti bagaimana caramu berpikir, tapi naluriku mengatakan bahwa kau benar. Orang-orang itu belum pergi."
"Aku akan mencari tahu lebih banyak," kata Abirama akhirnya. "Tapi untuk saat ini, kita tetap bertindak seolah-olah semuanya normal."
Kouji mendengus. "Kau selalu penuh perhitungan, ya?"
"Itulah yang membuatku tetap hidup."
Kouji tertawa kecil sebelum berdiri dan meregangkan tubuhnya. "Baiklah. Aku akan berkeliling desa lagi. Jika ada yang aneh, aku akan memberitahumu."
Abirama mengangguk, sementara Kouji pergi dengan langkah santai.
Matahari mulai naik, menerangi desa yang perlahan bangun dari tidurnya. Penduduk mulai keluar rumah, anak-anak berlarian di jalan, dan para petani bersiap untuk ke ladang.
Namun bagi Abirama, ini bukan pagi yang biasa. Ada sesuatu di udara—sesuatu yang masih tersembunyi dalam bayangan.
Dan ia tahu… ini hanya masalah waktu sebelum semuanya menjadi jelas.
......................
Pagi itu, Sora akhirnya bisa sedikit melupakan ketegangan malam sebelumnya. Bersama teman-temannya, ia berlari menuju alun-alun desa, tempat mereka biasa bermain.
Area itu tidak terlalu besar, hanya tanah lapang dengan beberapa pohon rindang di pinggirnya. Beberapa anak lain sudah berkumpul di sana, bermain dengan riang.
"Heiii! Sora! Cepat ke sini!" teriak salah satu temannya, Tetsu, sambil melambaikan tangan.
Sora tersenyum dan segera bergabung. Mereka bermain kejar-kejaran, berguling di tanah, dan saling melempar bola rotan. Keceriaan memenuhi alun-alun, hingga tiba-tiba…
Mereka menyadari sesuatu.
Seorang bocah berdiri di pinggir alun-alun, menatap mereka. Ia tampak asing. Rambutnya putih berantakan, tubuhnya kurus, dan yang paling mencolok—ada luka bakar di pipi kanannya.
Anak-anak lain mulai berbisik-bisik.
"Siapa dia?"
"Aku belum pernah melihatnya di desa."
"Kenapa wajahnya seperti itu?"
Bocah itu tidak mengatakan apa-apa. Tatapannya hanya terpaku pada Sora.
Sora merasa aneh. Anak ini… ada sesuatu yang berbeda darinya. Ia tidak terlihat seperti anak-anak desa biasa.
Akhirnya, bocah itu melangkah mendekat. Langkahnya mantap, tidak ragu-ragu.
"Jadi, namamu, Sora?" suaranya datar, tapi tajam.
Sora menegakkan tubuhnya, menatap langsung bocah itu. "Iya. Siapa kau?"
Bocah itu tidak langsung menjawab. Ia hanya memiringkan kepalanya sedikit, seolah menilai Sora dari ujung kepala hingga kaki.
"Kau… berbeda dari mereka," katanya akhirnya.
Sora mengerutkan kening. "Apa maksudmu?"
Bocah itu tidak menjawab, hanya menyeringai tipis.
"Aku Tsumaki."
Sora mengernyit. "Kau bukan dari desa ini, kan?"
"Tidak," jawab Tsumaki santai. "Aku dan ayahku kebetulan lewat dan mampir ke desa ini."
"Ayahmu?" Sora menatapnya, merasa sedikit curiga.
Tsumaki mengangguk, masih dengan senyum tipis. "Ya… Dia seorang petualang. Kami sering berpindah-pindah."
Sebelum Sora bisa bertanya lebih lanjut, Tetsu memanggilnya lagi.
"Sora! Ayo main lagi!"
Sora menoleh, lalu kembali menatap Tsumaki. Anak itu masih berdiri di sana, seolah menunggunya.
"Kalau kau mau, kau bisa ikut bermain," kata Sora akhirnya.
Tsumaki mengangkat alis, lalu tersenyum kecil. "Boleh juga."
Dan begitu saja, anak berambut putih itu bergabung dengan mereka—tanpa ada yang tahu bahwa pertemuan ini hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar.
Permainan kembali berlanjut. Tsumaki berbaur di antara anak-anak desa, namun ada sesuatu yang terasa berbeda.
Gerakannya lebih cepat dari anak-anak lain, refleksnya tajam, dan tatapannya selalu mengamati sekeliling, seolah sedang menilai sesuatu.
Ketika bermain kejar-kejaran, ia selalu bisa menghindar dengan gesit. Saat bermain lempar bola, ia menangkap dengan presisi yang aneh bagi anak seusianya.
Sora memperhatikan semua itu.
“Tsumaki, kau benar-benar cepat!” seru Tetsu, terengah-engah setelah gagal menangkapnya.
Tsumaki hanya tersenyum kecil. "Aku sering berlari bersama ayahku."
"Ayahmu seorang petualang, kan?" Sora bertanya, ingin tahu lebih dalam.
Tsumaki menoleh, lalu mengangguk. "Iya. Kami sering berpindah dari satu tempat ke tempat lain."
"Kenapa?"
Tsumaki diam sejenak, sebelum menjawab dengan nada santai. "Karena pekerjaan ayahku menuntut begitu."
Sora merasa ada sesuatu yang disembunyikan bocah ini, tapi sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, seorang pria paruh baya memanggil dari kejauhan.
"Tsumaki."
Tsumaki menoleh cepat. Seorang pria bertubuh kekar berdiri di dekat gerobak pedagang, mengenakan mantel panjang dengan satu tangan diselipkan di sabuknya. Sorot matanya tajam, seolah menembus siapa pun yang menatapnya.
"Ayahku memanggil," gumam Tsumaki. Ia menoleh ke Sora dan tersenyum tipis. "Sepertinya aku harus pergi."
Sora menatap pria itu dengan perasaan tak nyaman. Tatapan pria itu sempat tertuju padanya sejenak sebelum kembali ke Tsumaki.
"Kau akan tetap di desa ini?" Sora bertanya sebelum Tsumaki pergi.
Tsumaki tersenyum samar. "Untuk sementara. Sampai ayahku selesai urusannya."
Sora mengernyit. "Urusan?"
Namun Tsumaki hanya melambaikan tangan dan berjalan pergi tanpa menjawab.
Sora menatap punggungnya dengan perasaan tak nyaman. Ada sesuatu yang aneh dengan anak itu… dan lebih dari itu, firasatnya mengatakan bahwa kehadiran Tsumaki bukan kebetulan biasa.
maaf Thor kl nyinggung,ini cm pendapat pribadi gw aja...
Shugoran nya memperkenalkan diri terlalu awal/Sob/ ya menurut ku itu bisa jadi kartu as dalam cerita ini kan? Dah itu aja maybe.. semangat terus thor/Determined/