Ini adalah kisah perjalanan seorang mafia italia yang bernama Ken dari keluarga Gatto salah satu keluarga mafia kelas kakap yang ada di italia,lika liku kehidupan gelap mafia ia jalani menjadi mesin pembunuh terbaik di keluarga Gatto,awal mula ketika ia diculik oleh sindikat perdagangan manusia di korea dan ia dibawa ke italia untuk dijadikan pekerja paksa namun siapa sangka ketika ia mencoba kabur dari sindikat tersebut ia bertemu dengan bos mafia di sana.Ken pun menjadi anak angkat bos mafia yang bernama Emilio itu.ia disekolahkan dan didik menjadi mesin pembunuh yang kejam hingga tidak ada satupun di dunia mereka yang tidak mengenal seorang Ken,orang yang kejam,berdarah dingin,diskriminatif dan berani itu menjadi pembunuh nomor satu di italia,bahkan namanya tidak hanya terkenal di keluarga mafia yang ada di italia saja,keluarga keluarga mafia dari berbagai belahan dunia mengenal baik nama seorang Ken
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gatto Pieno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 31
“Apakah kau tidak ingin kembali ke markas keluargamu terlebih dahulu?” Argus bertanya sambil menyetir.
“Tidak ada waktu. Lagipula, ada Levi yang mengatur semuanya,” jawab Ken sambil menatap layar ponsel di tangannya.
Argus hanya mengangguk pelan.
“Aku juga tidak bisa meremehkan kemampuannya,” terang Argus.
Levi adalah satu-satunya orang di keluarga Gatto yang dapat bertahan ketika bertarung melawan Ken. Saat itu, Emilio memberikan pelatihan kepada Ken. Seratus orang dicoba untuk bertarung tangan kosong dengan Ken. Dari seratus orang yang bertarung, hanya Levi yang mampu bertahan melawan Ken. Walaupun ia babak belur, setidaknya ia masih berdiri untuk melawan. Memang dari dulu Levi selalu berlatih dengan keras. Namun, latihannya tidak sebanding dengan bakat dan kerja keras Ken, yang setiap hari berlari naik turun gunung dengan beban di badannya, membuat staminanya di luar akal sehat manusia.
Ken masih mengotak-atik ponselnya, tampak fokus sekali menatap layarnya.
“Apa yang sedang kau lihat?” tanya Argus penasaran.
“Aku sedang mencari data keluarga Tomodachi,” jawab Ken singkat.
“Apa yang kau dapatkan?” Argus masih penasaran.
“Keluarga Tomodachi adalah keluarga Yakuza yang mengatur seluruh bisnis prostitusi dan pinjaman ilegal di Jepang. Nama mereka mulai naik ketika bencana gempa dulu. Mereka dengan sukarela memberikan pinjaman kepada masyarakat sekitarnya. Akhir-akhir ini, mereka membuat produk barang-barang elektronik yang membuat aset kekayaan mereka di Jepang melejit pesat,” jelas Ken.
“Kedengarannya mereka tidak lebih dari sekadar pebisnis biasa,” ucap Argus.
“Aku baru membaca sisi terang mereka. Sisi gelap mereka belum terungkap. Kita harus berhati-hati ketika sampai di sana,” terang Ken.
Argus mengangguk pelan, masih fokus menyetir mobilnya.
Sesampainya mereka di bandara, mereka langsung berangkat menggunakan pesawat komersial.
“Kenapa kita menggunakan pesawat biasa? Bukankah kau bisa menyewa satu pesawat untuk dirimu sendiri?” Argus sedikit kesal.
“Kita harus terlihat seperti orang biasa agar tidak mencolok ketika sampai di sana,” Ken memberikan alasannya pada Argus.
“Apakah kau tidak sadar dengan wajah tampanku ini? Tidak mungkin orang menduga kita ini adalah seorang mafia,” kesal Argus.
“Terserah kau saja,” Ken malas menanggapi sahabatnya itu.
“Permisi, berapa jam estimasi waktu kita hingga ke Tokyo?” tanya Ken pada salah satu pramugari.
Pramugari itu hanya diam ketika melihat wajah Ken. Ia terpana dengan wajah Ken yang tampan itu.
“Permisi!” Ken menyapa kembali.
“Ah...maaf,” pramugari itu mulai tersadar dan malu-malu melihat Ken.
“Apa yang tuan tanyakan tadi?” tanya pramugari tadi dengan malu-malu.
“Berapa jam estimasi waktu kita menuju Tokyo?” tanya Ken.
“7-9 jam, tuan,” jawab pramugari itu.
“Terima kasih,” jawab Ken.
“Apa anda ingin minuman, tuan?” pramugari itu menawarkan minuman bersoda pada Ken.
“Tidak usah, terima kasih,” Ken menolak sopan.
Ia harus menjaga sikapnya itu. Ia tidak bisa menunjukkan sifat aslinya.
Argus dari tadi hanya memejamkan mata. Ia beristirahat sejenak di kursinya. Selama satu minggu ini, ia sudah bolak-balik keluar negeri. Mungkin ide untuk menaiki pesawat komersial biasa tidaklah buruk. Ia bisa beristirahat untuk waktu yang lumayan lama.
