Seorang wanita yang hilang secara misterius, meninggalkan jejak berupa dokumen-dokumen penting dan sebuah jurnal yang penuh rahasia, Kinanti merasa terikat untuk mengungkap kebenaran di balik hilangnya wanita itu.
Namun, pencariannya tidak semudah yang dibayangkan. Setiap halaman jurnal yang ia baca membawanya lebih dalam ke dalam labirin sejarah yang kelam, sampai hubungan antara keluarganya dengan keluarga Reza yang tak terduga. Apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu? Di mana setiap jawaban justru menimbulkan lebih banyak pertanyaan.
Setiap langkah membawanya lebih dekat pada rahasia yang telah lama terpendam, dan di mana masa lalu tak pernah benar-benar hilang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aaraa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah Dokter
"Kinanti, fokus!" tegur Bu Ratna, membuat Kinanti tersentak dari lamunannya. Di depannya, soal-soal try out Fisika masih terbengkalai.
Sudah tiga hari sejak insiden di gudang tua itu, dan Kinanti masih kesulitan berkonsentrasi. Ujian sekolah semakin dekat, tapi pikirannya terus melayang pada pengkhianatan Burung Hantu dan pesan-pesan misterius dari Kartika.
"Maaf, Bu," gumamnya, kembali mencoba mengerjakan soal.
Saat bel istirahat berbunyi, Nadia menghampiri mejanya. "Kamu dapat berapa untuk try out Fisika tadi?"
"Entahlah," Kinanti menghela napas. "Sepertinya banyak yang salah. Kamu?"
"Lumayan," Nadia tersenyum tipis. "Tapi tetap saja rasanya tidak maksimal. Sulit fokus setelah... yah, kamu tahu."
Mereka berjalan ke kantin, bergabung dengan Dimas yang sudah duduk dengan laptop di hadapannya. Wajahnya terlihat lelah.
"Masih mencoba memecahkan enkripsi radio?" tanya Kinanti pelan.
Dimas mengangguk. "Semalaman. Tapi sistemnya sangat rumit. Kartika benar-benar jenius dalam hal ini."
"Ngomong-ngomong soal jenius," Nadia mengeluarkan ponselnya, "Reza dapat nilai tertinggi untuk simulasi UTBK kemarin."
"Tentu saja," Kinanti tersenyum. "Dia kan memang sudah targetkan FH UGM dari dulu."
Saat mereka sedang mengobrol, pesan masuk ke grup chat mereka. Dari Arya.
"Meeting BEM baru selesai. Ada info penting. Temui aku di café biasa sepulang sekolah."
"Dia masih sempat-sempatnya mengurus ini di tengah kesibukan BEM?" gumam Dimas.
"Justru posisinya di BEM yang memudahkan dia mengakses beberapa informasi," kata Nadia. "Kemarin dia cerita kalau arsip fakultas ternyata menyimpan banyak dokumen lama yang menarik."
Sepulang sekolah, mereka berkumpul di café dekat kampus. Arya sudah menunggu, masih dengan kemeja rapi khas pengurus BEM, tapi wajahnya terlihat lelah.
"Maaf terlambat," kata Reza yang baru datang. "Ada konsultasi dengan guru pembimbing soal SNMPTN."
"Tidak apa," Arya menyesap kopinya. "Aku juga baru selesai presentasi untuk mata kuliah Sejarah Kontemporer."
"Jadi," Kinanti mengeluarkan jurnal Kartika, "apa yang kamu temukan?"
"Ini," Arya mengeluarkan sebuah foto lama dari tasnya. "Ketemu di arsip fakultas saat aku mencari bahan presentasi. Foto rumah sakit darurat tahun 1945."
Mereka mengamati foto itu. Sebuah rumah bergaya kolonial dengan tanda palang merah di depannya.
"Rumah Dokter Willem," kata Arya. "Sekarang jadi rumah kosong di dekat pasar lama. Tapi lihat ini..."
Dia menunjuk detail kecil di sudut foto. Sebuah simbol yang familiar.
"Sama dengan yang ada di jurnal Kartika!" seru Kinanti.
"Dan," Arya membuka laptopnya, menunjukkan hasil penelitiannya, "dokter Willem ternyata punya hubungan dekat dengan jaringan informasi yang kita temukan. Rumah sakitnya bukan hanya tempat mengobati orang, tapi juga pusat koordinasi gerakan bawah tanah."
"Tunggu," Reza yang sedari tadi diam akhirnya bicara. "Bukannya itu dekat dengan tempat praktik dokter yang akan kumagangi semester depan?"
"Exactly," Arya mengangguk. "Dan menurut catatanku, sistem ventilasi rumah itu terhubung dengan jaringan bunker yang sama dengan yang ada di gudang kemarin."
"Kita harus kesana," kata Kinanti langsung.
"Tapi," Nadia mengingatkan, "besok ada try out Bahasa Indonesia. Dan kamu masih harus memperbaiki nilai matematikamu, Kinanti."
Kinanti menggigit bibirnya. Benar juga. Nilai try out-nya beberapa hari ini memang mengkhawatirkan.
"Bagaimana kalau Sabtu?" usul Dimas. "Setelah bimbel. Aku juga ada ujian praktikum besok."
"Aku ada rapat BEM sampai sore," kata Arya. "Tapi setelah itu bisa. Sekalian aku bisa pakai akses lab kampus kalau butuh sesuatu."
"Baiklah," Reza mengeluarkan jadwalnya. "Aku ada bimbingan olimpiade sampai jam 4, tapi setelah itu free."
