Rosa kembali ke Bandung setelah enam tahun menghindari Papa dan Rama, Kakaknya. Selain kembali beradaptasi dengan sekolah baru dan menguatkan hatinya untuk bertemu Rama, Rosa yang kaku juga dikejutkan dengan kedatangan Angkasa. Kakak kelasnya yang adalah anggota geng motor.
Perasaannya dibuat campur aduk. Cinta pertamanya, kebenciannya pada Rama dan Papa, juga rasa kehilangan yang harus kembali dia rasakan. Bagaimana Rosa yang sulit berekspresi menghadapi semuanya?
Apakah Rosa bisa melaluinya? Apakah Rosa bisa mengembalikan perasaan damainya?
Update setiap hari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noey Ismii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Semua Rosa Dirayakan
Setiap hari Rama masih gencar merecoki Rosa. Pagi dengan drama berangkat sekolah, lalu siang dengan drama pulang sekolah, sore ke malam dengan semua drama di rumah. Masih membawakannya buah-buahan setelah pulang sekolah. Masih suka mengajaknya membuat cookies, kadang brownies, puding buah, dan kemarin Rama membuatkan Rosa strawberry shortcake.
Rama juga membelikannya buket mawar saat Rosa berhasil memasukan bola basket ke dalam ring. Hanya sekali itu. Dan Rama heboh dengan buketnya.
Saat Rosa diterima di klub foto, di kamarnya Rosa juga menemukan lampu tidur berbentuk bulat yang jika dinyalakan akan menjadi proyektor yang membuat kamarnya penuh bintang-bintang. Rosa menyukainya, jadi setiap malam dia akan mematikan lampu, menggantinya dengan lampu bintang-bintang.
Rama juga akan menemani Rosa yang sedang mencuci baju. Dia akan duduk di jendela yang terbuka sambil menunggu Rosa menyetel mesin cuci. Bercerita tentang klub Kebon Kembangnya saat Rosa menjemur cuciannya. Rosa kadang mengusirnya saat dia mengeluarkan underwearnya dari dalam mesin cuci.
Dia berniat menenangkan diri saat menyibukan dirinya. Tapi Rama mengikutinya seperti bayangan. Rosa semakin dongkol. Tapi dia bersyukur karena Rama tidak pernah marah kepadanya.
Rama juga mengizinkan Rosa setiap kali Angkasa mengajaknya pergi.
Dalam tiga bulan ini Angkasa beberapa kali datang untuk mengajak Rosa pergi. Dari menyusuri kota, sampai ke alam di pinggiran Bandung. Lembang, Ciwidey, Pangalengan, sampai ke Citatah. Angkasa juga dengan sopan memperkenalkan dirinya sebagai teman Rosa saat akhirnya bisa bertemu Papa.
“Saya antar Rosa hunting foto, Om. Rosa udah masuk klub foto, sih, tapi saya mau kasih lihat Rosa sisi lain dari Bandung. Yang gak cuma disitu-situ aja.” Angkasa terlihat sopan saat diajak Papa untuk duduk setelah mengantar Rosa sore itu. Dia membuka jaket dan sepatunya.
“Wah, kamu pasti udah kenal Bandung banget ya?” tanya Papa.
“Enggak, Om, malah saya gak kenal sama Bandung. Sampe saya muter-muter sendiri buat kenalan sama kota ini. Terus ketemu tempat-tempat yang bagus. Sayang aja kalau cuma saya yang lihat,” jawab Angkasa. Dia kemudian langsung akrab dengan papa.
Angkasa bahkan cerita kalau dia pernah dikira
anggota geng motor. “Iya, Om, padahal saya anak baru di Bandung yang gak kenal siapa-siapa. Tapi bahkan Rosa yang anak baru aja tau gosip itu,” Angkasa menggelengkan kepalanya.
Papa tertawa.
“Kak Angkasa masih lama? Udah sore,” Rama tersenyum kaku melihat Angkasa yang masih berbasa-basi dengan Papa.
“Om, pengawal tuan putri galak banget deh. Padahal saya kakak kelasnya, tapi dia gak ada takutnya sama saya.” Angkasa melirik Rama.
“Makan malem disini aja gimana, Angkasa?” tanya Papa.
Angkasa menggeleng, “Makasih tawarannya, Om, tapi biasanya Mama udah masak kalau hari libur. Jadi saya harus makan di rumah. Kapan-kapan aja, Om,” tolaknya halus.
“Gak ada kapan-kapan,” Rama menimpali.
Papa mengangguk sambil tersenyum, “Baiklah, hati-hati di jalan. Jangan suka ngebut,” kata Papa lagi.
Angkasa mengangguk, menyalami Papa kemudian memakai jaket dan sepatunya. Dia beralih melihat Rama. Mengangkat sebelah alisnya sambil tersenyum kecil. “Pamit dulu, Om,” katanya setelah di atas motornya.
Rosa hanya mengangguk saat Angkasa melihat ke arahnya dan mengangguk berpamitan. Kemudian pergi setelah melihat anggukan Papa.
-o0o-
Papa sudah menghabiskan makannya. Rama menyendok lagi nasi ke piringnya. Papa mengambilkan ayam bakar lagi untuk Rama.
