Ada cowok yang pikirannya masih di zaman batu, yang menganggap seks cuma sekedar kompetisi. Semakin banyak cewek yang ditiduri, maka semakin jantan dia.
Terus ada juga yang menganggap ini cuma sebagai salah satu ajang seleksi. Kalau goyangannya enak, maka mereka bakal jadian.
Ada lagi yang melihat ini cuma buat kesenangan, tanpa perlu ada keterikatan. Ya, melakukannya cuma karena suka. Sudah, begitu saja.
Dan ada juga cowok yang menganggap seks itu sesuatu yang sakral. Sesuatu yang cuma bisa mereka lakukan sama orang yang benar-benar mereka sayangi.
Nah, kalau gue sendiri?
Jujur, gue juga nggak mengerti. Gue bahkan nggak tahu apa arti seks buat gue.
Terus, sekarang gue ada di sini sama Carolline?
Gue baru kenal dia, jadi gue nggak ada niatan buat tidur sama dia. Tapi kalau soal bikin dia puas?
Itu cerita lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cafe Tera's III
Dua hari kemudian, gue malah jalan ke arah Tera's setelah kelas selesai.
Gue cuma mau pastikan kalau Phyton baik-baik saja. Jadi, gue ambil napas panjang sebelum dorong pintu kafe. Beberapa detik, mata gue menyapu seluruh ruangan. Ramai kayak biasanya, tapi gak ada siapa-siapa di balik counter.
Terus, dari bawah meja, muncul rambut biru itu, Phyton lagi jongkok mencari sesuatu di laci bawah. Gue langsung berhenti.
Dia kelihatan sama seperti biasanya, santai, pipinya agak merah, sambil bersiul dan mengikuti lagu yang diputer dari speaker. Tapi ada satu hal yang beda.
Dia pakai kaos berkerah tinggi.
Alarm langsung bunyi di kepala gue, tapi gue tarik napas dalam-dalam. Gue sudah tahu kalau menghadapi dia langsung gak akan ada gunanya.
Phyton akhirnya melihat gue. Matanya sedikit melebar selama beberapa detik sebelum dia balik fokus ke bikin kopi, seolah gue gak ada di sana.
Untungnya, Melvin gak kelihatan di mana-mana.
Gue jalan ke counter dan menyapa,
"Hey."
Phyton memutar badan ke gue, kasih senyum khas pelayan yang kaku.
"Selamat datang di Tera's. Mau pesen apa?"
"Phyton, lo baik-baik aja?"
Dia diam. Cuma berdiri di situ, nunggu gue ngomong yang lain, dan tiba-tiba gue ingat omongannya di telepon beberapa hari lalu.
"Asta, gue rasa lo mending hapus nomor gue. Gue lagi gak ada waktu buat temanan sekarang. Semoga sukses buat lo. Tolong jangan hubungin gue lagi. Jangan bikin hidup gue lebih ribet. Jangan nelpon lagi. Selamat tinggal."
"Gue mau satu latte buat ditake away." jawab gue akhirnya.
Phyton masukin pesenan ke sistem dan bilang, "Tiga puluh empat ribu lima ratus."
Gue bayar, terus dia lanjut, "Siap dalam lima menit."
Dia langsung balik badan buat menyiapkan kopi. Gue cuma berdiri di situ, memperhatikan dia. Sebagian dari diri gue masih gak percaya. Phyton gak pernah kayak gini ke gue, bahkan waktu kita belum dekat dan gue cuma pelanggan biasa. Dia selalu ramah, selalu bercanda tiap gue datang buat pesan sesuatu.
"Asta, ya? Gue tebak, hari sedingin ini lo pasti gak pesen latte klasik lo. Lo pasti mau coklat panas," begitu biasanya dia ngomong.
Gue gak bisa gak menyalahkan diri sendiri.
Apa gue sudah terlalu ikut campur?
Apa gue bikin dia gak nyaman?
Gue gak bisa diam saja lihat apa yang terjadi sama Melvin. Tapi, apa gue salah ngomong? atau gue harus bantu Phyton pelan-pelan sampai dia sadar sendiri?
Mungkin buat Phyton, gue cuma orang asing yang sok ikut campur. Tapi buat gue, dia anak baik. Dan gak ada yang pantes melewati hal kayak gini. Gak ada.
Sambil nunggu, gue buka HP dan kirim pesan.
...📩...
Gue: Kalau lo lihat gue sekarang, lo pasti bakal merasa deja vu.
^^^Zielle: ?? Lo lagi ngapain, Asta?^^^
Gue: Nungguin seorang.
^^^Zielle: Hahahaha.^^^
^^^Zielle: Cakep gak?^^^
Gue: Bukan kayak gitu, gue cuma khawatir sama dia.
^^^Zielle: Oh, tentu… Sama kayak gue khawatir sama Anan.^^^
Gue: Jangan sebut-sebut Anan.
^^^Zielle: Santai, Anan ribuan kilometer dari sini.^^^
Gue: Oooh, lo kangen dia?
^^^Zielle: Pasti. Tapi bukan itu intinya. Gue udah bikin minuman, jadi ayo cerita soal seseorang yang bikin Asta Batari meleleh.^^^
Gue senyum sendiri, masih ada waktu sebelum Phyton selesai tutup kafe, jadi gue ceritain semuanya ke Zielle.
Soal Selma, Phyton, dan Melvin.
Dari dulu gue selalu nyaman sama Zielle dan Niria. Gak ada rasa takut, gak ada jaim-jaiman. Gak nyangka pertemanan kita bisa sedekat ini, padahal semua berawal dari satu gelas minuman yang Zielle kasih ke gue di bar Antari.
