"Ingat, saat di kampus kita adalah dosen dan mahasiswa, jadi bersikap sewajarnya."
"Hayolo, dosen mana yang ngajak mahasiswanya ke rumah?"
~
Lolos SNBP jurusan keperawatan ternyata tak membuat impian Jihana Soraya menjadi perawat bisa terkabul. Besarnya biaya yang harus dikeluarkan membuat bunda melarangnya kuliah. Apalagi bunda memang menganggap kuliah itu sia-sia.
Kecewa dengan pemikiran pendek bundanya, Jihan malah tanpa sengaja berkeluh kesah pada tetangga barunya yang ia panggil Om Lino. Pria itu cukup ramah, tapi dia tampak sangat kaku dan bahasanya pun baku sampai Jihan menggelarinya KBBI berjalan.
Om Lino menyarankan satu solusi pada Jihan, yang menurutnya sangat gila. Menikah dengan pria itu, maka dia akan membiayai seluruh pendidikan Jihan. Tadinya Jihan menolak, tapi ketika keadaan semakin mendesak dan ia tidak memiliki pilihan lain, Jihan pun menerimanya.
Jihan seketika merasa Om Lino sudah seperti sugar daddynya saja. Tapi tunggu dulu! Ternyata Om Lino juga dosennya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Licia Bloom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
“Memangnya saya setua itu?”
Aku masih tak percaya akhirnya masuk ke rumah megah ini. Dari luar saja sudah terlihat seperti istana, dengan pilar-pilar tinggi berlapis marmer putih dan taman luas yang tertata sempurna. Saat aku masuk, interiornya lebih memukau lagi. Lantai marmer mengilap memantulkan lampu kristal besar di tengah ruangan. Sofa berbahan beludru dan karpet Persia terhampar di ruang tamu. Semua terlihat elegan, namun terasa begitu asing bagiku yang sekarang terbiasa tinggal di rumah kecil nan sederhana.
Ya ... aku sebenarnya dulu pernah jadi anak orang kaya juga, sih. Tapi tidak sekaya ini juga! Om Lino sepertinya anak konglomerat deh?
Sekarang, aku duduk di meja makan panjang yang penuh dengan makanan mewah. Mulai dari steak wagyu, salmon panggang, hingga kue-kue manis yang terlihat seperti karya seni.
Seorang wanita paruh baya dengan riasan sempurna menatapku penuh selidik dari seberang meja. Dialah Jenna Mehrunnisa, ibu Om Lino. Meski tersenyum, aura otoritas terpancar jelas darinya.
“Jadi, kamu ini namanya Jihan, ya?” tanyanya dengan nada lembut namun tegas.
Aku tersentak sedikit, lalu buru-buru menjawab, “I-iya, Tante. Saya Jihan.”
Dia menyipitkan mata, tampaknya mencoba membaca lebih dari sekadar namaku. “Beneran bukan pacarnya Lino?”
Aku hampir tersedak mendengarnya. “Bu-bukan, Tante. Saya cuma tetangganya Om Lino, kok,” jawabku cepat, nyaris terbata.
Aku melirik Om Lino, berharap dia segera membantu menjelaskan. Tapi lelaki itu justru tampak sibuk memotong steaknya, seolah-olah perbincangan ini bukan urusannya.
“Apa iya?” Tante Jenna menaikkan alisnya, tidak tampak yakin.
Om Lino akhirnya angkat bicara. “Sudah cukup, Ma,” katanya sambil mendesah. “Lino sudah bilang berkali-kali, dia hanya anak tetangga. Tadinya mau ke supermarket bersama, lalu ikut karena Mama memaksa Lino datang sekarang juga.”
Tante Jenna mendengus, menyandarkan tubuh ke kursinya. “Kamu tuh ya, sudah diwanti-wanti dari tadi malam kalau hari ini ada acara di rumah. Masih saja lupa,” katanya sambil melipat tangan di depan dada. “Memangnya kamu gak perhatian sama orang tua?”
Om Lino hanya menghela napas panjang. Aku hampir tertawa kecil melihat ekspresinya yang seperti sudah menyerah dengan ibunya.
“Udahlah, Ma.” suara bariton terdengar dari ujung meja. Ayah Om Lino, Aditya Buana Alvarendra, akhirnya bicara. “Gak usah diungkit terus. Ngomongin yang lain aja.”
