Prolog
Hujan deras mengguyur malam itu, membasahi jalanan berbatu yang dipenuhi genangan air. Siena terengah-engah, tangannya berlumuran darah saat ia berlari melewati gang-gang sempit, mencoba melarikan diri dari kematian yang telah menunggunya. Betrayal—pengkhianatan yang selama ini ia curigai akhirnya menjadi kenyataan. Ivana, seseorang yang ia anggap teman, telah menjebaknya. Dengan tubuh yang mulai melemah, Siena terjatuh di tengah hujan, napasnya tersengal saat tatapan dinginnya masih memancarkan tekad. Namun, sebelum kesadarannya benar-benar menghilang, satu hal yang ia tahu pasti—ia tidak akan mati begitu saja.
Di tempat lain, Eleanor Roosevelt menatap kosong ke luar jendela. Tubuhnya kurus, wajahnya pucat tanpa kehidupan, seolah dunia telah menghabisinya tanpa ampun. Sebagai istri dari Duke Cedric, ia seharusnya hidup dalam kemewahan, namun yang ia dapatkan hanyalah kesepian dan penderitaan. Kabar bahwa suaminya membawa wanita lain pulang menghantamnya seperti belati di dada
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon d06, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 28 tunjukan siapa dirimu
Malam itu, hawa dingin semakin menusuk tulang.
Eleanor yang merasa tubuhnya lengket setelah seharian beraktivitas memutuskan untuk mandi. Ia meminta seorang pelayan untuk menyiapkan air hangat, tetapi respons yang diterimanya sungguh di luar dugaan.
"Nona, air yang kita miliki hanya sedikit. Gunakan saja air laut. Kita semua sedang berusaha menghemat persediaan," ujar salah satu pelayan dengan nada ketus.
Eleanor menatap mereka dengan ekspresi datar. Tanpa membalas sepatah kata pun, ia berbalik dan masuk ke kamar mandinya. Tentu saja, ia tidak akan menggunakan air laut. Dengan persediaan yang terbatas, ia hanya mengambil sedikit air bersih yang tersedia—meskipun airnya dingin, itu lebih baik daripada tidak mandi sama sekali.
Setelah selesai, ia mengeringkan tubuhnya dengan cepat dan mengenakan pakaian hangat. Namun, saat menyisir rambutnya, ia baru menyadari bahwa ikat rambutnya tertinggal di kamar Cedric. Mengingat betapa pentingnya benda itu baginya, Eleanor segera bergegas mengambilnya.
Saat ia tiba di kamar Cedric, langkahnya terhenti sejenak. Beberapa pelayan sedang sibuk menyiapkan air hangat untuk Cedric.
Mata Eleanor menyipit.
"Jadi tadi mereka bilang persediaan air sedikit, tapi sekarang mereka menyiapkan air hangat untuk Cedric? Kenapa aku dilarang, tapi dia tidak?" pikir Eleanor.
Tanpa ragu, ia melangkah masuk dan menatap para pelayan itu dengan tatapan tajam.
"Kalian bilang airnya hampir habis, tetapi kenapa kalian tetap menyiapkan air hangat untuk Cedric, sedangkan aku dilarang menggunakannya?" suaranya terdengar tenang, tetapi tegas.
Para pelayan terdiam, tak berani menatap langsung ke arahnya. Wajah mereka terlihat canggung dan ketakutan.
Cedric yang sedang duduk di ranjang mendengar perkataan Eleanor dan langsung mengalihkan perhatiannya pada para pelayan. Tatapannya dingin, penuh makna. Mereka langsung menundukkan kepala, menyadari bahwa mereka telah bersikap pilih kasih.
Sementara itu, Eleanor berjalan mendekati Cedric tanpa ragu. Dengan gerakan yang penuh percaya diri, ia duduk di pangkuannya, menyandarkan kepalanya di dada pria itu.
"Bukankah aku bagian dari kalian?" bisiknya pelan, tetapi cukup jelas untuk didengar semua orang. "Aku ini istrimu, kan?"
Jari-jarinya bermain di dada Cedric, merasakan kehangatan yang dipancarkan tubuhnya.
Cedric tak langsung menjawab, tetapi ia membiarkan Eleanor berada di dekatnya, membiarkan semua orang melihat bahwa Eleanor bukanlah wanita yang bisa diabaikan begitu saja.
