Seorang wanita yang hilang secara misterius, meninggalkan jejak berupa dokumen-dokumen penting dan sebuah jurnal yang penuh rahasia, Kinanti merasa terikat untuk mengungkap kebenaran di balik hilangnya wanita itu.
Namun, pencariannya tidak semudah yang dibayangkan. Setiap halaman jurnal yang ia baca membawanya lebih dalam ke dalam labirin sejarah yang kelam, sampai hubungan antara keluarganya dengan keluarga Reza yang tak terduga. Apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu? Di mana setiap jawaban justru menimbulkan lebih banyak pertanyaan.
Setiap langkah membawanya lebih dekat pada rahasia yang telah lama terpendam, dan di mana masa lalu tak pernah benar-benar hilang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aaraa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Toko Roti
Suasana kantin di SMA pada jam istirahat selalu ramai, tapi Kinanti punya tempat favorit di sudut dekat jendela. Dari sini, ia bisa melihat lapangan basket di mana Reza dan Dimas sedang berlatih untuk pertandingan minggu depan.
"Ehm," Nadia berdeham, menyikut sahabatnya yang sedang melamun. "Dari tadi belum dimakan tuh baksonya."
Kinanti tersenyum malu, mengaduk bakso yang mulai mendingin di hadapannya. "Aku cuma sedang berpikir..."
"Tentang petualangan kita? Atau tentang seseorang yang sedang main basket itu?" goda Nadia.
"Dua-duanya," jawab Kinanti jujur. "Aneh ya, di tengah persiapan ujian dan pencarian tentang Nek Kartika, aku masih sempat-sempatnya mikirin hal seperti ini."
"Nggak aneh kok," Nadia menyeruput es tehnya. "Kita memang sedang dalam misi penting, tapi kita juga tetap remaja biasa. Lagipula..." Nadia melirik ke arah lapangan, "sepertinya bukan cuma kamu yang suka curi-curi pandang."
Benar saja, Reza yang sedang men-dribble bola sesekali melirik ke arah kantin. Saat pandangan mereka bertemu, Kinanti buru-buru mengalihkan perhatian ke baksonya, sementara Reza tersenyum kecil sebelum melakukan three point shoot yang mulus.
"Ciee yang dinotice kapten basket," ledek Nadia.
"Udah dong," Kinanti menutup wajahnya yang memerah. "Kita kan harus fokus. Nanti sepulang sekolah mau ke toko roti tua itu kan?"
"Iya, iya," Nadia tertawa. "Tapi sebelumnya masih ada kelas Kimia. Jangan sampai ketiduran lagi seperti kemarin."
"Itu gara-gara semalaman baca dokumen-dokumen peninggalan Nek Kartika!" bela Kinanti.
Bel masuk berbunyi, mengakhiri jam istirahat. Di koridor menuju kelas, mereka berpapasan dengan Reza dan Dimas yang baru selesai latihan.
"Nanti jadi kan?" tanya Reza, rambutnya masih basah sehabis mandi kilat.
Kinanti mengangguk, berusaha terlihat biasa meski jantungnya berdebar. "Jadi. Arya bilang dia akan jemput kita jam tiga."
"Oke," Reza tersenyum. "Oh iya, tadi three point shoot-ku keren kan?"
"PD banget," Kinanti tertawa, tapi rona merah di pipinya menunjukkan bahwa ia memang memperhatikan.
Di kelas Kimia, Kinanti berusaha keras untuk tetap fokus meski pikirannya sesekali melayang ke rencana mereka nanti sore. Toko roti yang akan mereka kunjungi muncul dalam artikel koran lama yang mereka temukan. Letaknya tidak jauh dari stasiun timur, dan menurut informasi dari Kolonel Pratama, toko itu dulunya adalah tempat penyimpanan senjata yang disamarkan.
Sepulang sekolah, mereka berkumpul di parkiran. Arya sudah menunggu dengan mobilnya.
"Bagaimana sekolahnya?" tanya Arya saat mereka masuk mobil.
"Seperti biasa," jawab Nadia. "Kecuali ada yang hampir ketiduran di kelas Kimia."
"Hey!" protes Kinanti. "Setidaknya aku masih bisa jawab soal di papan tulis dengan benar."
Mereka tertawa. Arya mengemudikan mobil menuju lokasi toko roti tua yang terletak di sudut kota. Bangunan dua lantai itu tampak menyedihkan dengan cat yang mengelupas dan papan nama yang sudah tidak terbaca.
"Menurut peta," Nadia mengeluarkan catatannya, "ada pintu samping yang menuju ke dapur."
Mereka mengendap-endap ke samping bangunan. Pintu kayunya sudah lapuk, tapi masih berdiri.
"Tunggu," kata Kinanti sebelum mereka masuk. "Ada simbol yang sama dengan yang kita temukan di stasiun!"