^^^Zielle: Oke, oke. Ini kebanyakan drama. Gue tinggal sebentar, dan lo udah punya kisah telenovela di kampus.^^^
Gue: Gue tahu.
^^^Zielle: Asta, boleh tanya sesuatu?^^^
Gue: Tentu.
^^^Zielle: Lo suka sama Phyton?^^^
Gue mendesah dan ketawa.
Gue: Jelas enggak.
^^^Zielle: Mmm, lo lagi di fase penyangkalan nih.^^^
Gue: Enggak, Zielle. Gue cuma peduli sama seseorang yang lagi ada di situasi sulit.
^^^Zielle: Uhuuum.^^^
Gue bisa kebayang matanya menyipit sekarang.
Gue: Gue suka sama Selma, lo tahu itu.
^^^Zielle: Lo bisa suka sama Selma dan suka sama Phyton juga. Itu bukan sesuatu yang tabu kalau sama gue.^^^
Gue: Kayaknya...
^^^Zielle: Gue anak Psikologi, ya?^^^
Gue: Jangan ngarang deh, oke? Lagian, bakal ribet banget kalau gue suka dua-duanya.
^^^Zielle: Ribet kayaknya sudah jadi hobi keluarga Batari.^^^
Gue lihat Phyton pakai jaket, pasang kupluk hitam, terus matiin lampu.
Gue: Sorry, harus nge-cut sesi psikolog lo, tapi gue pergi dulu.
^^^Zielle: Good luck, macan, grrr.^^^
Gue cemberut sambil masukin HP ke kantong. Gue benci dia.
Gue lari ke depan kafenya, Tera's dan lihat Phyton lagi nutup tempat. Pas dia balik badan dan melihat gue, dia kaget.
"Sorry, gak maksud buat nakutin lo."
Phyton diam saja, terus jalan. Gue mengikuti.
"Phyton, gue mau minta maaf kalau bikin lo gak nyaman. Gue cuma khawatir aja."
Dia masukin tangannya ke kantong jaket. Pas kita sudah agak jauh dari kafe, dia sempat melihat ke sana sebentar. Ada ekspresi takut di matanya sebelum akhirnya dia melihat gue.
"Asta, lo gak perlu minta maaf. Lo gak ngelakuin apa-apa yang salah, oke? Pulang aja."
"Kalau gue gak salah apa-apa, terus kenapa lo gak mau ngomong sama gue lagi?"
"Hidup gue ribet, Asta. Gue pengen kita bisa temanan, tapi... sekarang gak bisa. Mungkin nanti."
"Melvin yang ngelarang lo, ya?"
Phyton langsung cemberut pas dengar nama itu.
"Enggak, ini keputusan gue sendiri."
"Keputusan lo? Gitu aja tiba-tiba? Phyton, kita ngobrol santai banget waktu itu, terus lo mendadak nge-cut telepon. Pas gue coba nelpon lagi, lo malah gak mau ngobrol. Jujur aja, ini terlalu jelas kalau ini bukan maunya lo."
"Kenapa lo gak bisa nerima aja? Kalau seseorang gak mau ngobrol, ya sudah. Biarkan aja."
Dia gak berani menatap gue.
"Kalau gue yakin ini benaran keputusan lo, gue bakal mundur tanpa ragu."
"Terus gue harus bagaimana biar lo percaya? Pakai Sumpah? Kenapa gue harus kasih penjelasan ke lo? Lo baru aja muncul di hidup gue, lo gak punya hak buat nuntut apa-apa."
Gue jarang banget marah, tapi Phyton tahu persis bagaimana cara bikin gue frustrasi. Gue maju selangkah, dan dia jadi agak panik.
"Lo ngapain?"
Gue berhenti pas banget di depannya.
"Lihat mata gue dan bilang lo benaran gak mau ngomong sama gue lagi."
Mukanya makin merah, lebih dari biasanya. Dia buang muka.
"Gue gak perlu lakuin itu."
Gue gak mau bikin dia makin gak nyaman, jadi gue mundur selangkah.
"Gue bakal tetap di sini, Phyton, kalau lo butuh sesuatu. Gue gak bakal maksain atau maksa lo buat ngobrol sama gue. Gue cuma mau lo tahu kalau dia gak seharusnya yang milih teman lo, gak seharusnya ngatur hidup lo sampai segininya. Dan gue tahu lo sadar itu. Lo anak yang pintar. Selamat malam."
Gue pergi, karena ngobrol sama dia sekarang rasanya kayak ngobrol sama tembok. Gue juga gak bisa maksa dia buat jadi teman gue. Pas gue jalan menjauh, dada gue berdebar kencang, dan butuh beberapa detik buat gue sadar itu jantung gue.
Gue nyengir kayak orang bego.
Kayaknya Zielle ada benarnya.
Bikin hidup jadi ribet memang hobi keluarga Batari.
cobalah utk hidup normal phyton
𝚜𝚊𝚕𝚞𝚝 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊,𝚠𝚊𝚕𝚊𝚞𝚙𝚞𝚗 𝚖𝚊𝚕𝚟𝚒𝚗 𝚔𝚊𝚔𝚊𝚔𝚗𝚢𝚊 𝚝𝚊𝚙𝚒 𝚍𝚒𝚊 𝚝𝚍𝚔 𝚋𝚎𝚕𝚊𝚒𝚗 𝚔𝚊𝚔𝚊𝚔𝚗𝚢𝚊,𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊 𝚖𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚗𝚐𝚎𝚍𝚞𝚔𝚞𝚗𝚐 𝚙𝚑𝚢𝚝𝚘𝚗