Ken mengotak-atik kembali ponsel genggamnya. Ia terus mencari informasi tentang keluarga Tomodachi. Ia bertanya dengan seluruh relasinya, namun hanya sedikit yang tahu tentang keluarga Tomodachi ini. Karena keluarga Tomodachi termasuk keluarga yang sangat tertutup, sehingga sangat sulit mencari informasi internal mereka.
“Hei kawan, apa kau tidak beristirahat sejenak? Perjalanan kita cukup panjang,” Argus berbicara dengan mata masih tertutup.
Ken hanya menatap sahabatnya itu. Benar kata Argus, mungkin ia juga harus beristirahat sebentar. Ia mulai menyenderkan badannya ke kursi dan memejamkan matanya.
Sesampainya mereka di Tokyo, mereka agak terkejut melihat budaya negara yang sangat berbeda dengan negara-negara lain.
“Sepertinya para penduduk kota ini hidup dengan damai,” Argus memandangi sekitarnya.
“Kau belum tahu fakta negara ini,” ucap Ken.
“Fakta apa?” Argus penasaran.
“Angka kematian penduduk negara ini akibat bunuh diri sangat tinggi, dan juga penduduk di sini amat tergila-gila dengan pekerjaannya,” jelas Ken.
Argus hanya mengangguk pelan mendengar penjelasan Ken tadi.
“Apa kau sudah mendapatkan informasi tentang keluarga Tomodachi?” tanya Argus.
“Belum, aku sudah menyuruh Levi mencari informasi tentang keluarga itu pada berkas yang kutemukan sebelum berangkat ke Meksiko. Anehya, hanya informasi tentang lima orang yang datang ke perkumpulan itu yang tidak ada di sana,” jelas Ken.
“Mungkin Emilio sengaja menghancurkannya. Ia takut kejadian seperti ini akan terjadi di masa depan,” Argus menimpali.
“Lalu bagaimana kita menemukan markas mereka?” tanya Argus.
“Pasti ada caranya,” Ken berkata mantap.
Mereka berdua berjalan menyusuri bar-bar yang ada di kota Tokyo. Mereka berusaha mengumpulkan informasi tentang letak markas keluarga Tomodachi, namun hasilnya nihil.
“Ini titik buntu. Tidak ada satu pun yang tahu tentang keluarga Tomodachi ini,” kesal Argus.
Ken terus berpikir. Ia berusaha mencari dengan petunjuk yang ada. Ia pun mengajak Argus menuju toko elektronik yang ada di dekat sana. Ia mengambil salah satu produk yang dijual di sana.
“Apa maksudmu mengajakku kemari?” Argus masih kesal.
“Kau lihat ini,” Ken menunjukkan lambang produk elektronik di tangannya.
“Kau lihat tanda ini? Mereka sengaja tidak memakai nama mereka dalam produk mereka, tapi tanda ini sudah tersebar di mana-mana. Kau lihat sekitarmu? Tanda itu ada di setiap produk yang ada di kota ini. Nama berbeda, namun ada satu hal yang sama yaitu huruf T yang ditulis agak tebal,” Ken memberikan opininya pada Argus.
“Itu berarti...” kata-kata Argus tersekat.
“Ya, benar. Kota ini adalah sentral kekuasaan keluarga mereka,” Ken menatap serius Argus.
“Berarti kita sedang berada di kandang lawan,” Argus menatap balik Ken.
“Belum tentu. Kita belum memastikan mereka ada di pihak kita atau bukan,” Ken memberikan asumsinya.
Tak lama kemudian, mereka berdua didatangi oleh rombongan kurang lebih lima puluh orang dengan badan berotot dan memiliki tato di sekujur badannya. Ken dan Argus waspada memasang posisi bertarung.
“SELAMAT DATANG!!!” mereka semua menundukkan badan hormat.
Ken dan Argus terkejut melihat sikap mereka seperti itu. Di tengah-tengah keterkejutan mereka, tiba-tiba dari belakang rombongan itu keluar seorang pria menggunakan setelan kemeja, celana hitam, dan rambut disisir rapi.
“Selamat datang di kota kami. Aku Riku, dari keluarga yang kalian cari-cari,” ucap pria itu.
Ken dan Argus masih diam membisu, mereka masih terkejut dengan apa yang barusan terjadi pada mereka berdua.
“Kalian tak usah kaget seperti itu,” ucap Riku menatap mereka berdua.
“Maaf, aku masih sedikit terkejut melihat kalian menyambut kami seperti ini,” Argus membalas tatapan Riku.
“Tidak apa-apa, ini semua permintaan pemimpin kami untuk menyambut kalian,” ucap Riku.
“Ayo kita berangkat menuju markas besar kami. Kalian sudah ditunggu oleh pemimpin,” Riku mengajak Ken dan Argus menaiki mobil yang diparkirkannya di depan toko elektronik itu.
Mereka berangkat menuju markas besar keluarga Tomodachi, menggunakan mobil.
“Ke mana kita akan pergi? Bukankah distrik tadi sentral kalian?” Argus membuka pembicaraan dalam mobil itu.
“Di sana memang sentral kami, tapi bukan markas yang didiami BIG BOSS,” jelas Riku singkat.
Saran, lanjut thor, semangatt