Sedangkan Rosa sudah menghabiskan setengah dari nasi yang diambilnya tadi.
“Kemana aja tadi, Sa?” tanya Rama. Dia sedang mengunyah brokoli.
“Aku kan udah bilang hari ini ke Observatorium Bosscha,” jawab Rosa.
“Emang Bosscha buka untuk umum, ya?”
“Kak Asa bilang dia war tiket dari sebulan lalu.”
“Wah, niat banget ajak kamu ke sana, ya,” Papa ikut berkomentar.
Rosa mengangkat bahu, “Kak Asa emang selalu niat, sih. Kemarin pernah ke kebun teh dan jalannya jelek banget. Tapi emang bagus banget pemandangannya,” Rosa mengingat.
Papa tersenyum. “Angkasa baik sama kamu?”
Rosa menatap sekilas pada Papa, mengangguk, “Kak Asa baik.”
Rama menatap Rosa, “Dia nembak?”
Muka Rosa memerah, “Nembak gimana?” tanyanya.
“Kalian pacaran?”
“Rama,” Papa menghentikan Rama saat melihat mata Rosa yang berkilat marah.
“Enggak, kita temenan bukan pacaran.” Rosa berdiri, berjalan ke wastafel dan mencuci piringnya. “Aku udah selesai. Mau ngerjain PR,” pamitnya lalu masuk ke kamar.
Rama menatap Papa, lalu tersenyum. “Maaf, Pah,” katanya.
“Seneng banget ganggu Rosa sampe marah gitu, ya,” komentar Papa. Papa sudah tidak asing lagi dengan Rama yang menggoda Rosa dan Rosa
yang marah setelahnya.
“Dia bukan marah, Pa, dia malu,” jawab Rama.
Mengenal Rosa beberapa bulan ini jadi tahu kebiasaan adiknya. Rosa akan langsung pergi jika malu. Tapi akan menatapnya dengan penuh amarah saat marah.
Rama juga melihat perubahan sikap Rosa. Sedikit banyak, dia berterima kasih kepada Angkasa. Sejak bertemu cowok itu, Rosa tidak sekaku saat pertama kali datang.
Jika Rama hanya membuat Rosa kesal setiap saat, maka Angkasa akan membawa keceriaan untuknya. Rama bersyukur akan hal itu. Setiap kali Rosa pulang bermain dengan Angkasa, dia akan tersenyum. Tapi langsung cemberut saat melihat Rama yang menunggunya di teras.
“Kak Rama gak ada kerjaan lain?” tanyanya di satu waktu saat Angkasa mengajaknya ke Braga dan Museum KAA.
“Kerjaan aku nungguin kamu, Sa,” jawabnya santai. “Besok anter aku ke toko buku, ya?” Rama mengekor Rosa yang masuk ke rumah.
“Besok aku mau istirahat.” Rama akan menyerah kalau Rosa bilang akan istirahat.
“Tapi malem ini kita nginep di Enin, jadi besok sekalian jalan pulang kita ke toko buku dulu ya.”
Rosa baru ingat hari itu dia sudah janji dengan Enin. Jadi mau tidak mau dia harus pergi juga dengan Rama. Rama nyengir sambil mengacak rambut Rosa.
-o0o-
Rosa tersenyum menatap ponselnya.
[Kak Asa : Gimana kata Papa?]
[Rosa : Kata Papa, Kak Asa baik udah anterin aku jalan-jalan.]
[Kak Asa : Minggu depan mau pergi?]
[Rosa : Minggu depan aku mau fokus belajar dulu, Kak.]
Rosa mengerjap, dia mengetik lagi.
[Rosa : Maaf.]
[Kak Asa : Gak apa-apa, Sa. Kita ketemu di sekolah aja?]
[Rosa : Iya :) ]
[Kak Asa : Oke, Rosa. Selamat malam.]
[Rosa : Selamat malam, Kak Asa.]
Rosa menurunkan ponselnya dan kembali tersenyum. Lalu senyumnya lenyap. Dia mengerjap baru sadar dengan bibirnya yang tersenyum. Matanya menatap layar ponsel yang gelap. Angkasa membuatnya tersenyum. Meskipun begitu Rama masih membuatnya merasa marah setiap kali bertemu dengannya.
Rosa juga menyadari, dalam waktu tiga bulan ini dia sudah banyak berubah.
Meskipun rasa marahnya pada Rama dan Papa masih ada, dia sudah tidak merasa terlalu menyesakkan saat bersama di rumah. Rosa akan dengan sadar menyingkir dari situasi tidak menyenangkan untuknya. Dia akan kembali masuk ke kamar atau menyendiri di gazebo belakang jika semua perasaannya sedang tidak baik.
Rosa menatap sekeliling kamar, kamar kosongnya di desa sangat berbanding terbalik dengan kamarnya sekarang. Rak buku yang saat dia datang masih kosong sekarang sudah hampir penuh. Dengan beberapa buket bunga yang disimpannya di atas lemari. Juga beberapa boneka, lampu bintang, berbagai alat penunjang kamera.
Semuanya sudah dikumpulkannya dalam waktu tiga bulan saja.
Menghela napas panjang, Rosa menyadari dia sudah berubah.
-o0o-