Para pelayan semakin menundukkan kepala, menyadari kesalahan mereka.
Eleanor tersenyum tipis. Hari ini, ia menunjukkan siapa dirinya.
Cedric mengangkat dagu Eleanor, menatapnya dalam-dalam.
Tatapan pria itu sulit ditebak, seolah sedang menimbang sesuatu dalam pikirannya. Namun, Eleanor tidak menghindar. Sebaliknya, ia justru menatap balik dengan penuh keyakinan.
"Kau baru menyadarinya sekarang?" suara Cedric terdengar rendah, hampir seperti bisikan.
"Maksudmu?" Eleanor mengerutkan keningnya.
Cedric tidak menjawab. Ia hanya menyunggingkan senyum tipis sebelum akhirnya memalingkan wajah ke para pelayan yang masih berdiri kaku di tempatnya.
"Kalian mendengar sendiri. Eleanor adalah istriku. Lain kali, jangan sampai aku mendengar ada yang membeda-bedakan dia dengan yang lain, apalagi mengabaikannya. Mengerti?"
Para pelayan menelan ludah, lalu menunduk dalam-dalam. "Kami mengerti, Tuan."
Setelah itu, mereka dengan cepat menyelesaikan tugas mereka dan bergegas keluar dari kamar. Eleanor bisa melihat ekspresi tegang di wajah mereka, tetapi ia tidak peduli. Yang penting, mereka kini tahu posisinya.
Setelah pintu tertutup, Cedric menghela napas dan kembali menatap Eleanor. "Sudah puas?" tanyanya, setengah bercanda.
Eleanor tersenyum, tetapi tidak menjawab. Ia bangkit dari pangkuan Cedric, lalu merapikan pakaiannya. "Aku hanya ingin mereka tahu bahwa aku bukan orang luar," ucapnya santai.
Cedric tertawa pelan. "Kau benar-benar berubah."
Eleanor mengangkat bahu. "Tentu saja. Tidak ada gunanya menjadi Eleanor yang lama."
Cedric memperhatikan ekspresi Eleanor dengan saksama, lalu tiba-tiba meraih pergelangan tangannya.
"Apa kau bahagia di sini?"
Pertanyaan itu datang begitu tiba-tiba, membuat Eleanor sedikit terkejut.
Eleanor menatap mata Cedric yang penuh dengan sesuatu yang tidak bisa ia artikan. Apakah itu rasa ingin tahu? Kekhawatiran? Atau sesuatu yang lebih dalam?
Eleanor tersenyum tipis. "Tentu saja. Aku berada di tempat yang seharusnya."
Namun, entah mengapa, Cedric merasa jawaban itu tidak sepenuhnya jujur.
Cedric tidak melepaskan tatapannya dari Eleanor. Sorot matanya tajam, seolah ingin membaca isi pikirannya. Eleanor merasakan kecanggungan mulai menyelimuti, maka dengan perlahan, dia melepaskan genggaman tangan Cedric.
"Aku akan memeriksa bahan pangan kita," katanya, sebelum segera berbalik dan meninggalkan Cedric di sana.
Saat tiba di dapur, Eleanor melihat beberapa pelayan yang tampak kebingungan. Mereka bergerak dengan canggung, berbicara dengan nada khawatir satu sama lain.
"Ada apa? Apa bahan-bahannya tidak cukup?" tanya Eleanor, menghentikan aktivitas mereka.
Para pelayan itu terkejut, lalu segera memberi hormat sebelum salah satu dari mereka menjawab, "Maafkan kami, Duces. Sepertinya makan malam kali ini tidak akan cukup untuk semua orang. Saya tidak yakin semua bisa mendapatkan bagian."
Eleanor terdiam sejenak, menatap meja yang hanya memiliki sedikit bahan makanan tersisa. Stok daging hampir habis, roti mulai mengeras, dan sayur-mayur sudah layu.
Kita harus menghemat makanan, tapi tetap memastikan semua orang bisa makan.
Sebuah ide melintas di pikirannya.
"Bagaimana jika kita membuat bubur saja?" usulnya.
Para pelayan saling berpandangan, beberapa tampak ragu. Namun, Eleanor sudah mengambil keputusan.
"Jangan khawatir, ini akan cukup untuk semua orang. Tolong bantu aku menyiapkannya."
