Quinevere King Neutron, putri Nathan Ace Neutron bersama dengan Clementine Elouise King, kini sudah tumbuh menjadi seorang gadis dengan kepribadian yang kuat. Tak hanya menjadi putri seorang mantan mafia, tapi ia juga menjadi cucu angkat dari mafia bernama Bone. Hidup yang lebih dari cukup, tak membuatnya sombong, justru ia hidup mandiri dengan menyembunyikan asal usulnya. Quin tak pernah takut apapun karena ia sudah banyak belajar dari pengalaman kedua orang tuanya. Ia tak ingin menjadi pribadi yang lemah, apalagi lemah hanya karena cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pansy Miracle, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KEMBALI LAGI ?
“Bertahanlah,” bisik Quin di telinga Rea.
Setelah Quin memukul Elon tepat di titik lemah, pria itu pun langsung pingsan. Quin membiarkannya tergeletak karena ia tahu, Elon akan sadar dengan sendirinya. Ia langsung menghentikan taksi yang kebetulan melintas, lalu membawa Rea menuju rumah sakit terdekat. Saat ini, keselamatan Rea adalah yang terutama, setelah apa yang terjadi pada sahabatnya itu.
Taksi yang dinaiki oleh Quin dan Rea akhirnya sampai di rumah sakit. Quin langsung menuju ke UGD agar Rea bisa mendapatkan penanganan.
“Cepat tolong sahabatku, ia mengalami penusukan,” pinta Quin pada salah seorang perawat.
Sementara Rea mendapatkan penanganan, Quin melangkah menuju ke bagian administrasi. Ia harus mengurus semua pembayaran untuk penanganan dan perawatan Rea. Quin menghela nafasnya pelan, merasa bersalah dengan apa yang menimpa Rea.
Mengapa sahabat-sahabatku jadi celaka saat berada di dekatku? Pertama Fox, sekarang Rea. - batin Quin.
Quin mengepalkan tangannya saat mengingat Elon. Daddanya bergemuruh kesal dan penuh amarah. Untung saja ia tadi sempat memukul Elon beberapa kali hingga terakhir ia memukul titik lemah pria itu hingga pingsan. Namun, amarah Quin rasanya belum hilang.
Setelah menyelesaikan administrasi, Quin kembali ke UGD, tapi ia tak melihat keberadaan Rea. Hatinya kembali gelisah, ia pun segera mendekati salah seorang perawat yang bertugas di sana.
“Nurse (baca : ners), di mana sahabat saya yang tadi mengalami penusukan?” tanya Quin.
“Ooo pasien sudah dibawa ke ruang operasi karena luka tusukannya cukup dalam,” jawab perawat itu.
Quin memejamkan matanya, rasa bersalahnya semakin dalam. Ia pun melangkah mencari ruang operasi. Saat melihat sebuah mesin kopi, Quin memasukkan tangannya ke saku dan mencari beberapa keping koin, lalu memasukkannya ke dalam mesin tersebut. Tak lama, kopi hangat pun keluar. Ia meniupnya perlahan lalu meminumnya, berharap tengorokannya terasa lega dan pikirannya lebih jernih.
Mata Quin menatap lampu berwarna merah yang menyala di luar ruangan operasi tersebut, tanda bahwa operasi telah dimulai. Ia pun mengambil tempat duduk di salah satu sofa, masih dengan tetap memegang gelas kopinya.
Detik berganti menit, dan menit berganti jam. Quin merasa telah begitu lama menunggu di depan ruang operasi, tapi saat ia melihat jam di pergelangan tangannya, ternyata waktu baru berjalan satu jam saja. Ia bahkan tak memegang ataupun memeriksa ponselnya akibat rasa hati yang tak tenang.
Saat lampu operasi akhirnya padam, Quin sedikit bernafas lega. Seorang dokter keluar dari ruang tersebut dan Quin langsung datang menghampiri.
“Dok …”
“Nona keluarganya?”
“Aku sahabatnya,” jawab Quin. Setahu Quin, Rea hanya tinggal seorang diri. Tak pernah sekalipun ia menceritakan tentang keluarganya, sama seperti dirinya.
“Operasinya berhasil, tapi pasien tetap harus mendapatkan pengawasan selama satu kali dua puluh empat jam.”
“Berikan yang terbaik untuknya, Dok. Saya akan mengurus semua administrasinya,” kata Quin.
Selepas berbicara dengan dokter, Quin kembali menuju ke bagian pembayaran. Ia mengeluarkan kartu debit miliknya dan kembali memberikan deposit untuk perawatan Rea.
***
Elon menatap tangannya saat ini, tubuhnya bergetar kala mengingat bahwa dirinya baru saja menusuk seseorang. Sejujurnya, ini merupakan pertama kali-nya ia melakukan tindakan kriminal seperti ini.