Aku menoleh ke arah beliau. Dari tadi aku merasa segan hanya karena auranya yang begitu karismatik. Wajahnya yang tegas tanpa banyak ekspresi sedikit mengintimidasi, tapi saat bicara, suaranya terdengar hangat.
“Gimana rumah baru kamu, Lino?” tanyanya santai.
“Baik-baik saja, Pa,” jawab Om Lino. “Barang-barang dari apartemen sudah dipindahkan. Tinggal menyusun perabotan.”
“Kamu gak mau nyewa pembantu aja?” Ayahnya menambahkan.
“Bukan pembantu, Pa,” potong Tante Jenna cepat. “Harusnya nanyanya begini, kamu gak mau cari istri aja?”
Refleks aku mengangkat kepala dan menatap Om Lino. “Oh? Om Lino belum nikah toh?” ucapku tanpa sadar.
Plak! Aku langsung menutup mulut sendiri dengan tangan. Semua mata tertuju padaku. Aku ingin menghilang saja rasanya.
Tante Jenna tersenyum tipis, tapi sorot matanya tajam. “Iya, Lino emang belum nikah,” katanya sambil melirik ke anak lelakinya. “Mama sudah bilang berkali-kali, cari pendamping secepatnya. Sampai kapan kamu mau melajang kayak gini?”
Om Lino menghela napas panjang. “Ma, tolong jangan bicara seolah Lino sudah sangat tua.”
“Tua sih enggak,” balas Tante Jenna cepat. “Tapi umur kamu sudah 27 tahun. Kamu pikir umur segitu masih muda?”
“Itu masih terbilang muda, Ma.”
“Enggak!” potong Tante Jenna tegas. “Mama nikah sama Papa dulu umur Papa masih 23 tahun! Itu umur yang pas buat menikah!”
Om Lino memijat pelipisnya, tampak frustrasi. “Itu namanya menikah muda, Ma.”
Tante Jenna hanya mendengus, melipat tangan lagi. “Pokoknya Mama gak mau kamu jadi bujang lapuk, Lino. Ganteng, mapan, tapi tetap aja sendirian. Kamu pikir kamu selamanya muda?”
Aku berusaha menahan tawa melihat debat kecil itu. Tapi, di balik semua ini, aku jadi paham kenapa Om Lino sering menghela napas. Ibunya benar-benar keras kepala.
Aku kembali menundukkan kepala, mencoba fokus pada makananku. Tapi, entah kenapa, perutku terasa terlalu penuh untuk menelan makanan ini. Suasana meja yang hangat sekaligus penuh tekanan membuatku ingin cepat-cepat keluar dari rumah megah ini.
“Mama nggak mau tahu! Kalau kamu nggak nemuin calon istri secepatnya, Mama yang bakal cariin pendamping buat kamu!” ujar Tante Jenna, dengan nada penuh tekad.
Aku menoleh ke Om Lino, yang langsung melayangkan tatapan protes ke ibunya.
“Mama tahu Lino paling tidak suka dipaksa berhubungan dengan perempuan mana pun,” kata Om Lino sambil menahan nada suaranya tetap tenang. “Apalagi perempuan yang tidak Lino kenal.”
Tante Jenna mendengus sambil melipat tangan. “Intinya Mama nggak mau tahu. Kalau kamu nggak nemuin perempuan pilihan kamu sendiri, Mama bakal jodohin kamu sama anak temen Mama.”
Wajah Om Lino berubah tegang. “Lino tidak setuju—”
“Kalau kamu nolak, itu artinya kamu sudah jadi anak durhaka!” potong Tante Jenna dengan dramatis. “Sia-sia Mama besarin kamu selama ini. Mama cuma mau lihat kamu bahagia dan segera dapat cucu sebelum Mama mati. Itu aja, nggak bisa?!”
Aku melirik Om Lino yang tampak menarik napas panjang. “Mama ini bicara apa?” tanyanya, nyaris seperti berbisik.
“Udah, Lino. Turutin aja,” sahut Om Aditya, yang sejak tadi diam. Suaranya tenang, tapi ada nada tegas di baliknya.
“Papa .…” Om Lino memprotes, tapi Om Aditya hanya mengangkat bahu.
“Kamu tahu sendiri, kalau Mama kamu mau sesuatu, harus dituruti. Kalau enggak, ancamannya biasanya benar-benar jadi kenyataan.”
