Rumah sudah kokoh berdiri, kendaraan terparkir rapi, tabungan yang cukup. Setelah kehidupan mereka menjadi mapan, Arya justru meminta izin untuk menikah lagi. Istri mana yang akan terima?
Raya memilih bercerai dan berjuang untuk kehidupan barunya bersama sang putri.
Mampukah, Raya memberikan kehidupan yang lebih baik bagi putrinya? Apalagi, sang mantan suami hadir seperti teror untuknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Egha sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31. Si gula pasir
"Terima kasih, Tuan. Maaf, jika saya harus memanfaatkan Anda," ujar Raya, saat tiba dikontrakan.
"Apa kamu tidak bisa, bersikap seperti dulu? Menganggapku sebagai teman, itu sudah cukup."
"Maaf. Tapi, saya tidak mau melewati batas yang seharusnya. Sekali lagi, terima kasih." Raya hendak membuka pintu mobil, namun Adrian menahan tangannya.
"Dia akan selalu datang. Dia mengatakan padaku, kalau dia ingin rujuk. Apa kau perlu bantuanku? Laki-laki seperti itu, harus diberi pelajaran."
"Tidak perlu dan saya tidak peduli. Entah bahasa apa yang akan ia gunakan, untuk menerobos pertahananku. Tapi, satu hal yang pasti, saya sudah pernah bodoh sekali, jika ada kedua kali, mungkin saya sudah gila.." Raya tersadar sudah terlalu banyak bicara. "Maaf, Tuan. Kalau saya selalu merepotkan."
"Tidak apa, aku senang bisa membantu. Kalau dia datang lagi, tolong jangan mencegahku untuk membantumu. Kita sudah menjadi sepasang kekasih, dihadapannya."
Raya tidak menanggapi dan memilih segera turun dari mobil dan berlari masuk dalam rumah. Begitu Raya menghilang dari balik pintu, Adrian kembali melaju.
Sementara, tak jauh dari Adrian menepikan kendaraan, ternyata Arya ikut menyaksikan mereka. Sejak kedua sejoli itu pergi, Arya segera mengemudi, mengikuti mereka.
"Jadi, kau tinggal di rumah yang sempit ini?" Arya memperhatikan keadaan rumah kontrakan Raya. "Baiklah. Aku tidak perlu, menunggu ditempat kerjamu lagi."
Didalam rumah, Raya segera mencuci wajah dan mengganti pakaian. Duduk sebentar di atas karpet yang terbentang dan memperhatikan Retno yang terlelap.
"Rujuk?" gumam Raya seorang diri. Lalu, tertawa lepas, melupakan Retno yang sedang terlelap. "Lucu skali!" lanjutnya.
Bingung dengan sikap Arya. Mereka sudah berpisah, meski tidak secara baik-baik. Namun, Raya sudah menerima keadaan. Tapi kenapa, pria yang sudah menikah, itu kembali datang mengusik kehidupannya? Jika benar dia ingin rujuk, sepertinya Raya akan menertawakan pria yang pernah menjadi suaminya itu.
Bagaimana tidak. Raya ingat betul, bagaimana Arya memamerkan istri barunya. Yang katanya lebih baik, lebih sempurna, tapi kenapa malah muncul mengejarnya lagi? Apa dia pikir, Raya akan luluh, hanya karena permintaan maaf? Janji-janji manis? Oh, tidak. Ia tidak sekesepian itu.
Namun, ada sedikit kegelisahan yang mengganggu pikiran Raya. Ia mengenal betul sifat Arya. Jika ia menginginkan sesuatu, ia tidak akan menyerah. Raya teringat, bagaimana saat Arya dulu memintanya untuk menjadi kekasihnya. Segala penolakan, seolah tak mempan. Tapi, bukan itu yang Raya takutkan. Melainkan, Lily. Bisa saja, Arya mengambil putri mereka, untuk mengancamnya.
"Apa aku harus mencari pekerjaan lain?" ujar Raya lagi, yang sibuk berpikir seorang diri.
Yah, ia mulai tidak nyaman. Meski, ia bisa menghindari mantan suaminya atau tidak mempedulikanmu. Tapi, sampai kapan? Ia paling tidak suka, jika pekerjaannya terganggu,
Di tempat berbeda, Arya baru memarkir mobilnya dalam garasi. Sepanjang jalan, ia sudah menyusun kalimat sesempurna mungkin, untuk menjawab semua rentetan pertanyaan Tari, yang tiada habisnya.
Dan benar saja. Baru juga Arya membuka pintu rumah, ia langsung terlonjak. Sosok hitam, dengan rambut tergerai lurus, duduk di sofa dalam kegelapan.
"Kau mengagetkanku" teriak Arya, "kenapa tidak menyalakan lampu?" Arya menekan sakelar.
"Kamu dari mana, Mas? Apa kau membeli obat diluar negeri?" teriak Tari, dengan mata yang hampir melompat keluar dari tempatnya.
