6 tahun mendapat perhatian lebih dari orang yang disukai membuat Kaila Mahya Kharisma menganggap jika Devan Aryana memiliki rasa yang sama dengannya. Namun, kenyataannya berbeda. Lelaki itu malah mencintai adiknya, yakni Lea.
Tak ingin mengulang kejadian ibu juga tantenya, Lala memilih untuk mundur dengan rasa sakit juga sedih yang dia simpan sendirian. Ketika kejujurannya ditolak, Lala tak bisa memaksa juga tak ingin egois. Melepaskan adalah jalan paling benar.
Akankah di masa transisi hati Lala akan menemukan orang baru? Atau malah orang lama yang tetap menjadi pemenangnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fieThaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30. Memang Kalah, Dan Berbahagialah!
Lala tercengang ketika mendengar cerita sang ibu. Dia mulai menatap Brian yang bersikap seperti orang tak tahu.
"Kalian lanjut lagi deh. Tante mau nyusul Papanya Alfa ke ruang kerja."
"Iya, Tante."
Setelah sang ibu pergi, Lala mulai menginterogasi Brian. Namun, tak ada penjelasan apapun dari pria yang memakai topi itu.
"Mas--" rengek Lala sambil menggoyang lengan sang kekasih.
"Kan tadi Mama kamu udah cerita."
"Iiihh!!"
Brian malah menarik tangan Lala ke dalam dekapannya. Sontak mata Lala melebar dan mulai mencoba melepaskan diri dari sang kekasih.
"Lepas, Mas. Ada Mama dan Papa."
"Kedua orang tua kamu udah tahu kalau kita pacaran."
Lala kembali terkejut. Selama dekat dengan Brian banyak plot twist yang dia dapatkan. Untung jantungnya masih aman.
"So, tak ada yang perlu kita tutupi."
Brian begitu gentle. Sungguh di luar dugaannya. Apalagi kedua orang tuanya malah bersikap biasa saja. Seperti sudah mengetahui semuanya.
.
Lala dan Brian memang sudah sepakat jika berada di kampus mereka akan bersikap biasa. Layaknya mahasiswa dan dosen.
Langkah Lala terhenti ketika mendengar suara yang memanggilnya. Seorang lelaki berlari ke arahnya.
"La!"
Ya, itu Devan. Tubuhnya terlihat lebih kurus dari sebelumnya. Dia tersenyum ke arah Lala.
"Pulang kuliah gua mau ngomong sama lu. Tapi, bukan di sini."
"Van, gua--"
"Please! Kali ini aja, La. Gua gak bisa nunda lagi."
Lala berpikir sejenak. Melihat mimik Devan sekarang terasa memilukan. Alhasil, dia pun mengiyakan.
Namun, sebelum bertemu dengan Devan dia lebih dulu berbicara dengan Brian yang memang ada di ruangannya.
"Kali ini aja, Mas. Boleh kan?"
Diamnya Brian membuat Lala takut. Dia tahu akan jawaban yang akan keluar dari bibir Brian. Segera dia keluarkan ponsel dan berkata.
"Aku akan hubungi Dev--"
"Aku ijinin."
Lala nampak tak percaya dengan apa yang dia dengar. Tangan yang baru saja. Brian genggam membuat Lala melengkungkan senyuman.
"Makasih, Mas." Brian hanya mengangguk.
"Setelah bicaranya selesai, hubungi aku dan aku akan segera jemput kamu."
Lala mengacungkan ibu jarinya dengan senyum yang begitu indah.
.
Lala sudah duduk di atas motor milik Devan. Dari lantai dua kampus ada seseorang yang memperhatikan mereka berdua dengan wajah yang sangat datar.
Devan dan Lala sudah tiba di suatu tempat. Lala terdiam untuk sesaat karena dia tahu tempat itu.
"Lu masih ingat kan tempat ini?"
Tak ada jawaban dari Lala. Dia masih terdiam dan tak melangkah sedikit pun. Hingga dia tersadar ketika tangannya ditarik oleh Devan. Di ruangan yang sama yang pernah dia dan Devan kunjungi sebelumnya. Di mana di situlah kesakitan itu muncul ketika Devan jujur akan perasaannya terhadap Lala. Perasaan yang bukan untuknya, melainkan Lea.