Benar saja, di sudut bawah pintu terukir simbol kecil yang nyaris tak terlihat.
"Ini semakin menarik," gumam Reza, berlutut untuk memeriksa simbol itu.
Mereka masuk dengan hati-hati. Dapur toko roti itu dipenuhi peralatan yang sudah berkarat. Di sudut ruangan, sebuah oven besar dari batu bata menarik perhatian mereka.
"Lihat ukurannya," kata Dimas. "Terlalu besar untuk sebuah toko roti biasa."
Kinanti mendekati oven itu, tangannya meraba dinding batu oven tersebut. "Ada yang aneh dengan susunan batanya... seperti ada pola tertentu."
"Sebentar kulihat dulu," kata Reza seraya maju kedepan menggantikan Kinanti. Ia mencoba mendorong beberapa batu yang tampak berbeda. Tiba-tiba, terdengar suara 'klik' dan bagian belakang oven bergeser, menampakkan sebuah ruangan tersembunyi.
"Wow," bisik mereka bersamaan.
Ruangan itu tidak terlalu besar, tapi di dalamnya masih tersisa rak-rak kayu dan beberapa peti yang sudah lapuk. Di dinding, tertempel sebuah foto yang sudah menguning.
"Itu Nek Kartika!" seru Kinanti, menunjuk sosok wanita muda yang berdiri di depan oven. "Dan di sampingnya..."
"Kakekku," Reza melanjutkan. "Mereka berdua tersenyum ke kamera, seperti sedang berpura-pura membuat roti."
"Tapi lihat tangannya," Arya menunjuk. "Mereka sedang memberi isyarat. Ini kode yang sama dengan yang ada di dokumen-dokumen yang kita temukan."
Kinanti mengeluarkan notes-nya dengan tangan gemetar. "Menurut sistem kode ini... isyarat tangan mereka menunjukkan angka dan arah."
"Mungkin petunjuk lokasi berikutnya?" tebak Nadia.
Mereka menghabiskan satu jam berikutnya memeriksa setiap sudut ruangan. Dimas menemukan bekas-bekas peluru di salah satu peti, membuktikan bahwa tempat ini memang digunakan untuk menyimpan senjata.
"Lihat ini," kata Reza, menunjukkan secarik kertas yang ia temukan di balik foto. "Ada tulisan tangan Nek Kartika."
Kinanti mengambil kertas itu dengan hati-hati dan membacanya keras-keras
"Untuk yang menemukan pesan ini,
Jika kau telah sampai di sini, berarti kau semakin dekat dengan kebenaran.
Toko roti ini adalah saksi bisu perjuangan kami. Di balik tampilan sederhana, tempat ini menyimpan rahasia yang harus kami jaga dengan nyawa kami.
Pratama, maafkan aku karena harus pergi begitu saja. Tapi percayalah, semua ini demi kebaikan kita semua. Kotak yang kutitipkan pada ayahmu menyimpan bukti yang harus dijaga sampai waktunya tiba.
Salam,
Kartika"
Ruangan itu hening sejenak. Kinanti menggenggam erat kertas itu, matanya berkaca-kaca.
"Kita semakin dekat," kata Reza pelan, tangannya tanpa sadar meraih tangan Kinanti. "Kita pasti akan menemukan kebenaran tentang apa yang sebenarnya terjadi."
Mereka keluar dari toko roti dengan hati-hati, membawa bukti-bukti baru dalam perjalanan mereka mengungkap misteri masa lalu. Di mobil, Kinanti duduk di samping Reza, diam-diam merasakan kehangatan yang masih tersisa dari genggaman tangan mereka tadi.
"Besok kita harus mulai menganalisis kode-kode isyarat tangan dalam foto itu," kata Nadya, membuka catatannya. "Tapi setelah try out Matematika."
"Ah iya," Dimas menepuk dahi. "Aku hampir lupa kalau besok ada try out."
"Tenang," Kinanti tersenyum optimis. "Kita pasti bisa menangani semuanya. Lagipula..." ia melirik Reza, "bukankah hidup kita jadi jauh lebih menarik sekarang?"
Reza membalas dengan senyuman yang membuat jantung Kinanti berdebar lebih kencang. Ya, di tengah persiapan ujian sekolah dan misi pencarian ini, mereka tetap menemukan cara untuk menikmati masa-masa terindah dalam hidup mereka.
Senja mulai turun ketika mereka tiba di rumah masing-masing. Besok akan ada try out, tugas-tugas sekolah, dan misteri baru yang menunggu untuk dipecahkan. Tapi malam ini, mereka akan tidur dengan senyum, mengingat petualangan mereka hari ini dan antisipasi akan apa yang menunggu mereka esok hari.
Awas ya kalau Hiatus Author.. Cerita nya bagusss Bangettt😭♥️♥️♥️
semangat nulis thor💪