MELAWAN IBLIS menceritakan tentang seorang gadis keturunan pendekar sakti yang hijrah dari Tiongkok ke Nusantara untuk mendapatkan kehidupan yang tenang.
Namun dibalik ketenangan yang hanya sebentar di rasakan, ada sebuah hal yang terjadi akibat kutukan leluhurnya di masa lalu.
ingin tahu bagaimana serial yang menggabungkan antara beladiri dan misteri ini?
mampukah wanita cantik itu lepas dari kutukan iblis?
simak selengkapnya dalam Serial Melawan Iblis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cut Tisa Channel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tragedi Berdarah
Sepasang suami istri yang masih muda terlihat berjalan di dalam hutan pagi itu.
Suara kicau burung serta pemandangan alam yang indah menembus ke pegunungan sebelah barat mewarnai perjalanan mereka.
Pria bercaping dengan wajah tampan dan tubuh kokoh tinggi khas india berjalan berdampingan dengan gadis cantik berwajah oval dengan mata sipit hidung mancung dan dagu sedikit meruncing dengan lesung pipit di kedua pipinya kala ia tersenyum.
"Dinda, sebentar lagi kita sudah mencapai perbatasan Nusantara. Bagaimana menurutmu, apa kita sewa perahu atau berlayar bersama menggunakan kapal angkutan umum?" suara lembut Asok menyapa telinga Sila kala mereka melangkah.
"Terserah kanda saja. Naik angkutan umum pun aku tidak keberatan asal bersama mu". Sambil tersenyum manis Sila yang kini mengandung tiga bulan itu menjawab.
Keduanya pun kembali berjalan hingga tiba di pelabuhan yang terdapat di balik hutan indah itu.
Setibanya di dermaga, sudah ada kapal besar yang sedang menunggu penumpang. Ketika mereka ingin membayar ongkos kapal, ada sekelompok besar kompeni yang melihat mereka dan membuntuti dari kejauhan hingga sampai ke kapal.
Sila yang lebih awas dari sang suami mulai merasa bahwa gerak gerik mereka seperti di awasi orang. Dia pun berbisik kepada Asok,
"Kanda, ada yang mengikuti gerak gerik kita".
"Siapa?" Tanya pria itu.
"Entah lah. Jangan di lihat, pura pura saja tak tau". Seru Sila menarik tangan suaminya ke dek paling atas.
Baru saja mereka sampai di dek atas, lima orang kompeni berpakaian ringkas mendekati mereka.
"Perlahan dulu. Siapa kalian? Darimana?" Tanya kepala regu kompeni itu kepada mereka.
"Kami cuma orang kampung biasa yang ingin mengunjungi keluarga di Tiongkok". Jawab Asok.
"Kalian harus ikut kami. Kami mencurigai seorang pria india dan gadis Tiongkok yang mem,, Dhhuuk,, aahhkkh". Belum sempat menyelesaikan kata katanya, kepala regu itu terlempar akibat tendangan Sila di dadanya.
Geger lah para kompeni lainnya melihat komandan mereka terpukul. Mereka pun segera mencabut senjata, namun kecepatan Asok dan Sila membuat empat orang itu jatuh tak bergerak.
Kelima orang itu pun tewas seketika. Asok dan Sila buru buru turun dari dek atas.
"Hei, berhenti". Dari bawah terdengar suara hardikan Kompeni berpakaian lengkap berwarna putih dengan topi tentara nya.
Lompatan Asok dan Sila kembali membuat dua orang di antara kompeni itu kembali telentang dengan dada sesak.
Segera terjadi perkelahian seru dengan menggunakan senjata. Meski ramai para kompeni mulai berdatangan, namun kehebatan Asok dan Sila sangat lah lihai sehingga sebentar saja, 20 orang telah telentang dengan kepala pecah, kaki tangan patah dan luka lain yang membuat kompeni itu paling tidak setengah mati.
Asok segera menarik tangan Sila menuju ke dek paling bawah karena sudah banyak mata para penumpang lain yang melihat aksi mereka.
Di dek dasar kembali mereka tersusul musuh yang mengejar. Di situ kembali terjadi perkelahian. Banyak sekali tentara penjajah yang mengepung mereka.
Namun semua itu malah membuat Sila semakin bersemangat. Ketika itulah hadis seorang pria berambut pirang berotot kekar yang menghadapi Asok dengan tangan kosong.
Asok pun bertemu tandingan nya. Jika di bandingkan dengan Sila, kepandaian Asok masih setingkat di bawah Sila.
Namun pengalaman dalam kecurangan bertarung tentu saja Asok lebih menguasai nya sebagai putra seorang kepala perkumpulan sesat.
Terjadilah perkelahian berat sebelah antara Asok melawan pria bernama Vanden yang di bantu oleh para kompeni lainnya.
Melihat suaminya terkepung, Sila yang ingin membantu tak bisa berbuat apa apa karena dirinya juga di kepung oleh tiga puluh lebih kompeni bersenjata lengkap.
Suatu ketika, Asok yang terkena pukulan di bahunya jatuh tertelungkup dan sebuah sabetan senjata tajam mengenai belakang bahunya hingga mengucurkan darah segar.
Sila yang menyaksikan hal itu berteriak kencang memanggil nama suaminya. Dengan gebrakan hebat wanita itu menerobos kepungan musuh dan berhasil melakukan serangan kepada Vanden hingga membuat pria itu mundur lima langkah.