"Gua membatalkan mengajak Lea ke sini," paparnya.
Tetap saja tak ada jawaban dari sang perempuan.
"Gua ingin menjadikan tempat ini sebagai tempat yang menyimpan banyak kenangan tentang kita."
Atensi Lala mulai beralih. Wajah serius dapat Lala lihat dari sorot mata Devan. Tubuh Lala menegang ketika Devan mengeluarkan sesuatu dari saku celananya.
"Ini cincin yang lu pilih. Itu tandanya cincin ini harus lu pakai."
Devan sudah memandang wajah Lala dengan sangat lekat. Sorot matanya menunjukkan sebuah kejujuran.
"Gua cinta lu, La. Gua sungguh sayang lu."
Suara Devan bergetar. Matanya pun sudah berair.
"Gua emang terlambat menyadari. Dan gua juga terlambat untuk mengungkapkan. Tapi, gua harap masih ada kesempatan untuk lu Nerima perasaan gua ini."
Jika, dulu Devan mengatakan ini sudah pasti wajah sumringah dan bahagia akan terpancar. Beda dengan sekarang. Di mana tak ada reaksi apapun dari Lala.
"Ternyata hidup gua tanpa lu itu begitu hampa. Gua bagai manusia yang kehilangan arah."
"Tolong terima cinta dan sayang gua ini. Gua tahu lu gak akan dengan mudah melupakan begitu banyak kenangan indah yang pernah kita ukir berdua. Dan gua ingin mengukir kenangan indah berdua dengan lu lagi, La."
Lala belum juga bersuara. Tangan Devan mulai meraih tangannya, menggenggam tangan Lala dengan begitu lembut.
"La, gua janji--"
"Lu telat, Van. Hati gua udah jadi milik orang lain."
Hati Devan seketika terasa perih mendengar kejujuran Lala. Apalagi, tangan yang di genggam mulai dilepaskan oleh Lala.
"Letakkanlah setiap kenangan manis kita pada sebuah kotak besar dan lalu tutup. Jangan pernah dibuka lagi karena kenangan itu tak akan pernah bisa kita ulang kembali."
"Seperti Waktu yang tak akan pernah bisa berputar ke belakang. Sama halnya dengan hati yang sudah terluka, tak akan pernah bisa sembuh dengan sempurna."
Devan bagai orang bisu. Kalimat demi kalimat yang Lala ucapkan begitu menghantam jantungnya.
"Dari kisah persahabatan yang dilandasi perasaan kita berdua, bukan orang lama yang jadi pemenangnya. Melainkan orang baru yang berhasil memenangkan hati gua."
"Gua harap lu bisa mengikhlaskan. Sama seperti gua mengikhlaskan lu bahagia dengan adik gua."
Devan seperti mendapat karma instan. Apa yang Lala rasakan kini berbalik kepadanya. Dia saja yang lelaki, sakitnya sampai ke ulu hati. Bagaimana dengan Lala yang notabene hatinya lebih lembut dibandingkan laki-laki?
Suara derap langkah terdengar. Devan yang baru saja merasakan jantungnya dihujam belati tajam, kini peluru mematikan datang.
"Mas?" Lala nampak terkejut akan kehadiran Brian yang tak disangka.
Devan terkejut mendengar Lala memanggil dosen muda dengan kata Mas. Sedangkan Brian sudah mengulurkan tangannya dan membuat Lala tersenyum sambil menyambut uluran tangan Brian.
"Dialah yang berhasil memenangkan hati gua."
Ucapan Lala membuat Devan tak mampu bersuara. Semakin merasakan sakit yang tak terkira. Devan hanya bisa memandang punggung Lala yang sudah menjauh darinya.
6Jika, kesempatan kali ini gagal. Lepaskan Lala, Nak. Biarkan dia bahagia dengan lelaki yang mampu membahagiakannya.
"Bun, ternyata aku memang kalah."
Senyum tipis disertai embunan bulir bening hadir. Kepalanya pun mulai dia tundukkan.
"Berbahagilah bersama pemenang hatimu. Mulai sekarang, aku akan berusaha menanggalkan perasaan yang datang terlambat ini."
...*** BERSAMBUNG ***...
Komennya mana?