Om Lino hanya bisa menghela napas dan memilih diam setelahnya. Dia sepertinya sudah sangat lelah menghadapi orang tuanya. Aku pun hanya diam, tidak berani ikut campur.
Setelah acara selesai, kami pun pamit pulang meski masih sempat ada sedikit drama dari mamanya Om Lino. Tapi akhirnya kami berhasil lolos dan sekarang sudah di mobil Om Lino.
“Maaf.” suara Om Lino memecah keheningan setelah mobil dijalankan.
Aku menoleh ke arahnya, bingung. “Minta maaf karena apa, Om?”
Om Lino menatap lurus ke depan, tangannya mantap di setir. “Karena saya sudah menyita waktu kamu dengan membuat kamu menunggu terlalu lama. Juga karena kamu harus melihat drama keluarga saya.”
“Oh …” Aku menggigit bibir, sedikit merasa bersalah sudah menyaksikan semuanya tadi. “Tenang aja, Om. Lagian saya dapat bonus makan-makan enak tadi.”
Om Lino menoleh sebentar, senyum tipisnya terlihat. Lalu dia kembali fokus mengemudi. Aku jadi merasa suasana lebih santai sekarang.
“Om!” aku memanggil, iseng.
“Iya?” Om Lino menjawab tanpa menoleh.
“Emangnya Om belum nikah, ya? Saya kira, Om udah punya istri, lho.”
Om Lino mendengus kecil. “Saya memang belum tertarik menikah.”
“Oh …” Aku mengangguk-angguk, lalu ber-oh ria. “Tapi kayaknya mamanya Om udah kebelet lihat Om kawin, tuh.”
Om Lino hanya menarik napas panjang, lalu menjawab, “Ibu saya memang terus mendesak saya menikah sejak tahun lalu.”
“Kenapa nggak diturutin aja, Om?” tanyaku polos. “Nggak takut nyesal, apa, kalau nggak nurutin kemauan orang tua?”
Om Lino langsung melirikku, tajam.
Aku lantas menujukkan cengiranku. “Iya-iya, maaf, Om. Om udah jawab tadi kalau Om nggak tertarik menikah.”
“Benar,” jawabnya singkat.
“Tapi kenapa nggak tertarik, deh, Om?” tanyaku lagi, walau sadar aku mulai banyak bertanya.
Om Lino mendesah pelan. “Saya masih ingin menikmati waktu sendiri. Tanpa menanggung tanggung jawab atas orang lain.”
Aku mengangguk, mencoba memahami. “Tapi kalau Om nggak buru-buru cari pasangan, nanti tante Jenna bakal jodohin Om, kan?”
“Iya,” jawabnya, singkat dan lelah.
“Turut berdukacita, Om,” ucapku spontan.
Om Lino menoleh, menatapku aneh. “Kamu kira saya sedang terkena musibah?”
“Kan emang iya? Dipaksa nikah emang enak? Itu artinya Om lagi kena musibah sekarang,” jawabku santai.
Om Lino menggeleng pelan. “Ada-ada saja kamu ini.”
Aku terkekeh kecil, lalu tiba-tiba bertanya lagi, “Om! Masa sih cowok kayak Om nggak ada yang suka? Ganteng, mapan, baik. Kayaknya Om bakal jadi rebutan.”
Setelah diam beberapa saat, Om Lino akhirnya menjawab, “Setelah saya pikir-pikir, kamu ternyata cukup cerewet, ya, Jihan.”
Aku langsung nyengir lebar. “Hehe … maaf, Om.”
Om Lino menghela napas lagi. “Kamu memanggil saya ‘Om’, seolah saya setua itu.”
Aku nyengir lagi. “Keliatan tua, sih, enggak. Tapi umur Om jauh di atas saya, kan? Kalau manggil nama langsung, nggak sopan. Jadi, ya udah, Om aja.”
Dia menarik napas panjang, seperti kebiasaan. “Kamu bicara seolah saya benar-benar sudah tua.”
“Yang pasti umur Om udah otw 30, kan? Jadi saya panggil Om, dong,” jawabku sambil mengangkat bahu.
“Masih ada beberapa tahun lagi sebelum umur saya menginjak kepala tiga,” katanya datar. “Tapi sudahlah, terserah kamu saja.”
Aku terkekeh pelan. “Hehehe .…”
Percakapan itu berakhir dengan aku yang masih senyum-senyum sendiri. Entah kenapa, meski awalnya canggung, aku merasa sudah lumayan akrab dengan Om Lino.