"Oke," Kinanti mengangguk. "Sabtu sore. Kita fokus belajar dulu sampai hari itu. Deal?"
"Deal," jawab yang lain bersamaan.
Mereka menghabiskan sisa sore itu belajar bersama. Nadia membantu Kinanti dengan matematika, sementara Reza mengajari Dimas fisika. Arya sibuk dengan laptop dan tumpukan buku referensi untuk tugasnya, sesekali memberi masukan tentang soal-soal sejarah.
Sabtu sore tiba dengan cepat. Mereka berkumpul di depan rumah tua itu saat matahari mulai condong ke barat. Cat putihnya sudah mengelupas, dan tanaman rambat menutupi sebagian dinding.
"Aman?" tanya Kinanti pada Arya yang baru selesai mengecek sekeliling.
"Sejauh ini iya. Tapi tetap waspada. Apalagi setelah... kejadian kemarin."
Mereka masuk melalui pintu samping yang sudah lapuk. Interior rumah itu gelap dan berdebu, tapi masih bisa terlihat sisa-sisa kemegahannya.
"Dulu ini kan rumah sakit," kata Reza, mengamati ruangan dengan senternya. "Harusnya ada ruang periksa atau semacamnya."
"Disana," Nadia menunjuk sebuah pintu dengan lambang medis yang sudah pudar.
Ruang periksa itu masih menyisakan beberapa perabotan: ranjang berkarat, lemari obat kosong, dan meja kerja tua. Dimas langsung menghampiri lemari, sementara Kinanti memeriksa meja.
"Hei," panggil Nadia yang sedang memotret detail ruangan. "Ada yang aneh dengan lantainya."
Mereka mengarahkan senter ke lantai. Di balik debu tebal, terlihat pola ubin yang berbeda.
"Bergeser," kata Arya, mendorong salah satu ubin. Terdengar bunyi klik, dan sebagian lantai bergerak turun, menampakkan tangga sempit.
"Sistem yang sama dengan di gudang," gumam Kinanti.
Mereka turun dengan hati-hati. Lorong di bawah lebih bersih dari yang mereka duga.
"Ada yang masih menggunakan tempat ini," kata Reza, menunjuk bekas tapak kaki di lantai.
Lorong itu membawa mereka ke sebuah ruangan bunker yang cukup luas. Rak-rak besi berjajar di dinding, kebanyakan kosong. Tapi satu rak menarik perhatian mereka.
"Catatan medis," kata Kinanti, mengambil salah satu buku bersampul kulit. "Tapi... ini bukan bahasa medis biasa."
"Kode," Arya mengangguk. "Mereka menggunakan istilah medis untuk menyamarkan informasi intelijen."
Mereka mengumpulkan beberapa buku yang tampak penting. Tiba-tiba, Dimas yang sedang memeriksa sudut ruangan berseru pelan.
"Guys, ada radio disini!"
Benar saja, sebuah radio antik tersembunyi di balik rak. Modelnya sama dengan yang mereka temukan sebelumnya.
"Dan masih aktif," tambah Dimas setelah memeriksanya.
Mereka baru akan menghidupkan radio itu ketika terdengar suara langkah dari atas.
"Sembunyi!" bisik Arya.
Mereka bergegas ke balik rak-rak. Tak lama, dua orang turun ke bunker. Dari celah rak, mereka bisa melihat seorang pria dan wanita paruh baya.
"Burung Hantu gagal," kata si pria. "Tapi setidaknya gudang itu sudah hancur."
"Yang penting dokumennya selamat," sahut si wanita. "Tapi kita harus bergerak cepat. Kartika mulai mengaktifkan jaringan lamanya."
"Bagaimana dengan anak-anak itu?"
"Biarkan saja dulu. Mereka akan membantu kita menemukan arsip yang tersisa tanpa sadar."
Kinanti merasakan tangan Reza menggenggam tangannya erat, menahannya agar tetap diam. Di sampingnya, Nadia menutup mulutnya dengan tangan, menahan napas.
Kedua orang itu mengambil beberapa dokumen, lalu kembali naik. Setelah yakin aman, barulah mereka keluar dari persembunyian.
"Kita harus pergi," kata Arya tegang. "Tempat ini sudah tidak aman."
Mereka bergegas naik, membawa beberapa catatan medis dan data tentang radio yang sempat Dimas catat. Tepat saat mereka keluar dari rumah itu, ponsel mereka bergetar bersamaan.
Sebuah pesan dari nomor tak dikenal:
"KEMBALI KE SEKOLAH. TEMUI PENJAGA PERPUSTAKAAN. -K"
Kinanti menatap teman-temannya. Di tengah kelelahan menghadapi ujian dan tugas, misteri ini semakin dalam. Tapi mereka tidak punya pilihan selain terus mencari.
"Besok," kata Kinanti. "Setelah try out kita temui penjaga perpustakaan."
Yang lain mengangguk. Untuk saat ini, mereka harus kembali menjadi siswa dan mahasiswa biasa. Setidaknya sampai besok.
Dalam perjalanan pulang, Kinanti membuka catatannya. Di antara rumus-rumus matematika dan soal fisika, ada daftar panjang misteri yang harus mereka pecahkan. Dan waktu mereka semakin sempit.
aku selalu suka sama orang yang yg jago menempatkan diksi dalam tulisan, jadi suka sama narasinya gak monoton
Penyampaian katanya bagus, alurnya apalagi😭
susah ditebakkk, daebak!!
Semangat update ya thor! Awas aja kalo sampe hiatus lagi😭