“Aku tidak bersalah, aku tidak bersalah,” gumamnya sambil terus menatap kedua tangannya, “ya … aku tidak bersalah,” kemudian dengan kedua tangan itu juga ia menutup wajahnya.
Setelah melakukan penusukan, lalu dipukul oleh Quin hingga pingsan, Elon bergegas pergi dari lokasi kejadian menuju ke mansion keluarganya, sesaat setelah ia sadar.
Kini, ia duduk diam di dalam kamar tidurnya, bahkan menguncinya, karena tak ingin ada yang masuk. Elon takut jika polisi akan datang tiba-tiba lalu menangkapnya.
Tok tok tok
“Elon!”
Tok tok tok
“Elon, buka pintunya,” kata Mom Anya yang baru diberitahu oleh salah seorang pelayan bahwa Elon sudah pulang dan berada di dalam kamar tidurnya. Anya ingin menanyakan tentang pendekatan Elon pada Quin.
Elon yang tengah duduk di tepi tempat tidur, hanya menoleh sesaat ke arah pintu, kemudian memundurkan tubuhnya. Ia menekuk kedua kaki, lalu memeluknya.
”Elon, buka pintunya atau mama akan membukanya dengan kunci cadangan,” ancam Mom Anya.
Namun, sama sekali tak ada pergerakan dari Elon, hingga Mom Anya akhirnya berinisiatif mengambil kunci cadangan lalu membuka pintu kamar tidur Elon.
“Elon!” Mom Anya dengan setengah berteriak memasuki kamar dan kaget melihat kondisi putra semata wayangnya itu, “Apa yang terjadi?”
Melihat tubuh Elon bergetar, bahkan mata Elon memerah seperti habis menangis, membuat Mom Anya bertanya-tanya. Tampak juga raut ketakutan dan kegelisahan di wajahnya. Mom Anya akhirnya berbicara, tapi Elon hanya diam menatap ke sembarang arah, dengan terus memeluk tubuhnya.
“Elon! Katakan ada apa? Jangan membuat Mommy takut,” ujar Mom Anya.
Elon mengalihkan wajahnya pada wanita yang telah melahirkannya itu, kemudian berkata, “A-aku … a-aku mem-bunuh-nya, Mom. A-aku mem-bunuh-nya.”
Mata Mom Anya membulat, syok, hingga jantungnya berdebar dengan sangat cepat. Ia ingin tak percaya dengan apa yang Elon katakan, atau minimal ia hanya salah mendengar.
“A-aku mem-bunuh-nya,” ulang Elon.
“Siapa? Katakan pada Mommy siapa? Apa maksud kamu berbicara seperti itu?” tanya Mom Anya lagi.
“A-aku … a-aku … Quin,” kata Elon dengan suara bergetar, tapi masih dengan jelas didengar oleh Mom Anya.
“Quin? Kamu membunuh Quin?” Ketakutan tiba-tiba menjalar di tubuh Mom Anya. Masalah seakan mendera keluarganya secara tiba-tiba, mulai dari masalah perusahaan, pernikahan Elon, dan kini …
“Tidak! Tidak mungkin!” kata Mom Anya. Ia memegang kedua lengan Elon lalu menggoyangkannya, “Jangan membohongi Mommy, Elon. Katakan ada apa sebenarnya? Tak mungkin kamu membunuh Quin.”
Namun Elon tak menjawab pertanyaannya lagi. Semakin gemetar tubuh Elon, bahkan putranya itu memegang kepalanya dan terus berteriak.
Mom Anya mengambil ponsel miliknya dan langsung menghubungi suaminya, “Segera pulang! Penting.”
***
“Bagaimana?” tanya Fox.
Steve kini sudah berada tepat di hadapan Fox. Ia mengeluarkan tablet miliknya, kemudian memberikannya pada Fox.
Fox memperhatikan setiap detail kejadian, beberapa saat sebelum Grandma Stella tak sadarkan diri dan akhirnya dibawa ke rumah sakit.
“Aku curiga padanya, Steve,” kata Fox sambil menunjuk seseorang.
“Hmm … aku berpikiran sama sepertimu. Meskipun Grandma Stella memiliki teman, tapi rasanya sangat jarang sekali mereka menghubunginya, dan … ia tak mengatakan jika Grandma menerima panggilan sebelumnya,” ujar Steve.
“Kita kecolongan, Steve. Segera bawa dia ke ruang bawah tanah untuk di-interogasi. Dan pastikan keamanan di mansion diperketat. Aku tak mau kejadian seperti ini terulang lagi,” perintah Fox.
“Baik, segera kulaksanakan.”
Steve pun bergegas pergi dari sana untuk menjalankan perintah Fox. Sementara itu Fox terus memikirkan keselamatan Grandma Stella, keluarganya.
Apakah orang-orang itu sudah kembali lagi? - batin Fox.
🌹🌹🌹