~Karya Original~
[Kolaborasi dari dua Author/BigMan and BaldMan]
[Update setiap hari]
Sebuah ramalan kuno mulai berbisik di antara mereka yang masih berani berharap. Ramalan yang menyebutkan bahwa di masa depan, akan lahir seorang pendekar dengan kekuatan yang tak pernah ada sebelumnya—seseorang yang mampu melampaui batas ketiga klan, menyatukan kekuatan mereka, dan mengakhiri kekuasaan Anzai Sang Tirani.
Anzai, yang tidak mengabaikan firasat buruk sekecil apa pun, mengerahkan pasukannya untuk memburu setiap anak berbakat, memastikan ramalan itu tak pernah menjadi kenyataan. Desa-desa terbakar, keluarga-keluarga hancur, dan darah terus mengalir di tanah yang telah lama ternodai oleh peperangan.
Di tengah kekacauan itu, seorang anak lelaki terlahir dengan kemampuan yang unik. Ia tumbuh dalam bayang-bayang kehancuran, tanpa mengetahui takdir besar yang menantinya. Namun, saat dunia menjerumuskan dirinya ke dalam jurang keputusasaan, ia harus memilih: tetap bersembunyi/melawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BigMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 29 - Kegaduhan di Desa: Bagian 1
Di depan rumahnya, Abirama masih berdiri dengan tatapan tajam menembus kegelapan. Sora berdiri di belakangnya, masih berusaha memahami apa yang baru saja terjadi.
“Ayah… siapa orang itu?” tanyanya pelan.
Abirama tak langsung menjawab. Ia menatap ke arah hutan di kejauhan, lalu berkata dengan nada datar, “Seseorang yang tidak seharusnya ada di sini.”
Sora mengernyit. “Tapi dia tidak melakukan apa pun… hanya berbicara.”
“Perkenalan.”
Sora menatap ayahnya dengan bingung. “Apa maksudnya?”
Abirama akhirnya menoleh. “Orang-orang seperti itu tidak berbicara tanpa alasan. Mereka ingin tahu siapa yang merespons.”
“Jadi… mereka belum tahu aku?”
“Belum.”
Sora menelan ludah. Ia merasa sedikit lega, tapi perasaan tidak nyaman tetap menggelayut di dadanya.
“Masuk, Sora.” Abirama berujar pelan, tapi tegas.
“Tapi—”
“Masuk!”
Sora menghela napas dan menurut. Ia melangkah masuk, sementara Abirama tetap berdiri di luar, menutup pintu di belakangnya.
Tak lama, suara langkah kaki mendekat. Abirama tetap diam, tapi tangannya bergerak ke gagang pedangnya.
“Santai saja, aku tidak akan menyerangmu dari belakang.”
Kouji muncul dari bayangan, ekspresinya serius. “Aku mencoba berkeliling desa, tapi tidak ada tanda-tanda mereka.”
Abirama tetap menatap lurus. “Sora baru saja mendengar suara seseorang. Tak terlihat, tapi jelas.”
Kouji mengernyit. “Apa yang dia katakan?”
“Hanya sapaan.”
Kouji mendecakkan lidah. “Kalau mereka hanya memperkenalkan diri, itu berarti mereka belum yakin dengan siapa mereka berhadapan.”
Abirama menoleh sedikit. “Itu yang kupikirkan.”
“Mereka menguji air sebelum menyelam.”
“Dan orang-orang seperti itu, cukup berbahaya.”
Keheningan menggantung di antara mereka. Angin bertiup lebih kencang, membawa firasat buruk yang tak terucapkan.
Kouji menyandarkan diri ke tiang rumah. “Kita harus bersiap. Jika mereka benar-benar tertarik pada desa ini, mereka akan kembali.”
Abirama menatapnya. “Aku tahu.”
“Dan saat itu terjadi… kita pastikan mereka tidak pergi dengan mudah.”
Abirama mengangguk pelan. Tanpa perlu banyak kata, keduanya tahu—malam ini hanya permulaan.
Malam semakin larut, tapi tidak ada dari mereka yang beranjak. Angin malam bertiup pelan, membawa hawa dingin yang menusuk.
Kouji menatap Abirama yang berdiri tenang di depan rumahnya, mata pria itu tajam, penuh kehati-hatian. Gerakan tubuhnya selalu terkontrol, seolah siap bertindak kapan saja. Kouji sudah lama curiga, dan malam ini, kecurigaannya semakin kuat.
Hingga akhirnya, Kouji memberanikan diri, ia bertanyabdengan nada santai, “Abirama, aku ingin bertanya sesuatu.”
Abirama tetap menatap ke kegelapan, tapi Kouji tahu ia mendengar.
“Apa kau seorang pendekar juga?”
Pertanyaan itu menggantung di udara. Tak ada jawaban segera. Abirama hanya menghela napas pelan sebelum akhirnya menjawab, “Kenapa kau menanyakannya?”
Kouji menyipitkan mata. “Karena kau bukan orang biasa.”
Abirama tetap diam.
Kouji melanjutkan, “Aku sudah lama memperhatikanmu. Gerakanmu, caramu berbicara, bahkan cara kau diam… Itu bukan sikap seorang petani biasa. Dan malam ini aku semakin yakin.”
“Yakin tentang apa?”
“Bahwa kau seseorang yang bisa diandalkan.” Kouji menatapnya lurus. “Tapi ada satu hal yang masih menjadi pertanyaanku. Kenapa tidak ada seorang pun di desa ini yang tahu siapa dirimu sebenarnya?”