Kesempatan itu di gunakan Sila menarik suaminya dan membawanya ke tangga menuju dek paling bawah tempat penyimpanan barang barang kapal.
Puluhan orang mengejar namun setelah mereka berdua mengunci pintu akses ke gudang, para kompeni di luar hanya bisa menggedor gedor pintu besi tersebut.
Akhirnya mereka pun memasang peledak di depan pintu itu tanpa menyadari bahwa di dalam gudang terdapat banyak sekali drum berisi bahan bakar minyak.
Sila terus saja masuk ke dalam hingga tiba di pintu bagian samping yang menghubungkan mereka ke ruangan mesin.
Beberapa anak buah kapal menghampiri Sila yang memapah Asok dan bertanya,
"Nyonya, kenapa suamimu?"
"Dia kecelakaan di atas. Tolong kami". Jawab Sila.
"Bawa kemari, naikkan ke sini, biar kami mengantarnya ke pelabuhan sana..disana ada rumah sakit".
Tanpa berkata apa apa, Sila segera menaikkan Asok ke sekoci penyelamatan. Baru saja mereka lepas landas dari kapal, beberapa boat kecil darurat yang di isi oleh para kompeni juga meninggalkan kapal.
Saat itulah kapal besar tersebut meledak menewaskan seluruh penumpang yang tak tau apa apa.
Sila dan Asok dibawa ke pelabuhan daerah kota Phuket Thailand. Meski pelarian mereka di ikuti oleh pihak kompeni, namun hingga mereka tiba di rumah sakit Phuket, tak ada yang berani menghadang mereka sama sekali.
Beberapa hari di situ, Sila dan Asok kembali melanjutkan perjalanan mereka ke arah negeri Bhutan dengan aman tanpa gangguan yang berarti sedikitpun.
***~###~***
Tiga orang tiba di depan sebuah rumah besar bergaya Tiongkok yang terletak tak jauh dari pegunungan Brahma.
Silya tiba di sana bersama Saloka dan Arya tepat siang hari. Mereka bertiga melihat di depan rumah sedang ada pedagang yang berbicara dengan Sina kakak lelaki Silya.
"Kak Sina!!" Sapa Silya.
"Silya, achh, kalian sudah sampai dengan selamat. Syukurlah". Dengan berlari Sina menyambut mereka bertiga dan mempersilakan masuk ke dalam.
Di dalam mereka bertemu dengan seluruh keluarga Silya yang menyambut hangat kedatangan mereka.
Ketika salah satu istri Tun Ai yang dulu bernama Caluyi hadir di ruang tamu itu, Saloka melihat nya sambil terperanjat kaget seperti patung.
"Ibu,," ucap nya tak sengaja.
Heran lah mereka semua. Lebih lebih Silya yang melihat tingkah Saloka seperti orang yang kerasukan Jin.
"Maaf, siapa kau anak muda?" Tanya nyonya Yi sambil tersenyum dan mengerutkan alis.
"Ah, maafkan aku. Anda pasti bibi Caluyi. Benarkan?" Tanya Saloka dengan senyum pasti.
"Dari mana kau tau nama mudaku? Ah, pasti Silya yang bercerita bukan?" jawab nyonya Yi yang di dengarkan oleh semua nya termasuk Tun Ai dengan seksama.
"Aku Saloka. Putra tunggal ibu yang bernama Caluya".
"Acchhh". Terdengar seruan kaget dari mulut Tun Ai beserta tiga istrinya.
"Kau,, ah, sungguh suatu kebetulan. Bagaimana keadaan Kak Yaya?" dengan air mata berderai dan memegang tangan Saloka, Nyonya Yi bertanya.
"Ibu baik baik saja. Kami tinggal bertiga di daerah Himalaya dan ibu banyak bercerita tentang mu, tentang paman Siaw Jin dan keluarga kalian". Jawab Saloka tersenyum gembira.
"Apakah kau tinggal bertiga dengan ayah mu?" kembali nyonya Caluyi bertanya.
"Tidak. Ibu bilang ayah ku telah lama pergi ke Nusantara. Makanya aku sampai kemari mencarinya. kami tinggal bersama kakek yang juga menjadi guruku selama ini. Namun sesekali kak Sintong dan kak Meiling datang dan menginap bersama kami".
"Apakah guru yang kau maksud si Dewa Kerdil?" Tanya Tun Ai.
"Benar paman Siaw Ji".
"Panggil Saja Paman Ai. Disini orang mengenalku dengan sebutan Tun Ai". Potong pria setengah tua itu.
"Baik paman Ai. Kakek lah yang banyak mengajarkan aku ilmu beladiri dan banyak hal lain bersama ibu. Tak ku sangka, salah seorang ibu Silya adalah bibi ku sendiri". Seru Saloka.
Karena makanan telah tersedia di meja makan, mereka semua pun makan bersama. Saat itulah Sina sekalian pamit untuk berkelana setelah menyinggung hubungan asmara kedua adiknya.
"Jika begitu keinginan mu, kami pun tak ingin melarang. Kau sudah dewasa Sina. Ingat semua yang telah ku ajarkan. Pergunakan untuk menolong yang lemah. Kapan kau berangka" Tanya Tun Ai.
"Besok pagi ayah. Aku akan ke rumah guru malam ini. Mungkin menginap disana. Sepulang dari sana besok, aku akan berangkat".
"Baik lah. Hati hati di luar sana nak". Seru ibu kandung nya iba.
BERSAMBUNG. . .