Para pelayan akhirnya mengangguk dan mulai membantu. Eleanor dengan telaten mengaduk bubur di dalam panci besar, memastikan teksturnya tetap lembut. Dia menambahkan kaldu ayam agar rasanya lebih kaya, lalu menyisipkan sedikit rempah-rempah agar aromanya menggugah selera.
Saat bubur hampir matang, Eleanor mengambil ayam yang tersisa, menyuirnya menjadi potongan kecil, dan menaburkannya di atas bubur dalam setiap mangkuk. Dia juga menyiapkan beberapa makanan penutup sederhana dan minuman lemon untuk menyegarkan.
Ketika semuanya siap, para pelayan menatap hidangan itu dengan bingung.
"Makanan seperti ini... kami baru tahu ada," gumam salah satu pelayan.
Eleanor tersenyum kecil.
"Ini mungkin sederhana, tapi rasanya tidak akan mengecewakan," ujarnya yakin.
Setidaknya, malam ini semua orang bisa makan dengan cukup sebelum mereka membeli persediaan baru keesokan harinya.
...🌷🌷🌷...
Bab 29 – Makan Malam Sederhana
Para pelayan mulai menyajikan makanan ke meja panjang, tetapi suasana di ruang makan tetap sunyi. Para ksatria dan awak kapal saling pandang, ragu melihat hidangan yang tersaji. Salah satu ksatria mencondongkan tubuhnya, berbisik kepada seorang pelayan perempuan.
"Makanan apa ini?" tanyanya dengan nada penuh kebingungan.
Pelayan itu tampak sedikit canggung sebelum menjawab, "Saya juga tidak tahu, tapi ini dibuat oleh Duces sendiri. Sepertinya ini terbuat dari beras yang dimasak dengan banyak air dan diaduk hingga teksturnya menjadi seperti ini."
Ksatria itu melirik buburnya dengan ragu. "Apa rasanya enak?"
Pelayan itu mengangkat bahu. "Saya kurang tahu, tetapi setidaknya kita tidak akan kelaparan malam ini."
Ksatria itu hanya mengangguk kecil, masih menimbang-nimbang apakah ia harus mencoba atau tidak.
Sementara itu, Cedric sudah duduk di kursinya. Tanpa mengatakan sepatah kata pun, dia mengambil sendok dan mulai mencicipi buburnya. Semua mata langsung tertuju padanya, menunggu reaksinya.
Setelah suapan pertama, Cedric terdiam sejenak. Namun, alih-alih berhenti, dia kembali menyendok bubur itu dan memakannya dengan tenang.
Reynard dan Brian, yang duduk di dekatnya, saling pandang sebelum akhirnya ikut mencicipi. Luthair, yang sejak tadi hanya memperhatikan, akhirnya mengangkat sendoknya dan memasukkan sesendok bubur ke dalam mulutnya.
Mata Luthair langsung membesar. Dia menelan cepat, lalu menatap Eleanor dengan ekspresi penuh keterkejutan.
"Astaga, ini enak!" serunya heboh.
Beberapa orang di sekitarnya terkejut mendengar reaksinya yang berlebihan, tetapi Luthair tidak peduli. Dia mengambil suapan kedua, lalu ketiga, bahkan mulai menikmati buburnya dengan lahap.
"Aku tidak tahu kalau makanan seperti ini bisa seenak ini! Eleanor, kau benar-benar berbakat!" katanya dengan mulut masih penuh.
Eleanor tersenyum tipis, tetapi ada sedikit rasa tidak enak di hatinya. Setelah semua orang mulai makan, dia berdiri dan berbicara, suaranya lembut namun cukup jelas untuk didengar semua orang.
"Maaf, aku tidak bisa menyajikan makanan seperti biasa. Persediaan kita terbatas, jadi aku hanya bisa membuat ini. Aku harap ini cukup untuk mengganjal perut kalian malam ini."
Suasana sempat hening. Beberapa orang yang awalnya meragukan hidangan ini merasa bersalah karena telah berpikir negatif.
Cedric menatap Eleanor lama sebelum akhirnya berkata pelan, "Kau sudah melakukan yang terbaik."
Eleanor hanya tersenyum samar. Mungkin ini bukan makanan terbaik yang pernah mereka makan, tetapi setidaknya semua orang bisa tidur malam ini dengan perut yang tidak kosong.
suka banget sama alurnya, pelan tapi ada aja kejutan di tiap bab...
lanjut up lagi thor