Abirama akhirnya menoleh sedikit, menatap Kouji dengan pandangan datar. “Karena mereka tidak perlu tahu.”
Kouji mendecakkan lidah, sedikit tertawa kecil. “Jadi kau memang menyembunyikan sesuatu.”
“Aku hanya ingin hidup tenang.”
Kouji mengamati ekspresinya, mencari celah dalam ketenangan itu. Tapi Abirama terlalu dingin, terlalu sulit ditebak.
“Aku tidak tahu siapa kau sebenarnya, dan aku tidak akan memaksamu untuk bercerita.” Kouji melipat tangan di dadanya. “Tapi aku hanya ingin memastikan satu hal.”
“Apa?”
“Saat waktunya tiba, kau akan tetap berdiri di pihak kami, bukan?”
Abirama tak langsung menjawab. Ia hanya menatap lurus ke depan, sebelum akhirnya berkata dengan suara rendah namun tegas.
“Aku hanya membela apa yang perlu dibela.”
Jawaban itu tidak sepenuhnya jelas, tapi Kouji merasa itu sudah cukup. Ia tersenyum kecil.
“Baiklah, itu cukup bagiku untuk sekarang.”
Mereka kembali diam. Namun bagi Kouji, malam ini ia telah menemukan satu hal yang pasti—Abirama bukan sekadar pria biasa di desa ini. Dan dalam situasi seperti ini, keberadaannya bisa menjadi perbedaan antara hidup dan mati.
"Baiklah... Aku pergi dulu," Kouji melenturkan lehernya. "Aku akan berkeliling sekali lagi, sebelum pergi ke rumah tuan yamato."
Abirama mengangguk, merespon.
......................
Malam semakin larut. Setelah Kouji pergi, Abirama masih berdiri di tempatnya, matanya tak beranjak dari kegelapan hutan. Ada sesuatu yang mengusik nalurinya—sesuatu yang tak bisa ia abaikan.
Ia menarik napas dalam, lalu berbalik masuk ke dalam rumah.
Di dalam, Sora sudah duduk di dekat tungku api, sorot matanya penuh dengan pertanyaan yang belum sempat ia lontarkan. Saat Abirama masuk, ia langsung menatap ayahnya.
“Ayah…” Sora ragu sejenak, lalu akhirnya bertanya, “Apa kita dalam bahaya?”
Abirama tidak segera menjawab. Ia hanya duduk di seberang Sora, memandang nyala api yang berkedip-kedip dalam kesunyian.
“Ayah?” Sora mengulang, suaranya lebih lirih.
Akhirnya, Abirama membuka suara. “Bahaya itu selalu ada, Sora. Tapi ayah tidak akan membiarkan siapapun menyentuhmu, juga ibumu.”
Sora menelan ludah. Ia sudah lama tahu bahwa ayahnya bukan orang biasa, tapi malam ini semakin memperjelas semuanya.
“Lalu… siapa orang-orang itu?”
“Belum tahu,” jawab Abirama. “Tapi mereka bukan orang sembarangan.”
Sora mengepalkan tangannya. “Kalau mereka datang untuk menyerang desa, kita harus melakukan sesuatu!”
Abirama menatapnya. Ada sorot ketegasan dalam mata Sora—sesuatu yang mengingatkannya pada dirinya sendiri di masa lalu.
“Kita tidak akan bertindak gegabah,” kata Abirama akhirnya. “Orang-orang seperti mereka bergerak dengan tujuan. Kita harus mencari tahu dulu apa yang mereka inginkan.”
Sora mengangguk pelan, meski hatinya masih dipenuhi kegelisahan.
Tiba-tiba, terdengar ketukan di pintu. Keduanya langsung menoleh.
Abirama berdiri dan berjalan ke pintu. Saat ia membukanya, ia menemukan seorang pria tua berdiri di sana—Tuan Yamato, kepala desa.
“Abirama…” Yamato berbicara dengan suara pelan, tapi serius. “Aku perlu bicara denganmu.”
Abirama menatapnya sesaat, lalu mengangguk. “Masuklah.”
Yamato melangkah masuk, tatapannya bergantian antara Abirama dan Sora. Setelah duduk, ia menghela napas berat.
“Kouji memberitahuku tentang apa yang terjadi,” katanya. “Aku ingin tahu pendapatmu.”
Abirama bersandar sedikit. “Mereka belum bergerak. Tapi ini baru permulaan.”
Yamato mengetuk-ketukkan jarinya ke meja. “Aku sudah lama khawatir. Beberapa bulan terakhir, aku mendengar kabar dari desa lain tentang kelompok bayaran yang berkeliaran di desanya. Jika itu benar, mungkin saja... Itu mereka yang muncul tadi…”
Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan suara lebih rendah.
“Maka kita harus bersiap.”
Abirama tidak langsung menanggapi. Ia hanya memandang Yamato dalam-dalam, sebelum akhirnya berkata, “Aku telah lama tinggal di desa ini... Desa ini sudah seperti kampung halaman bagiku. Kampung halaman bagi, Sora. Jadi, aku tidak akan membiarkan siapapun mengusik ketenangan di desa ini.”
Yamato tersenyum kecil, meski sorot matanya tetap penuh kekhawatiran. “Itulah yang ingin kudengar.”
Di luar, angin berhembus semakin dingin. Keheningan yang menyelimuti desa terasa lebih berat dari biasanya—seolah ada sesuatu yang mengintai dalam gelap.
Dan mereka semua tahu… ini hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar.
1. Disiplin >> Lulus.
2. .... ?
Lanjut thoorr!!! /Determined//Determined/