"Aku lelah. Mobil aku mogok dan bodohnya, aku lupa bawa ponsel."
"Lalu?"
"Yah, aku harus memperbaikinya sendiri. Kau tidak lihat, bajuku penuh noda oli." Arya menunjukkan pakaiannya yang di beberapa titik, terkena noda berwarna hitam.
Tari mendekat, memperhatikan noda dibaju sang suami, dengan teliti. Sesekali, meminta Arya untuk memutar tubuhnya. Kadang mencolek noda tersebut, untuk mengecek keasliannya.
"Terus, obat kamu, mana?"
"Ada. Aku sempat beli, pas pulang, mogok. dijalan." Arya merogoh saku celana dan mengeluarkan bungkusan obat.
"Kamu sudah minum obatnya?" Tari kembali memeriksa bungkus obat tersebut dan ada satu biji yang hilang dari tempatnya.
"Sudah. Yuk, tidur. Kamu kenapa sih, nungguin aku?"
Begitu mudahnya, Tari percaya. Yah, tentu saja. Sebab, Arya berusaha keras, agar semua terlihat nyata. Karena semua berjalan dengan lancar, selancar jalur tol, ia akan mulai mendekati sang mantan istri.
Arya sudah mandi dan berganti pakaian. Diatas tempat tidur, Tari masih menunjukkan wajah cemberut.
"Kenapa lagi?"
"Besok bagaimana, Mas? Kamu tetap mau mengantar ibu kamu? Kenapa tidak naik taksi saja atau adik kamu yang antar? Besok kita punya banyak kerjaan dan lusa, sudah harus kembali bekerja. Kita harus manfaatkan waktu untuk beristirahat."
"Aku akan antar, tapi tidak menunggunya. Pulang lagi, aku jemput. Pokoknya, kamu jangan memikirkan itu. Dia ibuku, sudah seharusnya aku yang mengantar. Lagian, di rumah kan ada kendaraan. Kenapa dia harus naik taksi?"
"Kalau kamu kelamaan, bagaimana? Misalnya, seperti tadi. Tiba-tiba, mogok atau ibu minta ditemani, bagaimana?"
"Percaya, dong sama aku. Pokoknya, besok aku hanya antar, terus kembali ke rumah, bantuin kamu. Sekarang, kita tidur. Aku lelah." Arya menarik selimut, tanpa menghiraukan Tari, yang sepertinya masih ingin mengobrol.
Hari libur, yang dinobatkan sebagai hari libur sedunia. Minggu yang cerah, cocok untuk mencuci pakaian agar kering dengan cepat.
Diatas meja, sudah tersaji sarapan, yang tentu saja disiapkan oleh ibu Arya. Ia tidak mau melihat drama pagi hari, yang dianggapnya sial. Awal hari yang seharusnya tenang dan damai, tapi di rumah ini, setiap hari ia harus mendengar pertengkaran.
Ibu mulai malu, dengan omongan tetangga, yang ternyata mulai membanding-bandingkan, antara menantu lama dan menantu baru. Dan ibu Arya, harus mengatakan ribuan alasan, dari yang terdengar masuk akal, hingga apa saja yang terlintas dalam pikiran.
Bukan hanya itu, keluarga besar mereka, mengatakan hal yang sama. Bahkan, ibu Arya kerap disalahkan, karena terlalu semena-mena terhadap menantu sebelumnya, hingga ia dikatakan mendapatkan karma.
"Selamat pagi, Bu." Tari langsung duduk manis, tatkala meja sudah siap.
Ibu tidak menjawab. Ia hanya memicingkan mata, lalu pergi ke dapur.
"Wah, ada sup ayam," ujar Arya, yang ikut bergabung dengan sang istri.
"Kamu jadikan, anterin ibu?" Ibu meletakkan kopi didepan Arya.
"Jadi, Bu. Sekarang, kita sarapan, lalu siap-siap."
"Ibu sudah sarapan. Ibu ke rumah dulu, ganti pakaian. Oh iya, kamu beli buah untuk tante kamu. Ibu tidak ada uang."
"Iya, Bu."
Begitu ibu pergi, Tari meletakkan sendok dengan kasar.
"Kenapa sih, biar beli buah harus kamu? Apa-apa, semuanya kamu yang beli. Kamu kan udah kasih jatah bulanan, kenapa mesti kamu yang beli?"
"Tari, ini cuma buah. Harganya tidak seberapa. Kok kamu perhitungan begini, sama keluarga aku."
"Bukan perhitungan, Mas. aku heran saja. Tiap keluarga kamu datang, mesti dikasih uang. Ongkos pulanglah, beli oleh-oleh."
"Cukup. Itu uang aku, bukan uang kamu. Lagian, aku tidak pernah protes, kalau kamu kasih keluarga kamu."
🍁🍁🍁
tidak mau memperjuangkan raya
bntar lg km ketemu sm laki2 yg tulus yg mampu bahagiakan km.
plg suka crita klo perempuannya tangguh & kuat